TANGGAPAN atas hasil sementara sensus 1980 yang diumumkan
Presiden Soeharto di DPR 5 Januari lalu beraneka ragam. Penduduk
Indonesia pada 1980 menurut hasil sensus tersebut berjumlah
147.383.075 jiwa. Menurut Sensus 1971, jumlah penduduk waktu itu
119.232.499. Ini berarti laju pertambahan penduduk 2,34% per
tahun.
"Mengejutkan," ujar Masri Singarimbun, Direktur Pusat Penelitian
dan Studi Kependudukan UGM. Angka itu dianggapnya jauh di atas
perkiraan. Banyak pejabat Indonesia, juga Bank Dunia, dalam
laporannya selalu menggunakan patokan 1,8% untuk laju
pertumbuhan penduduk Indonesia.
Soeharso, Kepala Pusat Penelitian Penduduk dan Direktur
Leknas/LIPI menganggap laju pertambahan yang 2,34% itu "membuat
mata terbelalak." Sebab laju pertambahan antara 1961-1971 hanya
2,08%. Menurut Soeharso, hikmah dari hasil sensus itu adalah:
masih banyak yang harus digarap dalam usaha mengendalikan laju
pertambahan penduduk. Yang jelas program keluarga berencana
harus ditangani lebih serius.
Namun buat Haryono Suyono, Deputi Bidang Keluarga Berencana
BKKBN, hasil sensus tersebut tidak terlalu mengejutkan. Sejak
awal 1980 sudah diduga kondisi kesehatan yang bertambah baik
akan berhasil menurunkan angka kematian.
Haryono yakin, program BKKBN untuk menurunkan tingkat kesuburan
sampai 50% pada 1990 pasti untuk Jawa-Bali. Sebab kondisi
Jawa-Bali saat ini dapat dikatakan sudah hampir pada target
1990: peserta KB di daerah ini sudah mendekati 50% dari pasangan
usia subur. Toh diakuinya, masih ada kelemahan dalam program KB
dan hasil sensus ini dianggap BKKBN sebagai tantangan untuk
mempercepat programnya.
Impor Beras
Terlepas dari kontroversi tadi, hasil sementara Sensus 1980
memang cukup mengagetkan. Tampaknya bakal banyak kebijaksanaan
yang harus disesuaikan karena didasarkan pada asumsi yang kurang
tepat. Misalnya target impor beras. Jika dulu didasarkan
perhitungan konsumsi untuk 138 juta orang, ternyata kini harus
diubah untuk 147 juta orang. Sudahkah langkah penyesuaian itu
dilakukan?
"Saya kaget juga tatkala mengetahui hasil sensus tadi. Itu
berarti saya harus merevisi lagi angka-angka yang kami pakai
selama ini dan menyesuaikannya dengan angka yang baru," kata
Bustanil Arifin, Kepala Bulog, yang akhir pekan lalu baru
kembali dari luar negeri. "Kami semua akan membahas ini
bersama," tambah Bustanil pada TEMPO seusai menjemput kedatangan
PM Jepang Suzuki Sabtu lalu.
Yang masih dipersoalkan Sejauh mana ketepatan hasil sensus yang
dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tadi dan mengapa laju
pertumbuhan penduduk Indonesia tetap tinggi?
"Kami tidak mengarang angka-angka itu," tegas Sutjipto
Wirasardjono, Deputi Perencanaan dan Analisa Statistik BPS.
Diakuinya sampai kini masih ada praduga yang mengarah pada peran
BPS. "Mentang-mentang BPS lembaga pemerintah, kami dianggap
harus menurut kehendak pemerintah." Profesi di bidang statistik
dikatakannya juga punya etik: tidak boleh bohong.
Menurut sutjipto hasil sensus akan selesai diproses akhir 1982.
Saat ini sedang dilakukan pengujian pada ketepatan hasil sensus
melalui cara yang disebutnya penilaian purna pencacahan.
Diharapkan April nanti akan selesai. Pada Sensus 1971 diketahui
terjadi kekurangcakupan 4%, namun angka ini diharapkan akan
lebih kecil pada Sensus 1980 karena komunikasi yang lebih baik.
Urung
Masri Singarimbun juga percaya, jumlah penduduk yang tidak
tercacah dalam Sensus 1980 jauh di bawah 3,5%. Menurut dia BPS
di kalangan internasional dianggap sebagai "yang paling baik di
antara negara berkembang". Masri menduga, semakin baiknya cara
sensus tahun lalu yang menghasilkan data yang lebih akurat
merupakan salah satu penyebab tingginya laju pertumbuhan
penduduk. Faktor lain adalah angka kematian yang turun dengan
pesat walau angka kelahiran juga turun.
Hasil Sensus 1980 memang menunjukkan turunnya angka kematian
yang menyolok, sebesar 33,26%. Sedangkan angka kelahiran turun
dengan 8,16% secara nasional. "Kami tidak mengira akibat
pelayanan kesehatan bisa menyebabkan turunnya angka kematian
begitu besar. Ditambah lagi dengan gizi yang lebih baik dan
tingkat ekonomi yang meningkat," kata Menkes Soewardjono
Suryaningrat pada TEMPO.
Agaknya ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingginya
laju pertumbuhan penduduk Indonesia. Sutjipto menduga, pada
belahan pertama dasawarsa 1961-1970 tingkat sosial ekonomi kita
buruk sekali hingga tingkat kematian tinggi.
Terjadinya G30S pada 1965 juga membawa pengaruh besar pada
fertilitas. "Banyak yang meninggal, ditahan atau
sekurang-kurangnya terjadi perpisahan keluarga yang menimpa
banyak orang pada usia yang produktif. Mestinya ada kelahiran,
tapi urung," ujar Sutjipto. Masih bisa ditambahkan beberapa
faktor lain, misalnya makin tingginya tingkat pendidikan serta
berlakunya UU Perkawinan yang mengundurkan usia perkawinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini