KISAH cinta Mao hanya Samar-Samar. Mula-mula oleh keluarganya
dipertunangkan dengan seorang gadis bernama keluarga Li. Tapi ia
tak pernah mau berhubungan dengan gadis tersebut. Yang tercatat
ialah bahwa cinta pertamanya jatuh ke gadis Yang K'ai-hui, anak
seorang profesor. Waktu itu ia kira-kira berumur 25, bekerja
dengan gaji kecil di Peking, serta tinggal sekamar dengan tujuh
mahasiswa. Gadis K'ai-hui adalah anak Yang Ch'ang-chi, guru
filsafat ethika Mao, yang ide-idenya banyak mempengaruhi pemuda
ini. Mao sering-diundang ke rumah sang guru, dan rasa cinta yang
dalam tumbuh di situ. Mereka menikah kemudian, setelah Mao dapat
jabatan kepala sekolah dasar di Changsha, 1920. Tapi di tahun
1930, waktu umur Mao 37, sang isteri dihukum mati oleh pasukan
Chiang Kai-shek.
Kesedihan Mao terasa antara lain dari sajak-sajaknya.
Kenangannya panjang. Di musim panas 1937, ia sekali bertanya
kepada wartawati Amerika yang mengikuti perjuangannya. Agnes
medley, adakah ia pernah mencintai seorang pria, dan kenapa.
dan apa arti cinta baginya. Di saat lain ia akan membacakan
sajak yang mengenang K'ai-hui.
Toh sementara itu, sejak 1928, Mao hidup bersama dengan seorang
gadis muda berumur 18, Ho Tsu-chen. Dari wanita ini lahir 5 anak
sepanjang 9 tahun -- satu di antaranya dalam Perjalanan Panjang.
Tsu-chen wanita yang kuat: dalam keadaan hamil ia toh bisa terus
hidup melalui perjalanan yang bengis dan penuh penderitaan itu.
Tapi betapapun, akhirnya wanita ini jatuh sakit, dan arus
dikirim ke Moskow di tahun 1937 untuk berobat. Di saat kosong
itulah wanita penuh gaya yang kemudian bernama Chiang Ching
muncul.
Itu terjadi di suatu hari di tahun 1939. Seorang aktris film
yang cukup terkenal dari Shanghai tiba bersama rombongannya di
Yenan, tempat Mao dan kaum komunis bermarkas. Namanya Lan-p'ing.
Ia adalah salah satu dari sejumlah seniman, cendekiawan dan
mahasiswa yang secara bergelombang datang menggabungkan diri
dengan gerakan Mao -- yang bagi mereka tampak lebih konsekwen
menentang penjajahan Jepang ketimbang kaum Nasionalis di bawah
Chiang Kai-shek. Dan ternyata Lan-p'ing dapat menyembuhkan hati
Mao seketika. Mereka menikah, meskipun bukannya tanpa cibiran
bibir dari orang sekeliling.
Siapakah Lan-p'ing, yang kemudian diberi nama Chiang Ching
("Sungai Hijau") konon oleh Ketua Mao'? Riwayat masa kecilnya
gelap. Ia lahir mungkin tahun 1912, di Tsinan, di timur laut
Shantung. Keluarganya tak kaya. Ayahnya mungkin meninggal waktu
anak ini masih kecil. Di sekitar umur 7 atau 8 ia -- yang waktu
itu bernama Luan Shu-meng -- tinggal bersama ayah ibunya, Li
Tsu-ming. Dengan diangkat jadi anak, gadis cilik Shu-meng
berganti nama jadi Li Yho.
Sekitar 1930, ia masuk sekolah drama eksperimentil di dekat
Tsinan. ~Namanya ia ganti lagi jadi Li Ching-y~ul. Tiga tahun
kemudian ia masuk ke ~Universitas Tsingtao, yang waktu itu
t~engah dalam pergolakan intelektuil ~telah kerusuhan mahasiswa
setahun ~sebelumnya. Di sini agaknya gadisny~a kelak bakal jadi
isteri Maoÿ20 ini pertama kali bersintuhan dengan komunisme. Di
sini pula ia dikenal sebagai "N~ona Besar Li", karena sikapnya
yang menonjol dengan ego (dan mungkin juga mulut) yang terlalu
besar buat kalan~gan pria Cina.
1934, ia meninggalkan Tsingtao untuk masuk ke dunia film di
Shanghai. Jika informasi orang-orang Rusia ~dapat dijadikan
pegangan, Nona Li di ~sini bekerja buat produser "kapitalis"
sebagai bintang film. Meenurut sumber ~lain, selama tiga ta~hun
di Shanghai ia bekerja untuk studio-studio sayap kiri dengan
memakai nama Lan P'i ("Apel Biru").
Perang pecah dengan Jepang. Studio tempat Lan P'ing bekerja
berpindah dari Shanghai, menuju ke kota-kota yang dikuasai
pasukan Cina di Wuhan dan Chungking. Sembari membuat film terus
sepanjang jalan, Lan P'ing pun akhirnya sampai ke Yenan, kota
di barat laut Cina, yang waktu itu sudah jadi suatu pusat
kegiatan yang hidup dari perjuangan dan kebudayaan. Lan P'ing
pun mengganti nama jadi Chiang Ching, katanya atas usul Ketua
Mao. Ia sebentar belajar di Institut Kesenian Lu Hsun dan
kemudian pindah ke bagian arsip Komisi Militer komunis. 1941.
anak pertamanya, perempuan, lahir. Anak Mao ini diberi natlla Li
Na. Beberapa tahun kemudian, lahir anak perempuan lain. Kali ini
namanya Mao Mao.
Semenjak jadi ibu, Chiang C'hing jarang nampak di depan umum,
sebagaimana biasanya isteri tokoh-tokoh komunis. Pemunculannya
waktu menyambut kunjungan Presiden Sukarno dengan Ny. Hartini ke
Peking di tahun 1962, sungguh merupakan kekecualian. Tapi
nampaknya itu tak berarti ego si "Nona Besar Li" telah padam
dari diri Ny. Mao. Dan kesempatan tiba ketika Mao lse tung
merasa tak cukup didukuni, kawan-kawan separtainya. "Saya
sendirian, bersama massa", begitu katanya sebagai dikutip oleh
sastrawan Perancis Andre Malraux dalam buku Antimemoires.
Tak betah dan kesal di sekeliling orang-orang Partai di Peking,
Mao berangkat ke Shanghai. Selama 9 bulan di antara 1965 - 1966
itu ia tinggal di kota itu. Chiang C'hing-lah yang
menemaninya. Di sini pula jalinannya dengan ketiga pemimpin
radikal lain makin erat. Yao Wen-yuan bahkan pernah dikabarkan
jadi menantu Mao. Orang inilah yang memulai "tembakan pertama"
revolusi kebudayaan. Dengan restu Mao, Nopember 1965 ia menulis
di koran Wen Hui Pao, menyerang penulis sandiwara dan wakil
walikota Wuhan. Dan revolusi kebudayaan pun berkecamuk, yang
hakikatnya dipimpin Mao sendiri -- setelah ia kasih unjuk
kesehatan dirinya dengan berenang di sungai Yangtze.
Chiang Ching sendiri sebetulnya sudah mulai "bergerak" 1964.
Bekas aktris ini merombak Opera Peking. Selama revolusi
kebudayaan ia aktif berpidato. Salah satu pidatonya yang
terkenal di tahun 1966 mengganyang "rock-and-roll, jazz,
strip-tease, impresionisme, sinnbolisme, abstraksionisme dan
modernisme" sebagai hal-hal yang "dimaksudkan meracuni dan
melumpuhkan piki- ran rakyat". Pidato ini seeara blak-blakan
menguliti tokoh-tokoh Opera Peking. Penulis biografi Mao, Stuart
Schram di tahun 1967 menilai pidato Chiang Ching ini sebagai
contoh dari seorang yang penuh dengki dan dendam yang sedang
menikmati kemenangannya atas tokoh-tokoh partai yang telah lama
meremehkannya dan membikinnya penasaran, dan juga kemenangannya
atas para pemain teater tradisionil yang suksesnya menyebabkan
ia cemburu".
Si Nona Besar Li telah kembali dalam bentuk Nyonya Ketua yang
galak. Chiang Ching dibenci, terutama oleh para tokoh partai.
Tapi Revolusi kebudayaan menyebabkan ia kuasa dan menakutkan.
Mereka yang membenci dan menakutinya tak akan menyebut nama
Chiang Ching dalam percakapan, melainkan dengan isyarat: daun
telinga dipegang, melambangkan giwang, yang berarti "si
perempuan" itu. Dan waktu orang-rang yang membenci kaum radikal
berdemonstrasi di lapangan Tien An Men April yang lalu --
setelah mereka memperingati almarhum Chou En-lai pada hari raya
Ceng Ing (C'hing Ming) mereka dengan sengaja menaruh karangan
bunga untuk almarhumh Yang K'ai-hui.
Tak mengherankan bila karikatur yang paling bengis dibuat
untuk melukiskan janda Mao itu ketika kaum radikal diganyang
para demonstran sampai pekan lalu. Juga kata-kata yang kasar.
Chiang Ching dinyatakan sebagai Tzu-~hi, wanita penguasa Cina
di pertengahan abad 19 yang kabarnya serakah kekuasaan.
Sebuahÿ20 poster dinding menyatakan bahwa ketika Mao sakit,
Chiang Ching ba~hkan minta pergi ke Tachai. ~Sela~ma perjalanan
itu ia berfoya-foya. Bahkan sebuah laporan kepada Komite
Sentral kabarnya menyatakan bahwa b~eberapa saat sebelum Mao
wafat, Chiang C'hing datang. Ia memaksa mengangkatnya dalam
usaha agar Mao menjawab beberapa pertanyaan.
"Dosanya patut dibalas dengan 10.000 kematian", kata sebuah
poster.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini