JASA Deng Xiaoping alam memakmurkan RRC memang patut diberi acungan jempol. Berkat dialah. Negeri Panda itu sukses menarik modal dari luar negeri. Pabrik-pabrik modern tumbuh subur, diiringi dengan pesatnya laju pertumbuhan kemakmuran rakyat. Bayangkan, selama delapan tahun ia berkuasa, penghasilan per kepala orang RRC naik dua kali lipat, dari di bawah US$ 150 per tahun menjadi sekitar US$ 325. Gebrakan Deng dimulai delapan tahun silam, ketika dia mengumumkan kebijaksanaan pintu terbuka bagi modal asing. RRC kontan diserbu para pemilik modal, yang tergiur oleh kekuatan pasar negeri berpenduduk lebih dari semilyar orang itu. Apalagi Deng juga membangun zone-zone ekonomi bebas, tempat para pemilik modal bisa hidup di bawah sistem kapitalis tulen. Langkah lebih nekat diayunkan pada 1983, ketika Zhao Ziyang, sekjen partai yang kini kabarnya sudah dipecat, diangkat Jadi perana menteri. Zhao mengizinkan pendirian pabrik-pabrik yang 100% sahamnya dimiliki pemodal asing. Alasan Zhao, produksi dan perluasan lapangan kerja lebih penting. Maka, ekspor RRC terus melesat dari tahun ke tahun. RRC bahkan mulai diperhitungkan sebagai eksportir tangguh perangkat lunak komputer, sementara barang-barang elektronik ringannya makin garang menyerbu pasar dunia. Para pengamat ekonomi Jepang melihat RKC sebagai "bintang yang sedang menjulang. Untuk menjaga kelangsungan industri dan kemajuan ekonomi ini Pemerintah RRC sudah menyiapkan jurus khusus. Yakni dengan mengirim ratusan ribu mahasiswa dan teknisi ke negara-negara maju. Di AS dan Jepang, jumlah mahasiwa asing terbanyak berasal dari RRC -- suatu hal yang ternyata jadi bumerang: merekalah antara lain yang mengilhami demonstrasi Tiananmen. Bersamaan dengan melajunya pertumbuhan ekonomi, perbedaan kaya-miskin juga melebar. Sementara sebagian warga sudah keranjingan dan mampu mengikuti mode pakaian internasional umpamanya, sebagian yang lain tetap saja untuk membeli televisi harus mengencangkan ikat pinggang dalam waktu tak sebentar. Bahkan kesenjangan ini menjurus ke konflik antarprovinsi. Salah satu contoh antara Provinsi Guangdong dan Hunan. Guangdong termasuk provinsi paling kaya di RRC, sedangkan Hunan masih terjebak di alam tradisional. Guangdong dijadikan medan uji coba bagi pembaruan ekonomi, memiliki pelabuhan samudera, rakyatnya berwatak bisnis. Hasilnya, tahun lalu ekspor Guangdong meroket 30% menjadi US$ 5,6 milyar, sementara Hunan cuma terkatrol 3% menjadi US$ 630 juta. Celakanya, sementara kemajuan yang dipacu Guangdong tak dinikmati provinsi itu, efek negatif yang ditimbulkannya -- inflasi, misalnya -- dipikul di seluruh negeri, termauk Provinsi Hunan. Menjelang akhir tahun lalu, Hunan memprotes Beijing, agar sebagian sumber kekayaan Guangdong dialihkan ke Hunan. Kini laju perkembangan ekonomi negeri ini terancam. Sejak pembantaian Tiananemn, perburuan modal mendadak tersendat-sendat. Pukulan telak pertama diterima RRC awal pekan lalu. Seperti dikomando, para nasabah Bank of China (BoC) di luar negeri mendadak menarik deposito mereka. Lebih runyam lagi, di Singapura dan Hong Kong, basis operaci BoC, bank-bank lain ikut beraksi dengan tak mau meminjamkan duit untuk memecahkankesulitan likuiditas BoC. Bahkan Bank Dunia mempertimbangkan kembali rencana meminjamkan ratusan juta dolar buat Cina. Terakhir badan dunia itu menunda pemberian utang sebesar US$ 60 juta buat proyek pertanian di Provinsi Jiangxi. Sementara itu, harga-harga saham dan obligasi RRC di seluruh duniarontok, terutama di Hong Kong dan Eropa Barat. Ini membuat Guangdong International Trust and Investment Corp., lembaga pemerintah yang bertugas mencari duit di luar negeri, terpaksa menunda penjualan obligasi Samurai -- khusus untuk pasar Jepang -- sebesar US$ 100 juta. Pekan lalu, Federasi Asosiasi Bank Jepang membekukan bantuan US$ 140 juta kepada China National Petrochmical Corp. Dan Bank Pembangunan Asia, yang dimotori oleh Jepang, menunda penyerahan kredit US$ 25 juta. Nasib perdagangan RRC dengan Masyarakat Ekonomi Eropa juga terkatung-katung. MEE membatalkan pembicaraan perdagangan tingkat menteri dengan RRC kendati Menteri Perdagangan RRC Zheng Tuobin, yang direncanakan akan memimpin pembicaraan, sudah tiba di sana. Zheng akhirnya cuma sempat meninggalkan pesan kepada sejumlah pejabat MEE, "Kebijaksanaan pintu terbuka dan program pembaruan akan jalan terus, tak peduli pada apa pun yang telah terjadi." Zheng memang boleh tetap optimistis. Bagaimanapun, belum ada negara yang menjatuhkan embargo ekonomi kepada RRC. Para pemilik modal pun tak ada yang memutuskan untuk hengkang, tapi sekadar membekukannya untuk sementara waktu. Perhitungan bahwa RRC merupakan pasar yang mendatangkan keuntungan besar, agaknya, membuat semua pihak, termasuk Presiden AS George Bush, berpendapat, "Memutuskan hubungan dengan Cina, tak ada untungnya." Kecuali, tentu, RRC sendirilah yang memutuskan hubungan itu karena kesal atas sikap politik negeri-negeri lain. Berbagai pihak kini sudah menyatakan mereka akan menerima pengungsi politik dari Cina yang terancam hukuman di negerinya. Hong Kong, misalnya, sudah menyatakan siap menerima ribuan pengungsi dari negeri yang memburu para "kontrarevolusioner" itu.Prg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini