Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VIDEO berdurasi satu menit itu muncul di pelbagai laman jejaring sosial pada Selasa pekan lalu. Rekaman itu menampilkan gambar perempuan dan anak-anak yang sedang panik, berlarian menghindari ledakan dan kepulan asap tebal. Sejumlah orang tampak sibuk memindahkan tubuh-tubuh lunglai ke tempat yang aman.
Rekaman itu menggambarkan sekelumit tragedi pembantaian di Houla, Provinsi Homs, Suriah, yang menewaskan 108 orang pada Jumat dua pekan lalu. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak. Seorang saksi mata mengatakan ia melihat samar-samar sejumlah orang bersenjata membantai semua anggota keluarga di rumah mereka. "Sulit menggambarkan apa yang saya lihat. Perempuan dan anak-anak tanpa kepala...," ujarnya.
Pembantaian dimulai Jumat sore di pedesaan sekitar 40 kilometer barat laut Kota Homs. Para korban tersebut tinggal di desa-desa yang dihuni kaum Sunni. Para aktivis menuding Shabiha—milisi pendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad—berada di balik perbuatan laknat ini. Sebagian besar anggota Shabiha berasal dari kelompok Syiah Alawi, seperti halnya keluarga Assad dan elite penguasa Suriah. Sedangkan mayoritas penduduk Suriah menganut Sunni.
Saksi mata lainnya, Mahmud al-Houli, khawatir pembunuhan akan berlanjut jika komunitas internasional tak mengambil tindakan. "Kami manusia, bukan binatang. Kami hanya mendambakan kebebasan," ujar Al-Houli kepada CNN. Ia melukiskan betapa sedikitnya suplai makanan dan obat-obatan ke rumah sakit terdekat. Aliran listrik padam. Kehadiran personel militer di wilayah itu membuat warga ketakutan. "Kami takut terjadi pembantaian kedua," katanya.
Al-Houli mengaku sedang berada di tengah rombongan pengunjuk rasa ketika penembakan pecah bakda salat Jumat. Menurut dia, mula-mula militer menembaki demonstran. Setelah itu, milisi bersenjata berdatangan, melakukan kebiadaban yang sama.
"Mereka menyerang para perempuan dan anak-anak dengan pisau dan senjata mesin," ujarnya. Ia yakin para penyerang itu ingin menyulut konflik sektarian di wilayah tersebut.
Kepala Penjaga Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa Herve Ladsous menyatakan ada kecurigaan kuat pembantaian dilakukan oleh Shabiha. Ia mengatakan sebagian korban terbunuh oleh peluru artileri. "Hanya pemerintah yang memiliki senjata berat dan tank."
Tudingan itu diiyakan juru bicara Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Rupert Colville. Ia mengatakan sejumlah saksi mata menyebutkan penembakan dilakukan oleh Shabiha. "Namun ini perlu investigasi lebih lanjut." Wawancara dengan sumber-sumber di lapangan itu yang dimasukkan ke laporan Dewan HAM PBB dalam tragedi Houla.
Aktivis hak asasi manusia Marinella Corregia dari Jaringan Antiperang ragu terhadap kesahihan sumber-sumber yang diwawancarai Dewan HAM PBB. Sebab, isi laporan itu tak sejalan dengan laporan tim pengawas PBB untuk Suriah, yang diketuai Mayor Jenderal Robert Mood. Tim pengawas belum menunjuk hidung pelaku pembantaian itu.
Seperti dikutip Russia Today, Kamis pekan lalu, Corregia menghubungi Colville untuk mendapatkan jawaban. Colville mengatakan sumbernya adalah orang-orang lokal yang diwawancarai via telepon. Corregia tentu tak serta-merta puas atas jawaban itu. Ia pun bertanya bagaimana sumber tersebut mengenali pembantainya adalah Shabiha. Sebab, menurut dia, anak-anak yang menjadi korban berasal dari keluarga Alawi, yang propemerintah. "Sejumlah kontak kami menunjuk Shabiha," ujar Colville kepada Corregia.
Corregia mengatakan Dewan HAM PBB menggunakan laporan yang dibuat oleh komisinya, yang tak pernah menginjakkan kaki di Suriah. Menurut dia, para sumber itu mereka temui di Turki dan Jenewa, Swiss. "Jadi, tidak ada saksi mata yang aktual," katanya.
Yang tak masuk akal bagi dia adalah orang-orang dengan tanpa rasa takut mengumpulkan jasad korban, mengambil gambarnya, kemudian mengirimnya ke media internasional sesaat setelah Shabiha dan tentara menembaki mereka. Ia mempertanyakan mengapa di dalam video yang memperlihatkan penembakan oleh pasukan "pemerintah" itu ada orang-orang yang kabur membawa bendera Suriah, bukan bendera oposisi.
Pemerintah Suriah menolak dituduh terlibat dalam pembantaian itu dan menuding kelompok teroris sebagai pelakunya. Assad menuduh para teroris dan penyelundup senjata merusak rencana perdamaian yang dijalankan PBB.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Suriah, Jihad Makdissi, mengatakan tak ada tank ataupun artileri di sekitar wilayah itu. "Anak-anak, perempuan, dan warga sipil lainnya terbunuh di rumahnya, dan ini bukan perbuatan tentara Suriah," ujarnya.
Dalam pertemuan dengan Assad pada Selasa pekan lalu, utusan khusus PBB untuk Suriah, Kofi Annan, meminta semua pihak menghentikan serangan. "Kita sedang berada di titik balik. Rakyat Suriah tak mau masa depan mereka bergelimang darah dan tercerai-berai," ujar bekas Sekretaris Jenderal PBB itu. Pembantaian tersebut menambah tekanan terhadap rezim Assad. Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman, mengusir para diplomat Suriah.
"Kami minta pemerintah Suriah bertanggung jawab atas pembantaian orang-orang tak berdosa ini," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Victoria Nuland. Namun tekanan Barat membentur tembok Cina dan Rusia, yang masih setia mendukung Assad. Kedua negara itu menggunakan hak veto mereka untuk menggagalkan resolusi melawan Assad, meski belakangan Rusia mulai bersuara keras kepada Suriah.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menuding kelompok teroris mendompleng aksi pemberontakan. Namun ia tetap menyalahkan pemerintah Suriah. "Pemerintah bertanggung jawab atas keamanan warganya," kata Lavrov.
Pakar Timur Tengah dari Carnegie Moscow Center, Alexei Malashenko, mengatakan komentar Lavrov itu bisa dimaknai bahwa Rusia bisa sewaktu-waktu menarik dukungannya kepada Suriah. "Bashar Assad membuat dirinya dan Rusia terpojok. Bashar bisa kehilangan simpati dari Rusia," ujarnya. Meski demikian, Lavrov mengatakan pembantaian Houla tak bisa dijadikan alasan untuk melancarkan intervensi militer ke negara itu. Sebagai gantinya, dia meminta semua pihak berfokus pada rencana perdamaian.
Tragedi Houla ini menandai kian brutalnya kerusuhan antipemerintah, yang diawali dengan aksi damai pada Maret 2011. Aktivis hak asasi manusia mencatat tak kurang dari 13 ribu orang tewas sejak pemberontakan pecah di negara itu. Tentu saja dunia menyalahkan pemerintah Suriah atas kerusuhan itu. Namun kelompok pemberontak, yang didukung sejumlah negara, seperti Turki dan Amerika Serikat, serta Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), juga punya andil besar.
Sejumlah pengamat mengatakan kekejaman itu hanya alasan yang dibuat-buat untuk mendesak intervensi militer terhadap rezim Assad dengan dalih operasi kemanusiaan.
Sejak dulu Negeri Abang Sam dan sejumlah sekutunya di Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Qatar, menyokong kelompok oposisi. Mereka tak hanya menyediakan dana, tapi juga persenjataan. Washington Post melaporkan pengiriman senjata itu dikoordinasi langsung oleh Amerika Serikat.
Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton mengatakan pihaknya hanya memberikan bantuan nonsenjata kepada para aktivis, berupa peralatan komunikasi, yang membantu kelompok aktivis menghindari serangan pasukan pemerintah. "Dan terhubung dengan dunia luar," ujarnya beberapa waktu lalu.
Anggota Komite Eksekutif Persaudaraan Muslim Suriah, Mulham al-Drobi, mengatakan pihaknya telah membuka jalur suplai kepada pemberontak serta menggunakan sumber daya dari orang-orang kaya dan bantuan uang dari negara-negara Teluk. "Kiriman dalam jumlah besar sudah tiba. Sejumlah area sudah dipenuhi senjata," ujarnya.
Turki juga menyediakan markas untuk Tentara Pembebasan Suriah. NATO menyuplai persenjataan, yang tahun lalu digunakan memberangus rezim Muammar Qadhafi di Libya. Menurut bekas intelijen militer CIA, Philip Giraldi, persenjataan itu diangkut oleh pesawat-pesawat NATO. "Turki bertindak atas kuasa Amerika Serikat," katanya.
Ia mengatakan bantuan diam-diam dari NATO itu menunjukkan Amerika dan sekutunya sedang menyiapkan intervensi militer ke Suriah dengan dalih melindungi warga sipil, seperti yang terjadi di Libya. Dengan fakta tersebut, kata Giraldi, klaim pemerintah Suriah bahwa mereka diserang oleh pemberontak yang dipersenjatai, dilatih, dan didanai oleh pemerintah asing tak sepenuhnya keliru.
Sapto Yunus (AP, The Telegraph, CNN, Washington Post, Foreign Policy Journal)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo