Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Api yang Membakar Harmoni

Kekerasan terhadap kelompok minoritas kembali merebak di Amerika Serikat. Umat Islam merasa waswas.

12 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asap mengepul dari tumpukan puing Masjid Joplin, Missouri, Amerika Serikat, Senin pekan lalu. Dengan sigap, seorang petugas pemadam kebakaran menyemprotkan air dari slang besar ke arah tumpukan itu. Atap bangunan masjid itu sudah rata tanah. Yang tersisa hanya sejumlah tiang beton dan tiang kayu, yang sudah menjadi arang.

Lahmuddin, imam masjid itu, tak kuasa berkata-kata. Selama beberapa saat, ia hanya mengusap-usap wajahnya. Ia menganggap kejadian itu ujian dari Ilahi. "Kami akan salat di tempat lain. Kalau tidak ada tempat lain, kami salat di rumah," ujar pria asal Indonesia ini seperti dikutip Joplin Globe.

Ini kebakaran kedua dalam sebulan terakhir. Pada 4 Juli lalu, seorang pria membakar masjid itu. Namun hanya sebagian atapnya terbakar. Saat itu, kamera pengawas merekam gambar tersangka, tapi hingga kini pria tersebut belum tertangkap.

Dalam dua tahun terakhir, sejumlah serangan ditujukan terhadap masjid di Amerika. Januari lalu, sebuah masjid di Queens, New York, dilempari bom api. Pada 31 Oktober 2011, sebuah masjid di Wichita, Kansas, juga dibakar orang tak dikenal.

Lahmuddin, yang sudah tinggal di Joplin selama empat tahun, mengatakan jemaah meninggalkan masjid sekitar pukul 23.20 waktu setempat setelah tarawih. Empat jam kemudian, seorang pelintas mengabarkan api telah membakar masjid.

"Semuanya sudah terbakar ketika kami sampai di sini," ujar Bill Dunn, Kepala Pemadam Kebakaran Kota Carl Junction.

Masjid yang terletak di Black Cat Road, Joplin, itu melayani 50 keluarga muslim. Menurut Lahmuddin, hubungan jemaah dengan warga sekitar dan gereja terjalin harmonis. Bahkan masjid itu pernah jadi tempat penampungan ketika angin topan melanda kota tersebut pada 22 Mei 2011, yang menewaskan 161 orang.

Pastor Gereja Kristen Jospin Selatan, Jill Michel, bahkan menawarkan tempat di kompleks gereja kepada umat Islam yang butuh tempat berkumpul.

Umat Islam khawatir akan kondisi Amerika saat ini. Sehari sebelumnya, terjadi penembakan di kuil Sikh di Oak Creek, Milwaukee, Wisconsin, yang menewaskan tujuh orang, termasuk tersangka. Sejumlah tokoh Islam dan Sikh menduga tersangka Wade Michael Page, 40 tahun, mengira orang-orang Sikh tersebut beragama Islam.

Organisasi hak-hak sipil yang memonitor gerakan-gerakan kebencian, Southern Poverty Law Center, menyatakan Page adalah neo-Nazi frustrasi yang memimpin sebuah band rasis, End Apathy. Menurut organisasi ini, veteran tentara berpangkat sersan itu bergabung dengan kekuatan putih sejak 2000.

Para pemimpin Sikh meminta adanya kampanye untuk menyampaikan Sikh berbeda dengan Islam. Umat Sikh di Amerika kerap menjadi korban sentimen anti-Islam. Beberapa hari setelah tragedi 11 September 2001, misalnya, seorang Sikh pemilik pompa bensin di Mesa, Arizona, ditembak mati oleh orang yang ingin membalas dendam kepada umat Islam.

"Kami sudah tinggal di Amerika selama 60 tahun. Setelah 9/11, ada beberapa kejadian di mana kami jadi target salah sasaran," ujar Jathedar Joginder Singh, Sekretaris Komite Shiromani Gurdwara Parbandhak, yang mengelola Kuil Emas Amritsar, India.

Direktur Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) Ibrahim Hooper khawatir akan keselamatan jemaah pascakebakaran masjid dan insiden kuil Sikh. Ia meminta polisi menurunkan lebih banyak personel menjaga masjid-masjid. 

Sentimen anti-Islam di Amerika ternyata tak mereda pascakematian Usamah bin Ladin pada 1 Mei 2011. Hasil jajak pendapat Sekolah Komunikasi Universitas Ohio, Institut Riset Survei Universitas Cornell, dan Pusat Survei Universitas New Hampshire tahun lalu justru menyatakan sebaliknya.

Dalam jajak pendapat beberapa pekan sebelum Bin Ladin tewas, hampir separuh responden menggambarkan muslim Amerika "tepercaya" dan "damai". Namun, setelah Bin Ladin tumpas, hanya sepertiga responden yang mempertahankan pendapatnya.

Menurut peneliti dari Universitas Ohio, Erik Nisbet, liputan media yang berfokus pada aksi terorisme Bin Ladin, pandangan agamanya, dan perlindungan Pakistan terhadapnya mengingatkan orang pada te­rorisme dan serangan 11 September. "Itu membuat mereka berpikir tentang Islam dipandang dari segi terorisme."

Sapto Yunus (Joplin Globe, Huffington Post, NBC News)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus