JARING laba-laba itu tampaknya tak bakal terwujud tanpa dua orang yang bekerja sama mendorong terlaksananya Bienniale Seni Rupa Jakarta IX ini. Yang pertama adalah Astari Rasjid, ketua pelaksana, yang juga pelukis. Yang kedua, Jim Supangkat, kurator yang menyusun konsep pameran besar ini. Astari, Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta periode 1990-1993, tampaknya tak rela bila Bienniale tertunda terlalu lama. "Ini sudah tertunda setahun," katanya kepada Ivan Harris dari TEMPO. Gara-garanya, gedung baru yang direncanakan ternyata tertunda pembangunannya. Maka, menjelang akhir periode keanggotaan DKJ-nya, ia bertekad mewujudkan Bienniale ini, meski ia tahu "pembiayaannya cukup berat, karena kami berniat menyelenggarakannya sesempurna mungkin." Misalnya saja, buku katalogus diusahakan informatif, dan punya perspektif. Di dalamnya tak cuma sekadar pengantar. Ada tulisan Jim, mengenai perkembangan seni rupa Indonesia dan fokus Bienniale kini. Kemudian selintas sejarah seni rupa modern Indonesia oleh Mara Karma, wartawan yang juga pelukis, anggota DKJ 1990-1993-1996. Ada juga reportase galeri-galeri di beberapa kota, dikerjakan oleh Bambang Bujono, anggota DKJ 1990-1993. Maka biaya mencapai sekitar Rp 150 juta. Karena "Kami terpaksa merombak, menyekat ruang-ruang yang dipakai," tutur Astari. Juga, para peserta mendapat bantuan sekadarnya, masing- masing Rp 100.000. Disadari oleh Astari, uang sebesar itu tak bakal menutup pengeluaran para perupa yang ikut. Tapi itulah usaha maksimal, karena banyak hal perlu ditutup. Misalnya, upacara pembukaan yang agak ramai, dengan mengundang Mensesneg Moerdiono. Sebagian besar biaya datang dari Yayasan Kesenian Jakarta, yang memang wajib membiayai kegiatan DKJ. Kemudian sumbangan dari sejumlah lembaga dan perorangan. Menurut Astari, berbeda dengan Bienniale sebelumnya, tak akan ada pemilihan karya terbaik dan hadiah. "Kurator akan memilih tiga seniman untuk diikutsertakan dalam Bienniale Sao Paolo, Brasil, tahun depan. Itu semua diolah dalam rapat-rapat panitia sejak sekitar dua bulan sebelum pameran dibuka. Dalam rapat itu pula konsep Jim Supangkat diterima, dengan membatasi pada kecenderungan tertentu, karena "Keterbatasan waktu, cuma dua bulan, mestinya dua tahun," kata Astari. Bagaimana karya, atau lebih tepatnya, seniman peserta dipilih? "Pertengahan tahun 1980-an di Indonesia terjadi perkembangan seni rupa yang lain, yang pada prinsipnya tak lagi memisahkan secara tegas antara lukis, patung, grafis," kata Jim kepada Leila Chudori dari TEMPO. "Hilang"nya batas itu, menurut kurator ini, melahirkan karya instalasi. "Nah, Bienniale ini ingin mencatat perkembangan itu." Karya instalasi sebenarnya bukan saja menghilangkan batas dalam seni rupa, bahkan juga seni-seni yang lain. Yang terasa, masuknya unsur teater. Seniman menyusun karyanya seperti menyiapkan pertunjukan. Bahkan kemudian, "Senimannya sendiri bisa ikut main dalam instalasi itu," kata Jim. "Ini bisa disebut performance art." Tak berarti kemudian yang disuguhkan hanya karya instalasi. Bila terasa itu dominan dalam pameran ini, kata Jim, mungkin karena sosok instalasi yang makan ruang itu. Ada juga karya video, mixmedia, dan fotografi. "Tapi sebenarnya yang banyak adalah lukisan dan patung. Jadi, ini bukan pameran khusus intalasi," tegas Jim, lulusan Studio Patung Seni Rupa ITB. Menurut Jim, bila yang diundang rata-rata muda, itu kebetulan saja. Yang penting adalah seniman "yang menunjukkan kecenderungan postmodernisme dalam karya-karyanya." Artinya, "mereka yang memiliki kecenderungan menghindari pembatasan- pemnbatasan tadi, yang membongkar dan mendobrak batas-batas tradisi yang ketat, yang biasanya dilakukan seni rupa modern. Ini gambaran umum kecenderungan postmodernisme dalam seni rupa." Tapi ada yang bilang, di Indonesia postmodernisme belum saatnya lahir, karena modernisme di Indonesia mencapai tahap lanjut. Jadi, lahirnya karya postmodernistis dianggap terlalu dipaksakan. Bagi Jim, itu cara memahami postmodernisme yang fatal. Postmodernisme bukanlah "ultramodernisme, atau tahap sesudah modernisme. Mereka melihat satu perkembangan yang linier, satu garis." Dan sebenarnya, "seorang seniman tak bisa mengatakan 'saya postmo,' sebab postmo adalah sebuah kritik, tinjauan." Jelasnya, berkaitan dengan Bienniale ini, kurator bukannya mengkonsepkan apa itu postmodernisme, lalu mencari karya-karya yang kira-kira cocok dengan konsep itu. "Bukan," kata Jim, salah satu penggerak Seni Rupa Baru di tahun 1974. "Karya- karya itu sudah ada, dan kami mengumpulkan dan mencatat gejala dalam karya-karya itu yang ternyata bisa dikatakan postmodernisme." Dan Jim mengatakan, sebenarnya karya instalasi bukan hal yang sama sekali baru di Indonesia ini. Ia menyebut-nyebut "pemberontakan" Danarto yang pernah memamerkan kanvas kosong. "Itu sebenarnya bukan kanvas kosong, tapi sebuah bidang yang disusun dengan kanvas," tutur Jim. "Itulah seni instalasi." Kata "pemberontakan" yang disebut Jim agaknya penting. Ia membedakan karya-karya yang mungkin disebut instalasi di tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Yang pertama masih disemangati dengan pemberontakan, yang kedua sudah lebih mengendap. Yang disayangkan Jim, kita belum punya museum untuk mengkaji perkembangan dengan lebih akurat. "Kita cuma bisa omong tentang karya Danarto, karena tak diabadikan di museum." Mungkin karena itu "salah paham" lalu muncul, bahwa karya- karya instalasi Indonesia mendadak munculnya. Kata Jim, "Kita bukan sekadar meniru Barat, kita punya akar dan dokumentasi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini