Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ancaman Perubahan Camp David

Israel khawatir Ikhwanul Muslimin menang dalam pemilihan presiden karena organisasi itu bertekad mengubah perjanjian Camp David. Pasokan gas Israel akan terancam, juga keamanan negaranya.

4 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan marinir bersiaga di lepas pantai Leviathan, perairan Mediterania, sekitar 130 kilometer arah utara pelabuhan Haifa. Perairan di utara Israel itu merupakan salah satu lokasi eksplorasi gas andalan Israel—setelah Tamar dan Yam Thetis—dengan luas 23 ribu meter persegi.

Tiga korvet yang mampu mengangkut 70 awak beserta sepuluh helikopter, kapal patroli cepat, dan tiga kapal selam bersiaga menjaga kawasan strategis itu. Biaya operasi keamanan yang dikeluarkan US$ 1 juta (sekitar Rp 9,6 miliar) per hari. Israel harus waspada selama 24 jam dalam 365 hari terhadap gangguan kelompok bersenjata Libanon yang anti-Israel, Hizbullah. Maklum, area laut itu masih menjadi sengketa Israel dengan Libanon sejak 2000.

Kebutuhan gas Israel mencapai lebih dari 350 juta kaki kubik per hari. Tamar dan Yam Thetis tak cukup. Sumber dari lepas pantai utara Israel berat di ongkos pengamanan. Nah, pasokan yang selama ini aman dan rutin adalah dari Mesir, yang menyuplai 40 persen gas. Tentara Israel membentengi pipa-pipa gas di sepanjang Terusan Suez, yang menjadi jalur suplai langsung dari negara tetangganya itu.

Namun, di masa depan, gas dari Mesir pun terancam seret, bahkan mampet. Sebab, Al-Ikhwanul Muslimin—penentang keras Israel seperti halnya Hizbullah—bertekad akan mengevaluasi perjanjian perdamaian Camp David 1979 bila partainya, Partai Keadilan dan Kebebasan, memenangi pemilihan Presiden Mesir putaran kedua 16 Juni ini. Maklum, perjanjian yang menjadi akhir dari perang enam hari kedua negara itu salah satunya berisi jaminan Mesir atas suplai gas ke Israel. Awalnya kewajiban suplai itu dalam bentuk minyak bumi, tapi diubah menjadi gas pada 2005.

Nah, Ikhwanul merasa perjanjian merugikan Mesir. Alasannya, harga jual gas ke Israel separuh lebih murah ketimbang konsumen lain, seperti Turki, Yunani, dan Italia. Hingga April lalu, Kejaksaan Mesir menyatakan negara merugi lebih dari US$ 714 juta (sekitar Rp 6,8 triliun) setelah revisi perjanjian. "Bisa dikatakan Mesir telah menyubsidi rakyat Israel, sementara kami tidak menyubsidi orang Mesir," kata Tamer Abu Bakar, Ketua Genco Group, perusahaan distribusi gas alam Mesir, kepada Wall Street Journal.

Jagoan Ikhwan, Muhammad Mursi, 60 tahun, yang juga Ketua Partai Keadilan dan Kebebasan, lolos ke putaran selanjutnya. Dia akan bersaing dengan Ahmed Shafiq, perdana menteri era Husni Mubarak. Namun posisi Mursi lebih kuat, nangkring di urutan puncak dengan 25 persen suara. Shafiq menempel ketat, hanya berselisih 1 persen suara. Adapun Hamdeen Sabahy, kandidat Islam ultrakonservatif, yang menempati posisi ketiga dengan 20,4 persen suara; Abdel Moneim Abol Fotouh (17,2 persen); dan menteri luar negeri era Mubarak, Amr Moussa (10,9 persen), tersingkir.

Mursi diprediksi berpeluang besar menang dalam pemilihan tahap kedua. Partai Keadilan dan Kebebasan menguasai 47 persen suara di parlemen. Apalagi kelompok Salafi dipastikan mengalihkan dukungan kepada Mursi setelah kandidatnya gagal. Kedua partai ini menguasai mayoritas 70 persen kursi di parlemen. Gerakan revolusi Mesir, 6 April, pun sedang bernegosiasi dengan Ikhwan. Mereka akan mendukung bila Ikhwan menjamin demokrasi dan kesetaraan.

Melihat konstelasi politik di Mesir, Israel pantas gemetar. Selain pasokan gasnya terancam, tekanan Israel kepada rakyat Palestina disikapi dengan keras oleh petinggi Ikhwan. Beberapa kali Mursi menyebut Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman sebagai pengisap darah. Israel, kata dia, telah mengelabui Hamas dan Fatah, dua kelompok besar di Palestina. Ikhwan, yang dekat dengan Hamas, mendorong kelompok penguasa Jalur Gaza ini bersatu bersama Fatah menekan Israel. "Kami mendukung Hamas melawan Israel," kata Mursi.

Israel mulai berkeringat. Menteri Luar Negeri Avigdor Lieberman mengatakan ancaman Ikhwan untuk pembatalan atau perubahan isi Camp David adalah pertanda buruk. Sengketa bisnis ini bisa berlanjut pada perselisihan politik. Apalagi, kata dia, situasi politik Mesir masih mengambang. "Mesir bisa menjadi musuh yang berbahaya daripada melawan nuklir Iran," ujar Lieberman.

Pilihan Israel jatuh pada Shafiq karena sosok ini adalah representasi militer Mesir, yang selama tiga dekade bersahabat dengan Israel. Walau begitu, Shafiq pernah memiliki dosa kepada Israel. Ketika masih menjadi pilot, dia dua kali menembakkan bom saat perang Mesir-Israel. Tapi Shafiq menjadi satu-satunya kandidat presiden yang ramah terhadap kepentingan Israel dan Amerika Serikat.

Lagi pula, ia masih memiliki "wajah demokratis" karena Mohamed ElBaradei, salah seorang tokoh penggerak revolusi yang dekat dengan kelompok Islam, mendukungnya. Bekas petinggi Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) ini memiliki hubungan baik dengan Amerika Serikat dan Israel. Bahkan ElBaradei pernah satu meja dengan petinggi Mesir, Presiden Israel Shimon Peres, Gubernur Bank Israel Stanley Fischer, dan mantan Menteri Luar Negeri Israel Shlomo Ben-Ami. Melalui tangan Israel, ElBaradei dibujuk. Harapannya, Shafiq mau menggaet suara dari pendukung revolusi dan kaum Islam. "Saya segera berkunjung ke Israel," kata Shafiq.

Dukungan Israel pun dikerahkan. Ada 60 lembaga sosial Israel yang menggelontorkan bantuan untuk rakyat Mesir. Di pihak lain, Israel memprovokasi Amerika Serikat menghentikan bantuan ke Mesir, yang merupakan amanah dari Camp David. Dalam perjanjian damai itu, Amerika wajib mengucurkan bantuan militer US$ 1,3 miliar (sekitar Rp 12,4 triliun) dan bantuan ekonomi US$ 250 ribu (sekitar Rp 2,4 miliar) per tahun.

Jika Camp David akan diutak-atik oleh Al-Ikhwanul Muslimin, posisi Israel bisa terjepit oleh musuh-musuh yang mengelilinginya, termasuk Iran. Perjanjian pada 1979 itu ditandatangani setelah negosiasi alot 16 bulan pasca-kunjungan Presiden Mesir Anwar el-Sadat ke Israel pada 1977. Perjanjian ini mengakhiri perang selama enam hari di Semenanjung Sinai pada 1967. Perang ini buntut pertempuran berkepanjangan antara negara-negara Arab dan Israel dalam memperjuangkan Palestina pada 1948. Perjanjian diteken Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin dengan perantara Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter. Kedua negara itu sepakat menarik semua anggota pasukan dari Sinai dan saling mengakui keberadaannya. Mesir adalah negara pertama yang mau mengakui Israel.

Hubungan Israel dan Mesir membaik pada Januari 1980. Mesir memulai memasok minyak mentah ke Israel. Pasukan multinasional pun memantau kepatuhan atas perjanjian itu. Namun Camp David tetap menyimpan kontroversi. Ada tudingan perjanjian ini dilakukan hanya untuk berbagi prestasi politik bagi Sadat dan Begin. Maklum, ketika itu Sadat sama sekali tak populer di Jazirah Arab. Hingga saat ini, Ikhwanul tak mengakui perjanjian itu. Salah satu alasannya, dalam perang tersebut, pemimpin Ikhwanul, Hassan el-Banah, terbunuh.

Eko Ari Wibowo (Reuters, Times of Israel, Harezt, Jerusalem Post, Al Arabiya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus