GERAKAN tutup mulut Cesar Virata kandas, Jumat lalu. Kepada kantor berita AFP, perdana menteri Filipina itu membenarkan berita tentang sejumlah orang penting yang menyimpan harta benda di luar negeri. Walau Presiden Marcos sebelumnya sudah mengecam berita itu sebagai "sindiran, gosip, desas-desus", publik di Filipina tahu kalau Virata sudah angkat bicara - sekalipun tidak menyebut nama - maka skandal kekayaan yang menghebohkan itu pastilah bukan cuma kabar angin seperti dituduhkan Kepala Negara. Sumber heboh adalah surat kabar Mercury News, yang terbit di San Jose, California, AS. Dengan oplah 220.000, harian yang banyak beredar di kawasan industri Lembah Silicon itu menuduh, "Beberapa pejabat Filipina telah mengisap harta bangsanya dan menyimpannya sembunyi-sembunyi di luar negeri." Harian Malaya terbitan Manila segera mengutip lengkap laporan Mercury News, sedangkan harian Business Day, mingguan Katolik Veritas, dan Edisi Spesial Mr and Ms menyajikan cerita yang sudah dipadatkan. Harta tidak bergerak yang dilaporkan Mercury berkisar dari harga US$ 500.000 sampai US$ 2 juta. Tapi Imelda Marcos disebut-sebut membeli Lindenmere, satu areal yang terletak di Long Island dengan maksud menatanya kembali sebagai kawasan mewah, seharga US$ 5 juta. Vilma Bautista, sekretaris pribadi Imelda, ditulis bertindak sebagai agen pembelian untuk empat apartemen di Manhattan, New York, seharga kurang sedikit dari US$ 1 juta. Selain itu, Imelda juga dihubungkan dengan pembelian gedung Crown, yang terletak di Manhattan, seharga US$ 51 juta. Istana Malacanang guncang, mungkin karena rahasia terbongkar. Apalagi dalam laporan Mercury ikut tercantum nama Fabian Ver, bekas kastaf angkatan bersenjata Filipina yang dituduh terlibat pembunuhan tokoh oposisi Senator Benigno Aquino. Juga termasuk nama beberapa cronies - orang-orang kaya yang punya hubungan keluarga dengan Marcos - seperti pengusaha gula Roberto Benedicto, raja pisang Antonio Floirendo, pengusaha farmasi Jose Campos, industriwan bir dan minyak kelapa Eduardo Cojuanco, gembong kontruksi Rudolfo Cuenca, serta wali kota Makati Manila Nemesio Yabut. Tanpa buang waktu, Marcos memerintah Menteri Kehakiman Estelito Mendoza melakukan pengusutan dengan pesan, "Jangan sampai ada yang lolos." Khalayak pun segera meramalkan bahwa pengusutan itu akan menjebloskan banyak tokoh yang tentulah bukan orang-orang Marcos. Tapi sebelum Mendoza bergerak, sudah jatuh satu korban: bekas menpen Francisco Tatad. Kabarnya, tindakan ini dimaksudkan sebagai balasan atas kelancangan Tatad yang meniupniupkan api kebencian ke alamat Marcos lewat sebuah kolom surat kabar. Tatad dituduh lalai mendaftarkan harta miliknya selama beberapa tahun, serta pernah menerima cek dengan menyalahgunakan jabatan. Tuduhan ini, menurut Tatad, memang disengaja untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari aib keluarga Marcos. BUNTUT yang ditimbulkan Mercury News tidak berhenti sampai di sini. Menteri Energi Geronimo Velasco, yang ikut tercoreng nama baiknya oleh pemberitaan koran Amerika itu, segera mengajukan permohonan mengundurkan diri pada Marcos. Tokoh ini, yang sudah memimpin belasan perusahaan sebelum jadi menteri, tegas-tegas menyatakan dirinya tidak bersalah. Kasus Velasco menyulitkan Marcos karena bila pengunduran dirinya di kabulkan, berarti orang-orang Marcos lainnya terpaksa ikut terpental. Sesudah pembicaraan empat mata dengan sang presiden di Malacanang, akhirnya Velasco membatalkan niat sucinya. Lain dengan Menhan Juan Ponce Enrille, yang terus terang mengaku punya dua gedung di AS tapi dibeli untuk anak-anaknya. "Saya tidak melanggar hukum," tutur Enrille, yang juga sudah terkenal kaya sebelum jadi menteri. Masalahnya kini bukan kasak kusuk harta - yang belum tentu bisa disita - tapi rasa tidak berdaya. Oposisi, misalnya, melancarkan aksi kumpul tanda tangan yang dianggap sia-sia. Mengapa? Sebab, akhirnya pasti terbentur Batasang Pambansa, parlemen dengan mayoritas pendukung Marcos di dalamnya. Lalu usaha Dewan Perwakilan AS yang menurunkan bantuan militer dari US$ 100 juta menjadi US$ 25 juta dan menaikkan bantuan ekonomi dari US$ 95 juta menjadi US$ 155 juga dianggap belum tentu mencapai sasaran. Ketika akhirnya AS dituduh melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri dan Parlemen dianjurkan meninjau kembali kegunaan basis militer Amerika di Filipina, maka sadarlah wakil-wakil rakyat di negeri Paman Sam bahwa langkah perbaikan Marcos ternyata cuma kosmetik belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini