Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengapa mereka tak saling menembak?

Berkat pengaruh deng xiaoping, tentara pembebasan rakyat lebih profesional. militer menjadi alat partai. dugaan akan muncul perang saudara ternyata tak terwujud. padahal ada gejala perpecahan militer.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA mulanya adalah spekulasi, bahwa di Cina segera berkobar perang saudara. Kesimpulan yang ternyata tak terwujud itu bukannya tanpa dasar. Sebab, hanya dalam situasi yang sangat istimewa, ketika nama negara dipertaruhkan -- umpamanya dalam masa perang -- Republik Rakyat Cina baru menggerakkan kesatuan tentara yang berdomisili di satu wilayah, menyeberang ke wilayah lain yang bukan daerah militernya. Dan yang membantai mahasiswa dan penduduk sipil di Ahad subuh pekan lalu di Beijing adalah Pasukan ke-27 yang bermarkas di Hebei. Sementara itu, tentara Beijing sendiri, Pasukan ke-38, tak turun tangan, bahkan kabarnya tak bersedia mengulurkan bantuan dalam bentuk apa pun. Dengan kata lain, ada petunjuk bahwa tentara pecah. Bila ternyata itu tak benar, jadi apa sebenarnya yang terjadi di tubuh Jiefungjun, Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) belakangan ini? Tampaknya gejala perpecahan di dalam memang ada, tapi kemudian ada langkah-langkah kompromi. Munculnya Menteri Pertahanan Qin Jiwei, jenderal yang pada awalnya satu barisan dengan para perwira yang menentang penggunaan senjata terhadap mahasiswa, sebelum hari pembantaian, diperkirakan guna mencegah perpecahan dalam tubuh TPR. Seandainya Qin Jiwei tidak mengambil langkah itu, perang saudara bukannya mustahil. Sekamnya sudah ada, yakni karena pasukan-pasukan itu pada dasarnya lebih setia kepada para panglimanya (dalam Komando Wilayah Militer), ketimbang kepada kepemimpinan TPR di pusat. Coba, ketika itu pasukan yang mengepung Beijing berbekalkan persenjataan seperti rudal antipesawat terbang, roket, dan tank -- perbekalan yang tak masuk di akal kalau hanya untuk menghadapi demonstran. Kesimpulan para pengamat, mereka dikomando bersiap siaga menghadapi "pembelotan" Pasukan ke-38 yang bermarkas di Beijing. Panglima Pasukan ke-38, Xu Qinxian, memang tegas menyatakan diri anti penggunaan senjata dalam menghadapi mahasiswa. Dan para perwira dan prajuritnya menurutkan kata komandan. Kemudian dipilihnya Pasukan ke-27 sebagai satuan penggempur selain alasan teknis, juga ada yang nonteknis. Pasukan ini dikenal memiliki reputasi gagah dalam konflik perbatasan dengan Uni Soviet pada 1960-an. Pasukan ini sangat profesional dan setia kepada Presiden dan Wakil Ketua Komisi Militer Pusat Yang Shangkun -- pendukung utama PM Li Peng, yang memang sejak awalnya berniat menghabisi demonstran. Adapun alasan nonteknis itu, barisan ini berada di bawah komando Jenderal Yang Jianhua, keponakan Presiden Yang Shangkun. Bila yang Shangkun berhasil menyeberangkan Pasukan ke-27, soalnya posisi kunci di Komite Militer Pusat dipegang oleh sanak saudara Yang. Departemen Politik Umum (DPU), yang ternyata mengomando bergeraknya Pasukan ke-27 di pekan lalu itu, dipimpin oleh Yang Baibing, saudara kandung Yang Shangkun. Lazimnya, untuk mengkonvoikan pasukan ke dalam wilayah pasukan lain komando berada di tangan Markas Besar Staf Umum. Toh, seumpama jalan pintas tak bisa dilakukan, Yang Shangkun pun tak akan menghadapi masalah. Sebab, pemegang kendali di Markas Besar tak lain Chi Haotian, menantunya sendiri. Yang kemudian dipojokkan tampaknya adalah Jenderal Qin Jiwei. Ia dipaksa memilih antara dua hal yang sulit. Bila ia setia kepada keyakinannya, perang saudara tampaknya tak terhindarkan, karena satu pasukan sudah jelas bergerak untuk menghantam mahasiswa. Bila akhirnya sang menhan memilih jalan kompromi, adalah untuk menghindarkan pertumpahan darah yang lebih besar. Tapi peran Jenderal Qin memang masih belum jelas benar. Sebab, kemudian yang muncul di layar televisi Jumat pekan lalu, adalah sang Ketua Komite Militer Pusat sendiri, Deng Xiaoping. Kesannya, Deng-lah tokoh yang berperanan mencegah perang saudara, dan karena itu ia tetap berada di kursi pucuk pengendali kekuasaan. Ia seolah hendak mengatakan kepada dunia bahwa ia masih sepenuhnya didukung tentara dan para sesepuh Partai Komunis Cina (PKC). Ia berhasil memadamkan huru-hara di ibu kota. Tapi bagi para pengamat, hal ini menggugah mereka untuk menilai kembali peranan dan posisi TPR. Pengerahan pasukan besar-besaran, dan menembuas batas wilayah seperti sekarang, terakhir berlangsung pada 1979, ketika Deng hendak "memberi pelajaran kepada Vietnam". Terulangnya hal itu sekarang ini boleh disimpulkan bahwa kebenaran doktrin Mao Zedong -- bahwa kekuatan politik lahir dari laras bedil -- masih berlaku. Bukan sebaliknya. Spekulasinya, jika nanti Deng Xiaoping meninggal, bisa saja masa seperti setelah Revolusi Kebudayaan terulang. Setelah berjasa mengamankan keadaan atas permintaan Mao Zedong, sehingga Revolusi Kebudayaan tidak terjegal oleh radikalisme Pengawal Merah, TPR ketika itu akhirnya seperti merasa berhak mendapatkan konsesi politik. Kondisi kemudian menjadi berbalik, yakni militer menguasai jaringan Partai. Kemungkinan itu terbuka karena disangsikan pengganti Deng masih akan seberwibawa dia. Melihat personel yang kini duduk di pimpinan teras Partai, tampaknya tak seorang pun punya kekuatan pribadi dan politik sebesar Deng (lihat Naiknya Bendera Polisi Agung). Ketika itu, dalam periode sesudah 1969, yang merupakan masa konsolidasi Partai setelah porak-poranda akibat Revolusi Kebudayaan, pemerintahan RRC praktis dikangkangi oleh tentara. Para pimpinan partai di tingkat provinsi sebagian besar, lebih dari 60% adalah anggota TPR. Pun, sebagai hasil Komite Sentral Kongres Partai ke-IX, tercatat anggota Komite-Komite Tetap dari Komite Revolusioner (tingkat provinsi kota praja, dan wilayah otonom) adalah tentara. Menteri Pertahanan dan Wakil Ketua Partai Lin Biao telah bertindak tidak kepalang tanggung menggalang kekuatan untuk menguasai pemerintahan. Di tingkat pusat, dari 25 orang anggota Politbiro, ia antara lain berhasil memasukkan istrinya sendiri, Ye Qun, di samping sejumlah pimpinan militer yang berada di bawah ketiaknya. Dengan sendirinya Mao merasa terancam. Maka, ketika kemudian terbukti bahwa Lin merencanakan kudeta, Mao langsung menghabisinya dengan roket. Tapi, setelah Lin Biao dinyatakan meninggal (12 September 1971), upaya Mao untuk memulihkan kejayaan Partai atas militer tidak sepenuhnya berhasil. Politisasi militer yang dilancarkan Mao justru mempertinggi bobot ideologi militer, mengurangi profesionalismenya -- dan akhirnya mereka harus mempertahankan eksistensinya dalam Partai. Deng Xiaopinglah yang kemudian secara sistematis menggerogoti kekuatan militer dalam pemerintahan dan Partai. Ketika berhasil kembali naik ke panggung politik, sejak awal Deng sudah mengkritik TPR yang tidak memiliki disiplin. Ia lantas mencanangkan gerakan konsolidasi dan peningkatan profesionalisme. Di antaranya dengan membubarkan komitekomite revolusioner yang sempat didominasi tentara dan mengembalikan sejumlah jabatan penting di pemerintahan ke tangan sipil. Langkah ini dipertegas lewat Pleno Ketiga kongres Komite Sentral PKC, Desember 1978. Ini sempat menggelisahkan para perwira senior. Tapi Deng Xiaping adalah buldoser. Ia jalan terus, dan tak tergoyahkan, meski kritik atas kebijaksanaannya datang bertubi-tubi. Malah kemudian Deng berhasil duduk sebagai Ketua Komisi Militer. Ia memang memiliki reputasi terhormat sebagai pemimpin di zaman perang perjuangan PKC, antara lain sebagai komisaris politik Pasukan ke-2. Demi meningkatkan kualitas tempur dan penyediaan peralatan yang lebih canggih, jumlah tentara kemudian dikurangi lebih dari satu juta orang, sehingga tinggal sekitar 3,5 juta. Tapi karena dalam gerakan reformasi modernisasi pertahanan menduduki urutan terakhir setelah pertanian, industri dan ilmu pengetahuan, jumlah anggarannya juga mengecil. Pada 1988 jatah tentara hanya 8,5% dari anggaran negara, tidak lagi 17,5% seperti pada 1979. Sebagian dana pendukung program peningkatan kualitas peralatan didapatkan TPR dari hasil penjualan senjata produk mereka sendiri, seperti rudal Ulat Sutera (ke Iran) dan rudal jarak menengah CSS-2 ke Arah Saudi. Di TV Beijing Jumat pekan lalu itu, Deng Xiaoping dengan suara agak tergetar dan mata letih, antara lain mengatakan, "Setelah menggebrak gerakan kotrarevolusi itu, tentara kita telah membuktikan diri dapat diandalkan." Kata-kata itu bisa ditafsirkan bahwa TPR telah lebih profesional dan berdarah dingin. Tapi bisa juga dijabarkan menjadi bahwa posisi TPR sebagai alat Partai telah dipulihkan. Bukankah yang dibantai tentara adalah kekuatan "kontrarevolusioner" yang membahayakan negara, bangsa, dan komunisme? Benarkah Deng yang memainkan biji-biji catur? Kenyataan bahwa Departemen Politik Umum yang berada di bawah pengaruh Yang Shangkun yang punya kerja, besar kemungkinan Deng sekadar ditampilkan setelah semuanya beres. Untuk itu Deng harus membayar mahal. Zhao Ziyang, orang kepercayaannya dalam gerakan reformasi ekonomi yang akarnya di kalangan militer belum luas, akhirnya harus ia relakan dicopot sebagai ketua partai. Ini mengingatkan kekalahan Deng dua tahun lalu, ketika Ketua Partai Hu Yaobang, juga tokoh pilihan Deng didesak oleh kalangan perwira senior TPR untuk mundur. Kelanjutannya, tampaknya Deng akan memberikan konsesi politik kepada Yang Shangkun dan kelompoknya. Militer ada kemungkinan akan mendominasi Partai dan kemudian tentara menyerahkan kekuasaan kepada kelompok garis keras. Kalaupun ini terjadi, sebenarnya tidak menyimpang dari sejarah. Pada awal pertumbuhannya, basis kekuatan PKC di wilayah pedalaman adalah kekuatan gerilya yang kemudian menjadi bagian dari TPR. Jadi, TPR dan PKC pada awalnya merupakan kesatuan. Itu semua bisa terjadi bila memang gerakan mahasiswa, yang kabarnya berlangsung di bawah tanah, boleh dianggap tak ada artinya. Tapi benarkah ini?Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum