Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Militer, polisi, dan pasukan paramiliter sudah bersiaga di sejumlah kamp penampungan Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh, Rabu dua pekan lalu. Mereka ditugasi memastikan nama-nama warga Rohingya yang masuk “daftar dipulangkan” naik ke empat truk dan tiga bus yang akan membawa mereka kembali ke Myanmar. Targetnya: 2.251 orang dikirim pulang pada tahap pertama, yang diharapkan selesai dalam 15 hari.
Lebih dari 700 ribu warga Rohingya tinggal sementara di kamp ini karena lari dari pembunuhan dan penyiksaan oleh militer serta milisi Myanmar di kampung-kampung mereka di Negara Bagian Rakhine sejak 2016. Akibat serangan itu, 10 ribu warga Rohingya diperkirakan tewas. Tim pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut peristiwa itu sebagai genosida dan merekomendasikan para petinggi militer Myanmar diadili di Mahkamah Pidana Internasional. Tapi pemerintah Myanmar membantahnya dan tak menggubris rekomendasi tersebut.
Bangladesh, negara yang paling banyak menampung para pengungsi Rohingya, akhirnya mengaku tak dapat menanggung lebih lama. Negeri itu berunding dengan Myanmar hingga mencapai kesepakatan untuk memulangkan para pengungsi. Berbagai lembaga internasional mengkritik kesepakatan ini, tapi kedua negara jalan terus.
Pada Rabu itu seharusnya berlangsung pemulangan gelombang pertama. Namun, sejak pagi, tak ada satu pun pengungsi yang masuk daftar dipulangkan muncul. “Tindakan baru perlu diambil dengan memperhitungkan tuntutan utama pengungsi,” kata Mohammad Abul Kalam, anggota Komisi Bantuan Pengungsi dan Repatriasi Bangladesh, seperti dilansir Reuters, Ahad pekan lalu.
Nay San Lwin, pengungsi Rohingya yang kini bermukim di Jerman, menyatakan saat ini repatriasi bukanlah solusi yang tepat. “Itu tindakan konyol dan melakukannya saat ini sama seperti mengirimkan orang ke ladang pembantaian. Sebab, menurut pernyataan Ketua Tim Penyelidik PBB Marzuki Darusman, pembersihan etnis masih berlangsung,” ucap Lwin kepada Tempo. “Warga Rohingya tidak akan bersedia direpatriasi tanpa perlindungan internasional.”
Sekitar 500 ribu warga Rohingya tiba di Cox’s Bazar, sebuah kota di pantai tenggara Bangladesh yang berdekatan dengan Negara Bagian Rakhine, sejak tahun lalu. Mereka bergabung dengan saudara-saudaranya yang lebih dulu berada di sana setelah lari dari berbagai serangan pada awal 1990-an. Sampai akhir 2017, jumlah pengungsi mencapai 700 ribu orang. Sebagian mengungsi ke negara lain, di antaranya ke Malaysia dan Indonesia.
Warga Myanmar, yang mayoritas beragama Buddha, tidak menerima kaum Rohingya, yang beragama Islam, sebagai kelompok etnis pribumi dan memandang mereka sebagai orang Bengali yang masuk secara ilegal dari Bangladesh meskipun telah tinggal lama di negara ini. Hampir semua warga Rohingya ditolak kewarganegaraannya sejak 1982, termasuk untuk mendapat pendidikan dan akses ke rumah sakit.
Bangladesh, negara yang secara ekonomi juga miskin, ingin menyelesaikan masalah pengungsi ini dengan Myanmar. Pada November 2017, pemimpin dua negara itu akhirnya bersepakat menyusun rencana pemulangan mereka secara sukarela, aman, dan bermartabat. Namun rencana tersebut tidak kunjung dilaksanakan karena Bangladesh menunda repatriasi sambil menunggu persiapan lebih lanjut.
Rencana repatriasi akhirnya disepakati- kembali oleh kedua negara pada 30 Oktober lalu, setelah Menteri Luar Negeri Bangladesh Shahidul Haque bertemu dengan koleganya, Myint Thu. Myint Thu menyebutkan rencana itu sangat konkret untuk memulai pemulangan para pengungsi pada pertengahan November.
Pengumuman ini mengejutkan lembaga internasional karena disampaikan hanya sepekan setelah ketua tim pencari fakta PBB di Myanmar, Marzuki Darusman, menyatakan arus pengungsian warga Rohingya ke Bangladesh masih terjadi. “Genosida terus berlangsung,” kata Marzuki dalam konferensi pers sepekan sebelumnya. Para pejabat PBB melaporkan hampir 14 ribu pengungsi Rohingya telah menyeberang ke Bangladesh pada tahun ini.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet memperingatkan bahwa repatriasi pada saat seperti ini akan menjadi pelanggaran nyata dalam prinsip pemulangan pengungsi, yaitu asas sukarela. Peringatan itu tak menyurutkan rencana Bangladesh. Myint Thu meyakinkan bahwa Myanmar telah “mengambil sejumlah tindakan untuk memastikan mereka yang kembali akan memiliki lingkungan yang aman untuk kepulangan mereka”.
Munculnya daftar 2.251 nama pengungsi, yang diusulkan Bangladesh tapi diperiksa dan disetujui Myanmar, memicu kepanikan, termasuk di kalangan pengungsi di kamp Jamtoli. Pangkal soalnya adalah ketidakpercayaan pada pemerintah Myanmar dalam menjamin keselamatan mereka. “Saya akan minum racun jika dipaksa kembali,” tutur Abdur Rahim, 47 tahun, yang sebelumnya memiliki sebuah toko dan 2 hektare tanah di Rakhine. “Saya melihat sepupu saya ditembak mati militer. Apa jaminan kami tidak akan dianiaya lagi?”
Setara, perempuan 25 tahun yang tinggal di kamp pengungsi Jamtoli, juga enggan pulang. Dia bersama dua anaknya yang berusia 4 tahun dan 7 tahun masuk daftar repatriasi, tapi orang tuanya tidak. “Mereka membunuh suami saya. Sekarang saya tinggal di sini dengan orang tua saya,” katanya. “Saya tidak ingin kembali.”
Pemerintah Bangladesh menggunakan berbagai cara untuk membujuk pengungsi pulang, termasuk memberi tahu bahwa itu satu-satunya cara agar mereka mendapat hak dan kewarganegaraan. Menurut Saifullah, warga Rohingya lain, para pengungsi juga ditakut-takuti. “Penanggung jawab kamp mengatakan mereka akan menghadapi kesulitan jika tidak kembali ke Myanmar,” ucapnya.
Sehari sebelum jadwal pemulangan, sejumlah pejabat Myanmar, termasuk Myint Thu, mengunjungi kamp-kamp di Cox’s Bazar. Mereka disambut unjuk rasa para pengungsi yang memegang plakat dengan pesan menuntut kewarganegaraan dan jaminan keamanan. Saifullah, yang ikut bertemu dengan pejabat Myanmar itu, mengatakan mereka akan diantar ke lokasi transit di Rakhine sebelum dibawa ke kamp lain yang direncanakan menjadi rumah baru mereka.
Saat dia bertanya apakah para pengungsi bisa kembali ke desa dan mendapatkan kembali tanah serta properti mereka yang disita, “Pejabat Myanmar tidak memberi saya jawaban.” Sikap pejabat itu membuat warga Rohingya makin tidak yakin akan kesungguhan Myanmar. “Saya tidak akan kembali ke Myanmar meski pihak berwenang meminta saya pulang. Saya yakin inilah pandangan hampir semua pengungsi Rohingya di Bangladesh,” ujar Saifullah.
Setiba di Rakhine, menurut Guardian, warga Rohingya akan ditempatkan di rumah-rumah baru yang dibangun di Maungdaw, satu dari tiga wilayah tempat orang Rohingya sebelumnya tinggal. Tapi mereka tidak akan diizinkan bepergian ke luar kota. Sebagian besar juga tidak akan bisa kembali ke rumah dan desa mereka karena sudah dihancurkan militer.
Mohammad Idris, tokoh masyarakat Rohingya di kamp Unchiprang, mengatakan tentara dan polisi mengepung kamp pengungsian itu. Pemerintah Bangladesh juga meminta bantuan tokoh Rohingya agar membujuk para pengungsi. Tapi, kata Idris, 50 keluarga di kamp itu yang masuk daftar repatriasi menghilang dari gubuk mereka tiga atau empat hari sebelumnya dan aparat keamanan gagal melacak mereka.
Walhasil, rencana repatriasi itu bubar karena tidak ada satu pun pengungsi yang datang untuk naik ke truk dan bus yang sudah disiapkan. Mohammad Abul Kalam, pejabat Bangladesh yang menangani pengungsi, mengakui bahwa para pengungsi tak bersedia kembali sekarang. “Kami tidak akan memaksa,” katanya.
ABDUL MANAN, MAHARDIKA SATRIA HADI (GUARDIAN, NEW YORK TIMES, REUTERS, DHAKA TRIBUNE, THE DIPLOMAT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo