Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Mitterrand

Presiden prancis, Francois Mitterrand, menyebut nama Soeharto dalam catatan hariannya. Mitterrand lebih banyak berbicara soal kemerdekaan & hati nurani. (ctp)

23 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MITTERRAND di sebelah kiri, Pak Harto di sebelah kanan. Saya tak tahu persis, pernahkah presiden Prancis itu bertemu dengan presiden Indonesia, sebelum sidang FAO 1985 di Roma itu. Saya juga tak tahu, apa kesannya setelah pertemuan itu. Tapi sepuluh tahun yang lalu, ia menerbitkan bukunya, La paille et le grain ("Jerami dan Sekam"), dan di sana Francois Mitterrand menyebut, antara lain, nama "Suharto". Buku ini, yang versi Inggrisnya berjudul The Wheat and the Chaff, tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai catatan harian. Ia lebih merupakan koleksi renungan, dari hari ke hari. Mitterrand lebih suka menamakan diri seorang yang bertindak, tapi ia sendiri memaklumkan: "Saya mengamati - dan saya menulis." Dan ia pun menuliskan tentang apa yang diamatinya pada Kissinger, dan Sadat, Golda Meir dan Brezhnev, Pompidou dan Giscard d'Estaing. Ia juga menulis tentang novel Gabriel Garcia Marquez dan puisi, tentang sosialisme dan anjing kesayangan. Hampir tiap hari ada saja renungan yang terekam, bahasanya terang dan elegan, dengan gairah hati yang jelas tapi mencoba sembunyi. Dan pada catatannya bertanggal 16 Oktober 1973, Mitterrand menyebut nama itu - "Suharto". Isinya cukup mengejutkan: ia mengusulkan, agar juri Hadiah Nobel Perdamaian memberikan penghargaan kepada jenderal dari Indonesia itu. Alasannya: karena orang-orang komunis Indonesia tidak lagi dibunuhi .... Dengan segera kita tahu, apa gerangan bayangan Mitterrand tentang Indonesia, 12 tahun yang lampau itu. Yakni, sebuah republik kekerasan. Sebuah negeri seperti Uganda di bawah Idi Amin, Yunani di bawah rezim Papadopoulus, Cili di bawah Pinocehet: sebuah negeri yang biasa membuang jauh-jauh lawan-lawan politik. Dengan kata lain, citra di kepala Mitterrand tentang Indonesia adalah citra yang umumnya berkembang di kepala seorang cendekiawan Eropa, apalagi bila ia kiri, tentang sebuah kekuasaan nun di sana - yang ceritanya banyak tercantum dalam buletin Amnesty International. Tapi waktu itu Francois Mitterrand belum lagi seorang kepala negara. Perihal kekuasaan di tahta yang tertinggi, ia cuma baru mendapatkannya dari buku dan cerita orang. Tulisan-tulisannya dalam "Jerami dan Sekam" memberi kesan tentang seorang yang berada dalam pergulatan politik, tapi pada akhirnya kembali kepada apa yang dicintainya sejak awal: puisi ide-ide pertukaran pikiran kebun yang terawat hutan yang rindang rasa simpati kepada sisi sejarah yang human. Seorang yang romantis. Mitterrand kini memang sering dicemooh sebagai suara dari masa silam. Saya tak tahu benarkah begitu kenyataannya. Tapi ia barangkali khas Prancis dalam tradisi intelektual dan politiknya sekitar 40 tahun yang lalu: perjuangan dengan gagasan-gagasan mendasar, yang mengerahkan kaki, hati, juga esei-esei. Dibesarkan dalam sekolah klasik, tumbuh jadi seorang sosialis yang tak mahir matematika dan tak bisa dagang, Mitterrand memang tak pernah bisa tampil sebagai teknokrat atau manajer profesional. Ia tak bicara tentang efektivitas dan efisiensi. Ia bicara tentang dua hal yang sudah lama kemerdekaan dan hati nurani. Sebab itulah merk sosialismenya bisa tampak tua - lebih tidak jelas dibanding merk Lenin dan Kiri Baru. Sebab, bagi Mitterrand, sosialisme tak mewakili nilai-nilai yang lebih tinggi ketimbang "kebenaran sederhana fakta-fakta". Sosialisme justru "mendebat, mencari, memperkirakan", "merontokkan berhala pujaan dan tabu-tabu". Ringkasnya, sebuah sosialisme yang berani hidup, tanpa tanda jalan dan peta yang siap. Sebab, ideologi telah pada gugur dan kenyataan kian rumit. Pegangan terakhir adalah hati nurani, kata Mitterrand, "partikel yang tak bisa dikorupsi" dalam rohani kita. Tanpa itu, di "abad yang malang ini", tak seorang pun akan mampu "menyaring mana yang gagasan dan mana yang sesembahan", memilih mana yang sumber ilham dan mana yang pangkal sihir. Tapi tulisan itu bertahun 1975. Sedasawarsa kemudian, Mitterrand duduk dalam kursi kepresidenan. Lalu kasus Rainbow Warrior pun terjadi: pasukan rahasia Prancis meledakkan sebuah kapal milik gerakan antinuklir, dan seorang fotograf yang tak bersalah tewas. Mitterrand memang tak terlibat, tapi ia berada di pucuk kekuasaan. Dalam posisi itu, dapatkah orang banyak mendengar sendiri bagaimana hati nuraninya bekerja? Ketika ia baru berumur 17 tahun, Mitterrand pergi ke Universitas Paris dan menyimak Filosof Julien Benda berpidato. Ia masih ingat salah satu kalimatnya: "Negara bila ketertiban dijaga, tak butuh akan Kebenaran." Kini, dalam usia 68 tahun, ia begitu lekat sudah dengan "Negara". Bisakah seorang presiden kemudian bertahan sebagai kepala negara, untuk tetap membutuhkan hal-hal yang tidak dibutuhkan Negara? Mungkin bisa. Tapi betapa merepotkannya. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus