Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Naiknya bendera polisi agung

Tokoh reformis-konservatif atau kelompok garis keras cina: deng xiaoping, qiao shi & li peng, menjadi kelompok yang menonjol setelah pembantaian di tiananmen. tokoh-tokoh tua cina tampil kembali.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Deng Xiaoping muncul di layar TV Beijing Jumat pekan silam, dengan didampingi PM Li Peng dan beberapa pemimpin Cina penganut garis keras lainnya, tak lagi bisa dibantah itulah pertanda kelompok ini memenangkan perebutan kekuasaan di tingkat atas -- untuk sementara setidaknya. Tayangan televisi itu sekaligus juga menunjukkan bahwa Deng, 84 tahun, meski tampak lemah fisiknya, masih memegang kemudi dan masih menjadi orang yang paling berkuasa. Samar-samar kemenangan Deng sudah dapat tercium beberapa hari sebelumnya ketika secara tak terduga tampii tokoh Qiao Shi sebagai penguasa baru di negeri itu. Meski belum jelas-jelas disebutkan, Qiao tampaknya menggantikan kedudukan Zhao Ziyang -- yang tak ikut muncul di televisi malam itu -- sebagai Sekjen Partai. Qiao, walaupun dikabarkan dekat dengan mendiang bekas Ketua PKC Hu Yaobang yang "liberal", adalah seorang penganut garis keras. Karier orang berusia 65 tahun ini selalu diliputi kerahasiaan. Yang jelas, ia salah satu dari lima anggota Panitia Tetap Politbiro. Di dalam organisasi kepartaian, sejak 1987 Qiao memegang jabatan Ketua Komisi Inspeksi Disiplin. Kedudukan yang menyebabkan ia menguasai semua berkas mengenai siapa saja yang duduk sebagai pejabat partai. Ia pun karena itu mengetahui semua operasi intelijen. Maka, ia dijuluki "polisi super". Kemenangan kaum reformis konservatif -- istilah lain untuk garis keras -- itu juga sudah tercium dengan "menyeberang"-nya tokoh reformis-radikal Wan Li ke kubu konservatif. Ditodong ataupun tidak, beberapa hari setelah ia kembali dari Amerika, ia menyatakan mendukung pemberlakuan keadaan darurat perang. Padahal, semula mahasiswa mengharapkan Wan membela mereka, Yang menarik, penampilan Deng di layar TV didampingi pula oleh tokoh-tokoh tua partai yang dalam Kongres PKC ke-13, November tahun lalu, telah dipaksa dipensiunkan oleh Leng Xiaoping. Mereka antara lain Peng Zhen, Bo Yibo, Wang Zhen, dan Li Xiannian. Tak jelas benar bagaimana mungkin tokoh-tokoh senior itu bisa kembali ke politik aktif. Ada yang mengatakan, mereka itu dimobilisasikan lagi oleh Deng lantaran dalam hari-hari ketika krisis Tiananmen makin meruncing, ia makin kehilangan kendali. Apalagi pada waktu itu ada tanda-tanda sebagian tentara tak menyetujui pemberlakuan keadaan darurat dan tindakan kekerasan terhadap para mahasiswa. Mereka muncul kembali karena RRC dan komunisme dalam bahaya. Boleh jadi pula tokoh-tokoh tua itu "turun gunung" tanpa diundang. Dengan kata lain mereka datang untuk membalas dendam kepada Deng yang telah memaksa mereka pensiun. Sikap ini kelihatan sekali pada Peng Zhen. Ahli hukum dan bekas Ketua Kongres Rakyat Nasional (KRN) itu tiba-tiba saja muncul dan mengeluarkan pernyataan yang mengkritik Deng sebagai orang yang bertanggung jawab atas timbulnya semua itu. Termasuk juga yang dianggap punya dendam terhadap Deng adalah bekas Presiden Li Xiannian, 80 tahun, Ketua Dewan Konsultasi Politik yang tak punya kekuatan dan kekuasaan apa-apa. Tahun silam ia dipaksa pensiun, padahal penggantinya sebagai presiden tak lain dari Jendeal Yang Shangkun, yang jelas lebih tua dua tahun daripadanya. Yang paling diuntungkan dari pembantaian Tiananmen itu tak lain dari Jenderal Yang Shangkun sendiri. Ia telah berhasil mengembalikan citra Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) yang sudah begitu merosot sejak Peristiwa Lin Biao (1971) dan ketakmampuan TPR memberi "pelajaran" kepada Vietnam (1979) -- di mata kelompoknya, tentu saja. Sebab, di mata kekuatan yang pro demokrasi, tragedi Tiananmen sangat memerosotkan citra militer. Dengn munculnya TPR sebagai "penyelamat negara" di saat-saat yang paling kritis dalam kepemimpinan itu, maka mau tak mau Deng -- dan siapa pun yang bakal menggantikannya -- mesti berbagi kekuasaan dengan militer. Masalahnya, konon, tentara juga tak sepenuhnya bersatu. Tokoh Yang Shangkun -- yang diselentingkan akan menggantikan Deng sebagai Ketua Komisi Militer Pusat -- tak begitu populer di luar Pasukan ke-27 -- pasukan yang setia menjalankan perintah pembantaian di Tiananmen. Jenderal Yang kurang disukai lantaran sikapnya yang nepotistis. Sebagai Sekjen Komisi Militer, ia menempatkan Yang Baibing, saudara kandungnya, sebagai Direktur Umum Urusan Politik TPR. Ia pun menempatkan keponakannya sebagai komandan Pasukan ke-27 yang mengganyang mahasiswa itu. Konon, dalam posisi-posisi kunci militer selalu ada orang-orang yang menjadi kepercayaannya. Selain itu, ketidaksukaan sejumlah elite militer terhadap Yang juga disebabkan karena ia tak berperan dalam perang melawan Jepang (1937-1945) dan mengusir Kuomintang (1945-1949), walaupun ia seorang veteran Long March (1935). Malah ada yang mengatakan, pada dua tonggak sejarah yang menentukan tersebut, Yang bukanlah seorang komandan tempur. Ia hanya mengepalai korps kesenian dan hiburan. Tapi hubungan dekatnya dengan Deng telah menempatkan ia sebagai orang paling disegani dan juga dibenci di Cina. Yang sedang berada dalam kesulitan tentulah mereka yang berada dalam kubu reformis-radikal. Dua pemukanya yang terkemuka, Zhao Ziyang dan Hu Qili, dalam empat pekan terakhir ini tak terdengar namanya. Ada kabar keduanya berada dalam tahanan rumah. Walaupun belum diumumkan, sudah dapat dipastikan Zhao akan kehilangan kedudukannya sebagai Sekjen PKC, dan Hu pun akan kehilangan kursinya di Politbiro dan Panitia Tetap badan penentu tertinggi partai tersebut. Dengan demikian, sudah jelas bahwa yang berada di atas angin adalah golongan yang disebut sebagai reformis-konservatif (Deng Xiaoping, Qiao Shi dan Li Peng) yang berkoalisi dengan militer, ditambah dengan tokoh-tokoh tua. Tapi ada beberapa hambatan yang membuat koalisi itu akan seret. Pertama, dengan perkecualian Li Peng dan Qiao Shi, hampir semua anggota koalisi itu terdiri dari tokoh-tokoh yang usianya di atas 80 tahun, yang terlihat dalam penanganan krisis di Yan'an -- konsolidasi partai dan militer dekat setelah Long March -- dengan otoriter, yang membuat mereka tak populer di mata rakyat. Besar kemungkinan, bila dalam waktu dekat ini Deng Xiaoping tak lagi berada dikursinya karena alasan kesehatan, ataupun meninggal dunia, bakal terjadi krisis kepemimpinan. Qiao Shi selama ini selalu menjadi tokoh bayangan, sedangkan Li Peng tak punya akar yang cukup dalam, baik dalam masyarakat maupm dalam tentara. Satu-satunya yang punya peluang besar bila krisis tampil ke permukaan yakni pihak tentara. Tapi, seperti telah disebutkan, tubuh militer pun kurang monolit. Walhasil, sebenarnya -- melihat faktor usia, popularitas di kalangan massa, dan faktor-faktor obyektif lainnya -- golongan reformis-radikal masih punya peluang cukup besar. Dengan kata lain, terlemparnya mereka dari tampuk kepemimpinan, beserta kader-kader mereka, di RRC merupakan gejala sementara. Yang kini menjadi taruhan adalah nasib reformisme pada saat golongan pendukungnya terdorong ke belakang. Ada yang mengatakan, betapapun konservatifnya para pemenang dalam perebutan kekuasaan babak baru itu, mereka tetap pro reformisme. Jadi, program-program reformisme akan tetap berjalan. Seperti dijanjikan oleh Menteri Luar Negeri Cina apa pun yang terjadi politik pintu terbuka akan tetap dipertahankan. Namun, belajar dari pengalaman yang baru saja mereka alami, Deng dan kawan-kawan tampaknya akan lebih banyak menekankan faktor pendidikan politik, terutama untuk generasi muda. Suatu sapuan yang menyerupai kampanye pembetulan (zhengfeng yundong) pasti akan dijalankan di kampus, pabrik, dan tempat-tempat kerja lainnya. Maka, suatu metode yang menggabungkan Maoisme -- artinya menekankan pada pendidikan politik dan kesadaran massa -- dengan reformisme akan diterapkan. Masalahnya sekarang, dalam sepuluh tahun terakhir ini ideologi sudah dilupakan, karena pengalaman pahit suatu generasi dengan Revolusi Kebudayaan. Akan efektifkah itu di tengah liberalisasi ekonomi yang sudah dirasakan hampir oleh seluruh warga Republik Rakyat Cina? Dalam sejarah Cina, baik yang klasik maupun yang komunis, ada pasang-surut kewibawaan pemerintah. Dan itu disebabkan oleh kuat-tidaknya pribadi yang berada di pucuk pimpinan. Ketika Qin Shih Huang Di naik tahta, di abad ke-3 Sebelum Masehi, Cina dipersatukan dengan kuat karena kaisar ini memang tokoh yang punya karisma luar biasa. Salah satu bukti sejarah adalah Tembok Besar yang kini berdiri megah. Tapi setelah Shih, kesatuan Cina buyar. Raja-raja pengganti dia tak seberwibawa sang kaisar. Juga Mao Zedong. Ia sukses memimpin Long March, kemudian menegakkan Republik Rakyat Cina, mengubah gaya hidup rakyat sebuah negeri terpadat menurut konsep dia. Tapi, begitu ia jatuh, konsep itu pun cair. Memang, masalahnya, adakah pencairan itu akan menuju ke kehidupan yang lebih baik, atau menimbulkan kekacauan sosial-politik. Yang jelas, bila pucuk pimpinan kurang berakar, kurang berwibawa, kemungkinan terakhirlah yang bakal terjadi.A. Dahana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum