PEMBANTAIAN di Minggu subuh itu memang sudah lewat. Tapi ketegangan yang lain mulai merayapi Beijing dan kota-kota besar di Cina. Hal yang dicemaskan banyak orang, yakni bila kelompok garis keras memenangkan perebutan kekuasaan dalam menghadapi demonstrasi mahasiswa pro-demokrasi, menjadi kenyataan. Ribuan intel polisi dan militer sejak pekan lalu disebarkan ke segala pelosok. Tugas mereka cuma satu: menangkapi mahasiswa dan siapa pun yang dituduh terlibat dalam aksi menduduki Lapangan Tiananmen -- aksi yang berlangsung sejak pertengahan April lalu dan berakhir dengan tumpahnya darah ribuan mahasiswa dan rakyat, juga tentara. Radio dan televisi sebentar-sebentar mengumumkan agar warga Cina, di mana pun berada, bila mengetahui para "kontrarevolusiner" segera melaporkan kepada yang berwajib. Lalu dua nomor telepon diberikan. Belum jelas berapa orang yang kini disekap. Televisi Beijing yang dipantau oleh Televisi CNN, AS, sejak Jumat pekan lalu menayangkan penangkapan-penangkapan itu. Tampak sejumlah orang muda digiring masuk ke tempat penahanan dengan tangan diborgol, dikawal beberapa polisi. Menurut televisi tersebut, mereka itu mahasiswa. Jumat pekan lalu Universitas Beijing diserbu polisi. Poster-poster dibersihkan. dan, menurut The Straits Times, 12 orang yang diduga mahasiswa digiring ke luar kampus. Kini universitas yang menjadi salah satu pusat gerakan mahasiswa itu -- dan sejumlah perguruan tinggi yang lain di Beijing -- bagai bangunan tak bertuan. Yang ada cuma beberapa polisi, berjaga-jaga. Sebuah poster di Universitas Normal terhindar dari tangan polisi. Poster itu tetap berdiri dengan pesannya: "Ingat tugas kita -- membawa misi perjuangan sampai ke tujuan, dan rakyat harus menang." Kampus memang sudah sepi. Mahasiswa kabarnya sembunyi di luar kota. Ada yang bilang mereka menghindarkan diri dari penangkapan. "Mereka takut kena bantai," kata seorang mahasiswa di Chengdu, Provinsi Sichuan, di barat Cina, yang ikut bergolak. Sumber yang lain, yang diwawancarai koresponden TEMPO yang masuk Beijing dari Hong Kong, bicara lain. Mereka bukannya ketakutan, tapi untuk memberikan informasi yang sebenarnya terjadi di Tiananmen, pada Minggu subuh pekan lalu, kepada masyarakat luar Beijing. Memang, yang ditampilkan di Televisi Beijing hanyalah korban-korban di pihak tentara, dan bagaimana tentara membersihkan kota dari rongsokan truk dan kendaraan lain. Dan komentarnya: inilah semua korban aksi para "kontrarevolusioner". Tak segambar pun diperlihatkan korban di pihak mahasiswa. Bisa jadi, mahasiswa dan mereka yang pro-demokrasi memang tak kehilangan nyali. Setidaknya di kota-kota besar lain aksi unjuk rasa tetap muncul. Shanghai, kota terbesar di RRC, Kamis pekan lalu dilumpuhkan oleh demonstrasi. Sekitar 10 ribu mahasiwa dan sejumlah buruh berbaris menuju Lapangan Rakyat. Mereka mengadakan pawai dukacita buat korban-korban Tiananmen. Lagu-lagu dukacita berkumandang lewat ape recorder yang mereka bawa. Mereka menuntut penjelasan sebenarnya dari pemerintah tentang jumlah korban. Sempat terjadi insiden, 6 mahasiswa tewas tersambar kereta lewat. Lalu mereka membakar kereta api itu. Zhu Rongji, Wali Kota Shanghai, malamnya muncul di televisi, mengatakan bahwa tentara tak akan diturunkan di Shanghai. Tapi sejumlah orang bilang ada gerakan tentara di pinggir Shanghai. Kini beredar kabar bahwa wali kota tersebut dan beberapa pejabat partai dipecat. Dan pada akhir pekan lalu luas beredar berita bahwa 9 pimpinan Organisasi Buruh Independen Shanghai menghilang. Di Shenyang mahasiswa mengadakan aksi duduk di sudut-sudut jalan utama sambil membacakan nama para korban pembantaian. Sedangkan di Kota Guangzhou, sekitar 3 ribu mahasiswa dan buruh memblokir 5 jembatan utama. Paling seru terjadi hari Selasa pekan lalu, di Kota Chengdu, Provinsi Sichuan. kampung halaman Deng Xiaoping dan Presiden Yang Shangkun. Demonstran menghancurkan sejumlah toko, kantor, hotel, dan gedung bioskop milik pemerintah. Di sini darah pun tumpah: 300 demonstran tewas dimangsa peluru tentara, dan pemerintah setempat langsung memberlakukan undang-undang darurat. Lalu sebuah antiklimaks terjadi lewat layar TV Beijing. Jumat pekan lalu Deng Xiaoping dan Perdana Menteri Li Peng muncul di layar televisi. Mereka menyalami para perwira tinggi militer dan pejabat tinggi partai di Beijing, mengucapkan terima kasih atas sukses mereka mengakhiri "pemberontakan" di Tiananmen. Padahal, Deng dikabarkan meninggal karena kanker, dan Li luka parah ditembak seorang polisi. Adapun Sekjen Partai Zhao Ziyang yang pro-mahasiswa tetap tak tampak sejak ia mengunjungi mahasiswa di Tiananmen, 19 Mei, sehari sebelum undang-undang keadaan darurat perang diumumkan. Kenapa pemerintah sampai tega melakukan pembantaian? Inilah jawab Deng di televisi: mereka sudah mengarah pada penyingkiran partai komunis dan sistem sosialis. Yang kemudian tak jelas, mengapa tentara yang semula tak menggunakan kekerasan lalu berubah jadi algojo. Reportase wartawan majalah Newsweek ini barangkali bisa menjelaskan. Sabtu sore sepasukan tentara dengan baju putih dan celana hijau berbaris menuju Tiananmen. Mereka adalah prajurit-prajurit muda, tanpa senjata. Beberapa ratus meter dari pinggir lapangan, massa mencoba menyetop barisan itu, dan melempari mereka dengan sampah dan sepatu. Beberapa prajurit sempat melakukan diskusi singkat dengan mahasiswa. Kata tentara, mereka ditugasi menyingkirkan "unsur jahat" dan "keberandalan". Jawab mahasiswa, "Apakah kami ini kelihatan seperti orang jahat?" Barisan tentara itu balik tanpa meninggalkan insiden. Pada waktu yang hampir bersamaan sebuah konvoi tentara dari arah lain menuju ke Tiananmen pula. Mereka bersenjata dan dikawal sejumlah kendaraan perang. Massa menyetop iring-iringan ini. Seorang komandan yang memimpin barisan 40 truk mengatakan, "Kami tak akan melakukan kekerasan terhadap rakyat. Rakyat dan tentara seharusnya berdiri berdampingan." Maka, Sabtu sore itu sekitar 60 ribu mahasiswa dan massa rakyat merayakan yang mereka sebut "kekuasaan rakyat". Tapi, setelah senja menghilang, sebuah barisan tentara kembali ke Tiananmen. Ini bukan tentara yang sore tadi mencoba menembus blokade demonstran, tampaknya. Sebab, wajah-wajah mereka lebih tua. Mereka pun menyandang AK-47 bikinan Cina. Dan bentrokan pun dimulailah. Massa mahasiswa melempari mereka dengan batu dan botol. Pasukan tak peduli, mereka terus melabrak, memukuli, dan nemecuti mereka dengan tongkat dan ikat pinggang tentara. "Kalian tak boleh memukuli rakyat," teriak massa. Tapi tentara-tentara itu seolah tuli. Lalu untuk pertama kalinya sejak 7 minggu sebelumnya, sejak demo ini mulai meledak, tentara menyemprotkan gas air mata. Di tempat lain, di Jianguomenwai, kompleks tempat tinggal orang asing, sekitar 2 km dari Tiananmen, sekitar 30 truk menunggu. Massa mengelilingi mereka, memberikan kuliah tentang demokrasi. Di barat Tiananmen massa melempari barisan serdadu dengan puing-puing. Lalu mereka membakar sebuah bis tentara. Ketika itulah, sekital pukul 10 malam pada hari Sabtu itu, tembakan pertama terdengar. Tentara tak lagi cuma menggunakan tongkat dan ikat pinggang, tapi peluru panas. Lewat tengah malam sebuah gerakan tentara yang lebih besar, antara lain yang sorenya berpangkalan di Jianguomenwai, dengan gemuruh menuju Tiananmen. Pambantaian pun dimulai. Menurut Chris Street, dosen bahasa Inggris di Universitas Beijing, yang tiba di Hong Kong Rabu malam pekan lalu, pasukan penyerbu itu susah diajak bicara. Street, 36 tahun, dosen dari Australia, di malam pembantaian itu "ketamuan" 15 mahasiswanya yang mencari tempat sembunyi. Dari merekalah ia mendapat cerita bahwa tentara-tentara itu tampaknya minum obat perangsang dulu sebelum bergerak. Konon, obat jenis amfetamin, yang punya efek antara lain menghilangkan rasa sakit dan membangkitkan semangat. "Seorang mahasiswa bercerita ia melihat seorang gadis bergantung di kaki seorang serdadu, minta janganlah ia dibunuh. Tapi serdadu itu menghabisi juga gadis itu," tutur Street kepada wartawan South China Morning Post. Sampai Minggu pekan ini televisi Beijing terus menayangkan penangkapan-penangkapan mereka yang dituduh sebai "perampok", "perusak kendaraan", "tukang bakar", dan "pembunuh tentara". Sementara TV CNN, AS, memantau dan menayangkan siaran TV Beijing, sebaliknya pun terjadi: TV Beijing memantau dan menayangkan, setidaknya, TV ABC, AS. Yang kemudian meresahkan masyarakat, pantauan itu digunakan pemerintah untuk mencari orang-orang yang mau ditangkap. Koresponden TEMPO melaporkan, Sabtu pekan lalu TV Beijing menyiarkan rekaman wawancara wartawan TV ABC dengan seorang warga Beijing. Orang yang diwawancarai itu mengisahkan bagaimana tentara membunuhi penduduk sipil tak bersenjata. Bebrapa jam kemudian kembali orang itu muncul di layar televisi, tapi kini dalam siaran langsung TV Beijing: orang itu ternyata sudah ditangkap polisi. "Orang macam saya, yang menyebarluaskan kabar burung, memang sebaiknya disetop," kata orang itu, yang disebutkan sebagai Xiao Bin, kepala penjualan sebuah pabrik di Kota Dalian. Dengan cara itulah Pemerintah Cina membantah kabar-kabar bahwa dalam menertibkan kaum "kontrarevolusioner" tentara membunuhi mahasiswa dan penduduk. Di televisi disebutkan, Sabtu pekan lalu, bahwa hanya 100 orang sipil meninggal, sejumlah yang lain luka-luka. Di pihak tentara pun korban, katanya, mencapai 100 orang. Jumlah korban sebenarnya mungkin tak akan pernah diketahui. Para diplomat asing menduga korban sekitar 7.000 mati. Pihak intelijen AS mengatakan, sekitar 3.000 terbunuh. Yang menjadikan sulit menghitung korban, menurut kesaksian Cai Ling, salah seorang aktivis dari Fakultas Psikologi Universitas Beijing, bila barisan depan tentara menjatuhkan korban. barisan di belakangnya langsung mengambil korban yang belum tentu mati itu dilemparkan ke dalam truk yang kemudian entah dibawa ke mana. Kesaksian Cai, 23 tahun, yahg selamat dari pembantaian Tiananmen dan kini dalam persembunyian, direkam dalam kaset video. Kaset itu, sepanjang 40 menit, ternyata selamat sampai di Hong Kong lalu ditayangkan oleh televisi setempat Sabtu malam pekan lalu. Lewat Cailah nasib Wang Dan, seorang pemimpin gerakan mahasiswa dari Universitas Beijing, diketahui. Wang ditusuk bayonet, dan ia meninggal Senin pekan lalu di rumah sakit, tuturnya. Tentang jumlah korban sebenarnya ia tak tahu. Yang ia tahu, sekitar 30 buruh yang ikut berdiri di garis depan tewas semuanya. Dan mereka yang bertekad tetap tinggal di Tiananmen ketika Cai dan sejumlah mahasiswa menyelamatkan diri lari ke kampus, Minggu subuh itu, "mereka tak pernah kembali lagi." Berangsur-angsur kehidupan di Beijing kembali berjalan normal. Hanya tentara tampak di mana-mana, termasuk di sekitar rumah makan Kentucky Fried Chicken, rumah makan goreng Kentucky terbesar di dunia, yang masih tutup. Tiananmen dijaga ketat. Orang hanya boleh lewat di pinggir-pinggir lapangan. Selain banyak tentara dengan senapan T-56, sejumlah tank juga dipasang di lapangan yang seolah tak bertepi karena luasnya itu. Sementara itu, di depan Mausoleum Mao Zedong di sisi selatan dipasang pula kawat berduri. Mereka, dan sejumlah besar lain yang berkemah di Kota Terlarang, bukan pasukan yang di Minggu subuh pekan lalu meneror Tiananmen. Inilah taktik pemerintah untuk meredakan ketegangan. Benar juga. Ketika Selasa siang pekan lalu mereka masuk Beijing, penduduk mengelu-elukan mereka. Beberapa warga Beijing memberanikan diri menyapa mereka, menawarkan rokok. Tapi serdadu-serdadu itu menolaknya. Toh, tak sulit merasakan bahwa Beijing sebenarnya belum pulih benar. Selain lalu lintas dan orang lewat tak seramai biasanya, di sana-sini kadang terlihat polisi tiba-tiba menangkap seseorang, memborgolnya ke pohon, menginterogasinya, sebelum menggiringnya ke tempat tahanan. Siaran resmi sampai akhir pekan lalu menyebutkan sudah 400 orang ditahan di Beijing, dan sekitar 100 orang di Shanghai. Jumlah ini tampaknya akan terus bertambah. Soalnya, meledaknya demonstrasi yang menuntut demokrasi April lalu bukanlah peristiwa yang mendadak terjadi. Sejak Deng Xiaoping meluncurkan kebijaksanaan pembangunan ekonominya, Cina memang berubah. Suatu keajaiban ekonomi sedang berjalan, dan mendorong masyarakat "sama rata sama rasa" model Mao menuju ke masyarakat yang sadar akan konsumerisme -- dari mewahnya televisi warna sampai gemerlapnya lampu disko dan peragaan busana. Dalam sepuluh tahun terakhir pendapatan per kapita di Cina memang naik dua kali lipat. Tapi tak semua orang mencicipi keajaiban itu. Bagi kebanyakan penduduk Cina yang kini sekitar 1,2 milyar, sementara mereka sekarang boleh memimpikan mesin cuci, misalnya, tabungan tak juga terkumpul. Malah mereka menghadapi kenyataan baru: harus mengeluarkan uang suap bila ingin pindah apartemen, atau bila ingin punya anak lebih dari satu -- KB di Cina mengharuskan cukup satu anak. Akibatnya, sementara dalam statistik ekonomi menanjak terus, ketidakpuasan dan kemarahan menyebar diam-diam. Ditambah kecemburuan terhadap pejabat partai yang menerima fasilitas, ini menjadi api dalam sekam, yang kemudian berkobar dalam demonstrasi mahasiswa. Itu semua mencerminkan bahwa Partai Komunis Cina (PKC) dan pemerintah telah kehilangan wibawa, atau tak lagi ditakuti orang. Lebih dari itu PKC -- beserta aparatnya -- tampaknya hanya menjadi bahan cemoohan. Tersebutlah Lei Xiding, seorang pedagang di kota kecil. Suatu hari ia kedatangan empat pegawai pajak yang hendak memajaki 46 babi yang belum lama ia beli. Yang kemudian terjadi, Lei dan keluarganya menyobek-nyobek surat pajak, lalu mengeroyok keempat pegawai itu. Empat orang itu kemudian dikunci di kandang babi, dan -- menurut buletin pemerintah setempat -- oleh Lei dan tetangga-tetangganya yang berdatangan dipukuli dan dikencingi. Menurut Harian Rakyat, sejak 1985 nasib pegawai pajak memang tak menyenangkan. Sekitar 6.500 di antaranya pernah dianiaya para wajib pajak. Tercatat 13 orang di antaranya meninggal, 27 cacat seumur hidup. Memang, tiap perkembangan ekonomi punya dampaknya sendiri, dan ini terjadi di semua negara. Inflasi di Cina mencapai 30% per tahun, beberapa bank bangkrut, sering BUMN kekurangan uang kontan untuk membayar gaji, dan sogok menjadi sesuatu yang harus dibayar bila urusan diharapkan cepat selesai. Itu semua, tampaknya, membekas kuat dalam kepala banyak warga Cina. Lalu mereka frustrasi, cemas akan kebangkrutan ekonomi dan hari depan mereka sendiri. Padahal, menurut Nicholas D. Kristof -- kepala biro The New York Times Magazine di Beijing -- berdasarkan data-data yang ada, keadaan tak seburuk yang dibayangkan. Ekonomi Cina tetap tumbuh 11% per tahun, gaji tetap dibayarkan penuh meski terlambat, sementara suap dan korupsi sebetulnya belum separah di Taiwan. Tapi keyakinan bahwa negeri sedang menuju ke jurang krisis lebih mewarnai kehidupan sehari-hari. Seolah-olah kemajuan yang dihasilkan oleh modernisasi Deng tak pernah ada (lihat: Ancaman Setelah Tiananmen). Di dunia politik, partai memang masih ditakuti tapi tak seperti di zaman Mao. "Kini, bila kamu tak langsung menyerang kewibawaan partai, kamu tak akan diapa-apakan," kata Y.S. Cheng, dosen senior di Universitas Cina di Hong Kong. "Kamu bisa minum sampai mabuk, lalu memaki-maki Partai Komunis Cina, dan tak seorang pun mempedulikan kamu. Asal, kamu tak lalu turun ke jalan dan mengancam kewibawaan pemerintah." Memang kebanggaan terhadap PKC jauh surut, terutama dikalangan generasi muda. Dalam suatu makan malam di rumah seorang pejabat partai, sang bapak bertanya kepada anaknya yang berpendidikan Amerika, apakah ia akan masuk menjadi anggota partai. Jawab si anak: "Partai yang mana?" Si bapak terbahak-bahak, bukan karena senang tapi kecewa yang dalam. "Tak seorang pun anak-anak muda berminat jadi anggota partai," tutur Cheng Lin, 22 tahun, penyanyi Pop Cina yang beberapa waktu lalu lagu-lagunya jadi ngetop. Tersebutlah Zhang Hanzhi, istri bekas Menteri Luar Negeri Qiao Guanhua menlu yang populer di Cina karena pidatonya di sidang PBB pada 1976 yang menghantam Amerika Serikat. Zhang, bekas guru dan bekas penerjemah Mao, sangat mencemaskan hari depan PKC. "Generasi saya begitu diilhami oleh revolusi," tuturnya. Tapi anak-anak muda, katanya. berbondong-bondong pergi ke Amerika dan kebanyakan tak kembali, termasuk anaknya sendiri yang kini hidup di New York. Muncul kembalinya para jago tua yang mendukung Presiden Yang Shangkun dalam suasana seperti itu, mungkinkah membawa Cina kembali ke zaman "revolusi"? Tampaknya, bila memang itu diinginkan oleh pemenang perebutan kekuasaan kini, harus melewati usaha ekstrakeras. Bagaimanapun partai di Cina telah kehilangan genggamannya terhadap massa. "Generasi sekarang memimpikan sebuah negeri yang tak memerlukan sosialisme tapi memberikan udara demokrasi," tutur Zhang Hanzhi, istri bekas menteri luar negeri itu. Dan mereka yakin, mimpi itu suatu waktu bakal menjadi kenyataan. Cai dan mahasiswa yang kini sembunyi, konon, mengadakan gerakan bawah tanah. Tampaknya, kata Wang Dan, salah seorang pemimpin mereka yang ditusuk bayonet itu, ada kenyataan: bila ia ditahan, ia yakin seorang lain akan menggantikannya. Cina memang bak api dalam sekam.Praginanto, Bambang Bujono (Jakarta), dan Richard Ehrlich (Beijing)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini