PERANG dengan senjata nuklir pastilah tidak menarik, apalagi dengan rudal jarak jauh. Orang hanya berurusan dengan tombol-tombol dan tiba-tiba terjadi kiamat di tempat lain. Daya musnah nuklir memang besar tapi sensasi yang ditimbulkannya tidak wajar. Pokoknya, sangat tidak menarik. Dewasa ini di samping AS dan US ada lima negara lagi memiliki senjata nuklir, serta 20 lainnya kelak yang coba-coba bertualang dengan calon pemusnah umat manusia itu. Dalam perimbangan seperti ini, kekuatan fisik menjadi sangat penting dan tanpa senjata nuklir beberapa negara bisa saja merasa tidak berdaya, bahkan tidak bergengsi. Sekalipun begitu, senjata nuklir juga tidak menjamin rasa aman bagi suatu bangsa. Apalagi dalilnya cuma satu: perang nuklir tidak akan melahirkan pemenang, karena semua akan kalah dan dunia musnah. Lalu buat apa menghabiskan ratusan milyar dolar untuk satu kemusnahan? Masalahnya tentu tidak sesederhana itu. Ini terbukti dari pertemuan puncak Gorbachev-Reagan yang tercatat sebagai KTT nuklir ke-11, belum lagi berbagai perundingan terpisah yang membahas aturan main nuklir secara terinci. Tiap kali kedua pihak - seperti yang terjadi di Jenewa dewasa ini - akan memulai perundingan dengan serius tapi setengah jalan mulai mencari peluang untuk berkelit. Peluang dianggap perlu kalau mau lebih unggul sedikit dari lawan. Ini penting karena lebih unggul berarti aman, bisa mendiktekan kehendak sendiri atau mungkin juga bisa mendikte dunia. Kalaupun misalnya kini AS dan US setuju untuk menciutkan senjata, itu pun barangkali dengan maksud menyeimbangkan kekuatan mereka. Sampai pada tahap ini, perundingan penciutan senjata nuklir mau tak mau akan sangat sulit. Dalam SALT I, 1972, Soviet setuju untuk tidak menghitung jumlah rudal AS dan NATO di Eropa, suatu hal yang kemudian terasa merugikan. Dalam SALT II - yang intinya memperlambat perlombaan senjata - Soviet unggul dalam jumlah rudal jarak jauh, suatu hal yang rupanya dianggap tidak bisa diimbangi AS dengan keunggulan di bidang rudal jelajah. Dengan alasan protes terhadap serbuan Soviet ke Afghanistan, 1979, persetujuan itu akhirnya tidak diratifikasi Kongres AS. Peluang ini dimanfaatkan Soviet untuk memproduksi senjata nuklir sebanyak-banyaknya. AS ketinggalan. Sekarang jumlah rudal telanjur membesar, apalagi sebagian berkepala nuklir banyak. Soviet mengusulkan agar jumlah ini ditekan sebatas 6.000, AS menyarankan 4.500. Dalam pelaksanaannya di pentas nuklir Eropa, 108 rudal jarak menengah Pershing-II dan 32 rudal jelajah yang ditanamkan AS harus dibekukan, sedangkan Soviet harus berbuat serupa terhadap 270 rudal SS-20 yang ditujukan ke Eropa Barat. Terakhir Moskow maju dengan usul baru: Pershing-II dicabut, tapi 100-120 rudal jelajah AS di Eropa boleh bertahan, sementara Soviet akan mengurangi jumlah SS-20-nya, tanpa menyebut angka. Teka-teki ini mungkin akan terjawab di Jenewa, mungkin juga tidak. Soalnya, seperti diragukan banyak pengamat, belum tentu kedua negara adidaya itu memang benar-benar serius untuk berunding. Belum tentu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini