Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bulog juga kaget

Laju pertambahan penduduk 2,34%/ tahun dibandingkan sensus 1971. program kb hampir mencapai target, tapi tingkat ekonomi yang meningkat, menurunkan angka kematian. bulog harus menyesuaikan impornya. (nas)

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGGAPAN atas hasil sementara sensus 1980 yang diumumkan Presiden Soeharto di DPR 5 Januari lalu beraneka ragam. Penduduk Indonesia pada 1980 menurut hasil sensus tersebut berjumlah 147.383.075 jiwa. Menurut Sensus 1971, jumlah penduduk waktu itu 119.232.499. Ini berarti laju pertambahan penduduk 2,34% per tahun. "Mengejutkan," ujar Masri Singarimbun, Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM. Angka itu dianggapnya jauh di atas perkiraan. Banyak pejabat Indonesia, juga Bank Dunia, dalam laporannya selalu menggunakan patokan 1,8% untuk laju pertumbuhan penduduk Indonesia. Soeharso, Kepala Pusat Penelitian Penduduk dan Direktur Leknas/LIPI menganggap laju pertambahan yang 2,34% itu "membuat mata terbelalak." Sebab laju pertambahan antara 1961-1971 hanya 2,08%. Menurut Soeharso, hikmah dari hasil sensus itu adalah: masih banyak yang harus digarap dalam usaha mengendalikan laju pertambahan penduduk. Yang jelas program keluarga berencana harus ditangani lebih serius. Namun buat Haryono Suyono, Deputi Bidang Keluarga Berencana BKKBN, hasil sensus tersebut tidak terlalu mengejutkan. Sejak awal 1980 sudah diduga kondisi kesehatan yang bertambah baik akan berhasil menurunkan angka kematian. Haryono yakin, program BKKBN untuk menurunkan tingkat kesuburan sampai 50% pada 1990 pasti untuk Jawa-Bali. Sebab kondisi Jawa-Bali saat ini dapat dikatakan sudah hampir pada target 1990: peserta KB di daerah ini sudah mendekati 50% dari pasangan usia subur. Toh diakuinya, masih ada kelemahan dalam program KB dan hasil sensus ini dianggap BKKBN sebagai tantangan untuk mempercepat programnya. Impor Beras Terlepas dari kontroversi tadi, hasil sementara Sensus 1980 memang cukup mengagetkan. Tampaknya bakal banyak kebijaksanaan yang harus disesuaikan karena didasarkan pada asumsi yang kurang tepat. Misalnya target impor beras. Jika dulu didasarkan perhitungan konsumsi untuk 138 juta orang, ternyata kini harus diubah untuk 147 juta orang. Sudahkah langkah penyesuaian itu dilakukan? "Saya kaget juga tatkala mengetahui hasil sensus tadi. Itu berarti saya harus merevisi lagi angka-angka yang kami pakai selama ini dan menyesuaikannya dengan angka yang baru," kata Bustanil Arifin, Kepala Bulog, yang akhir pekan lalu baru kembali dari luar negeri. "Kami semua akan membahas ini bersama," tambah Bustanil pada TEMPO seusai menjemput kedatangan PM Jepang Suzuki Sabtu lalu. Yang masih dipersoalkan Sejauh mana ketepatan hasil sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tadi dan mengapa laju pertumbuhan penduduk Indonesia tetap tinggi? "Kami tidak mengarang angka-angka itu," tegas Sutjipto Wirasardjono, Deputi Perencanaan dan Analisa Statistik BPS. Diakuinya sampai kini masih ada praduga yang mengarah pada peran BPS. "Mentang-mentang BPS lembaga pemerintah, kami dianggap harus menurut kehendak pemerintah." Profesi di bidang statistik dikatakannya juga punya etik: tidak boleh bohong. Menurut sutjipto hasil sensus akan selesai diproses akhir 1982. Saat ini sedang dilakukan pengujian pada ketepatan hasil sensus melalui cara yang disebutnya penilaian purna pencacahan. Diharapkan April nanti akan selesai. Pada Sensus 1971 diketahui terjadi kekurangcakupan 4%, namun angka ini diharapkan akan lebih kecil pada Sensus 1980 karena komunikasi yang lebih baik. Urung Masri Singarimbun juga percaya, jumlah penduduk yang tidak tercacah dalam Sensus 1980 jauh di bawah 3,5%. Menurut dia BPS di kalangan internasional dianggap sebagai "yang paling baik di antara negara berkembang". Masri menduga, semakin baiknya cara sensus tahun lalu yang menghasilkan data yang lebih akurat merupakan salah satu penyebab tingginya laju pertumbuhan penduduk. Faktor lain adalah angka kematian yang turun dengan pesat walau angka kelahiran juga turun. Hasil Sensus 1980 memang menunjukkan turunnya angka kematian yang menyolok, sebesar 33,26%. Sedangkan angka kelahiran turun dengan 8,16% secara nasional. "Kami tidak mengira akibat pelayanan kesehatan bisa menyebabkan turunnya angka kematian begitu besar. Ditambah lagi dengan gizi yang lebih baik dan tingkat ekonomi yang meningkat," kata Menkes Soewardjono Suryaningrat pada TEMPO. Agaknya ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia. Sutjipto menduga, pada belahan pertama dasawarsa 1961-1970 tingkat sosial ekonomi kita buruk sekali hingga tingkat kematian tinggi. Terjadinya G30S pada 1965 juga membawa pengaruh besar pada fertilitas. "Banyak yang meninggal, ditahan atau sekurang-kurangnya terjadi perpisahan keluarga yang menimpa banyak orang pada usia yang produktif. Mestinya ada kelahiran, tapi urung," ujar Sutjipto. Masih bisa ditambahkan beberapa faktor lain, misalnya makin tingginya tingkat pendidikan serta berlakunya UU Perkawinan yang mengundurkan usia perkawinan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus