DI lapangan parkir di depan kantor kepresidenan Slobodan Milosevic, seorang wanita tak lagi mampu menahan tangisnya. "Sudah sekian lama kami terjebak dalam kegelapan seperti ini. Tapi tetap saja tak berubah," katanya. Ia mungkin mewakili 10 juta penduduk Serbia yang semakin menderita terimpit ekonomi. Setelah embargo perdagangan plus embargo udara dan senjata diberlakukan PBB enam bulan silam, nadi perekonomian Serbia benar-benar lumpuh. Menurut Miomir Jaksic, profesor ekonomi dari Universitas Beograd, tingkat inflasi bulan Desember ini mencapai 250.000%. Sedangkan harian Vercernje Novosti melaporkan, harga sebotol Brandi di pasar swalayan sampai empat triliun dinar lebih, sedangkan sebongkah roti yang diantre setiap hari oleh ribuan warga Beograd, harganya mencapai dua juta dinar. Kondisi itu diperburuk dengan pencetakan uang terus-terusan oleh pemerintah Serbia, tanpa memperhitungkan cadangan devisa negara. "Mau apa lagi? Satu-satunya jalan agar bisa bertahan, ya, mencetak uang," kata Mihajlo Markovic, seorang tokoh Partai Sosialis, partai yang berkuasa kini di Serbia, dan yang memenangkan pemilu pekan lalu. "Mungkin itu ada batasnya. Tapi sekarang ini merupakan masa transisi yang mungkin berlangsung lama," sambung Markovic, yang yakin bahwa ekonomi Serbia bakal tertolong oleh sumber alam. Karena keyakinan itulah, ratusan ribu pekerja meski tak ada pekerjaan tetap menerima gaji dalam bentuk uang kontan baru, yang tak ada nilainya. Sebagian di antaranya dibayar dengan minyak, gula, atau gandum, yang diambil dari gudang-gudang milik negara. Tak jelas, sampai kapan Serbia bisa bertahan dalam ekonomi yang suram dan kacau itu. Yang jelas, Presiden Slobodan Milosevic, ketua Partai Sosialis Serbia yang meraih lebih dari separuh dari 250 kursi parlemen, pekan lalu sudah mengambil langkah pencegahan. Spekulasi yang beredar di Beograd, Milosevic akan memberlakukan keadaan darurat dalam beberapa pekan mendatang. Dengan begitu, ia bisa mengendalikan harga- harga yang meroket tinggi. Kemudian, mungkin dengan bantuan militer atau polisi, Milosevic bakal menekan para pemasok barang kebutuhan dan makanan, agar melepaskan barangnya ke pasaran resmi. Selama ini, hampir semua pemasok lebih suka melemparkan barangnya ke pasar gelap dengan harga tinggi konon dengan bantuan para pencoleng daripada ke pasaran yang harganya dikontrol pemerintah. Itu semua untuk konsumsi dalam negerinya. Sedangkan agar perdamaian di Bosnia terwujud, dan memungkinkan embargo perdagangan PBB dicabut, Milosevic dikabarkan telah membujuk Pemimpin Serbia di Bosnia, Radovan Karadzic, agar bersedia memenuhi tuntutan pihak Bosnia. Yakni, agar Serbia memberikan tiga persen lebih banyak dari 30% wilayah Bosnia-Herzegovina yang akan diberikan ke etnis Bosnia. Usul ini tampaknya diperhatikan, dengan disepakatinya pembagian wilayah yang baru di Jenewa dan Brusel, Desember lalu. Pada akhirnya impitan ekonomi sebagai dampak embargo memang nyata dirasakan, dan pemerintah Beograd mencoba mengatasinya, termasuk mencoba mengakhiri perang di Bosnia. Masalahnya, apakah upaya-upaya itu bisa mengakhiri 20 bulan perang saudara di Balkan, dan PBB bersedia mencabut embargo perdagangannya? Lakon lama tampaknya belum juga akan berganti. Di dada para pemimpin etnis Serbia, baik yang bercokol di Serbia maupun yang bertempat tinggal di Bosnia, api Serbia Raya belum padam. Menangnya Partai Sosialis, penganjur Serbia Raya, merupakan indikasi kuat. Dan meskipun lima partai lawan Partai Sosialis kini berkoalisi untuk mencoba menjatuhkan Presiden Slobodan Milosevic, dalam hal Serbia Raya mereka semua sepakat: cita- cita itu sangat layak diwujudkan. Mereka mencoba melawan Partai Sosialis yang berkuasa lebih karena persoalan dalam negeri: menilai Slobodan tak becus mengendalikan ekonomi. Mereka tak mencoba melihat, keberantakannya ekonomi Serbia bukan hanya karena masalah kebijakan ekonomi Slobodan, melainkan ada juga dampak dari embargo ekonomi. Mungkin, itulah tanda-tanda kefanatikan mereka untuk tetap mewujudkan Serbia Raya. Bila ada suara untuk menciptakan suatu pemerintahan Serbia yang bisa bertetangga baik dengan bekas saudaranya yang dulu sama-sama berada di bawah Federasi Yugoslavia, itu hanya datang dari Gerakan Demokratik Serbia. Partai yang tak begitu mendapat dukungan dalam pemilu yang barusan berlangsung ini, yang dipimpin oleh Vuk Draskovic yang moderat, suaranya seperti secabik bendera putih di tengah lembaran kain merah yang berkibar-kibar. Tenggelam tanpa arti. Kalau demikian halnya, mustahil kiranya perang saudara di Balkan ini bakal berhenti dalam waktu dekat. Bahkan seorang tokoh Sosialis bernama Mihaljo Markovic melihat krisis ekonomi dan perang adalah jalan menuju terwujudnya Serbia Raya. "Peperangan dan krisis ekonomi akan terus berlangsung, sampai semua warga Serbia bersatu dalam satu negara besar," katanya. Tak mungkinkah secercah cahaya terang berpijar di hati Serbia pada hari Natal ini?Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini