NASIB buruk tampaknya terus saja menimpa Norodom Sihanouk. Dari permuki-mannya di Beijing, Ahad lalu, pangeran dan kepala pemerintahan Koalisi Demokratik Kamboja (CDGK) itu mengirimkan pernyataan bernada ancaman kepada sejumlah perwakilan pers asing. Untuk kelima kalinya sejak 1982, Sihanouk mengumumkan niat mengundurkan diri dari koalisi. Kali ini, sang pangeran rupanya merasa sangat terpukul. Khmer Merah, satu di antara tiga kekuatan koalisi, telah membantai 38 gerilyawan Moulinaka, pasukan Sihanouk sendiri. Selain itu, anak buah Khieu Sampan tadi menawan 32 Sihanoukis lainnya, serta merampas sejumlah senjata dan alat komunikasi. Semua itu berlangsung dalam sergapan di perbatasan Kamboja -Muangthai, 16 Februari hingga 10 Juni lalu. "Bila Khmer Merah membunuh seorang Sihanoukis lagi, niat saya meninggalkan koalisi tidak akan bisa diubah lagi," kata Sihanouk dengan nada geram. Pangeran berusia 62 itu memang sudah kehilangan banyak - lima anak dan 14 cucunya tewas di tangan rezim Pol Pot. Kepada Pangeran Ranaridh, putranya yang mengatur suplai Moulinaka dari Bangkok, Sihanouk segera mengetuk kawat. "Ini bukanlah yang pertama dalam sejarah kekejaman dan berdarah Khmer Merah, Ananda," tulisnya. Terakhir, sang ayah mendesak Ranaridh menuntut ganti rugi untuk keluarga korban pembantaian itu kepada RRC. Mengapa harus menuntut dari Bangkok, padahal Sihanouk sendiri mengirimkan telegram tadi dari Beijing? Siapa pun tahu, Cina merupakan penunjang utama operasi mlliter Khmer Merah, kelompok terbesar dalam koalisi tridaya itu. Dengan sekitar 50 ribu gerilyawan bersenjata, Khmer Merah, agaknya, merasa patut bertingkah jumawa. Front Pembebasan Rakyat Khmer (KPNLF) pimpinan Son Sann hanya berkekuatan 15 ribu. Sedangkan Moulinaka cuma 10 ribu, dan otomatis menjadi kelompok terkecil. Dari pihak Khieu Sampan sendiri, hingga awal pekan ini belum terdengar sepatah kata. Malah, sepekan sebelumnya, radio gelap Khmer Merah yang dimonitor di Bangkok menyiarkan pernyataan bernada empuk. Siaran berbahasa Khmer itu menyiratkan sikap lunak Khmer merah dalam melihat peranan mereka untuk masa depan Kamboja. Partai Demokratik Kamboja - demikian Khmer Merah menamakan dirinya - menyatakan "bersedia menandatangani pakta nonagresi antara Kamboja dan Vietnam", segera setelah pasukan Vietnam ditarik dari wilayah Kamboja. Mereka juga menyatakan mendukung kepemimpinan Norodom Sihanouk dalam koalisi yang mengikutsertakan administrasi Phnom Penh. Pernyataan itu lebih jauh bahkan mengusulkan sebuah Kamboja dengan "ekonomi kapitalis liberal dan sistem politik parlementer". "Tidak akan ada tindakan balas dendam untuk mereka yang pernah mengabdi kepada Vietnam, asal pengabdian itu segera dihentikan," demikian radio gelap tadi. Semua usul ini terdengar merdu. Apalagi, kemudian, pernyataan tersebut juga menerima gagasan kerja sama dengan negaranegara ASEAN, "Bahkan bila pemilihan umum yang dilaksanakan kelak tidak memberi peranan apa pun kepada Khmer Merah." Namun, esok harinya, radio yang sama mengumumkan berita yang kurang seronok. Pol Pot, yang termasyhur sebagai pembantai rakyat Kamboja itu, dalam siaran tadi tetap dinamakan "satu di antara Khmer yang paling patriotis". Bila koalisi dibentuk, seperti diusulkan sebelumnya, Khmer Merah tidak akan menyetujui penyingkiran Pol Pot, seperti yang pernah disyaratkan Vietnam. Melihat. percaturan terakhir ini, penyelesaian masalah Kamboja tampaknya makin kusut saja. Namun, dari Malaysia, Menlu Tengku Ahmad Rithauddeen mengimbau Sihanouk membatalkan niatnya. "Kamboja harus mengambil sikap satu untuk semua dan semua untuk satu," kata Rithauddeen, awal pekan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini