Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Napas Cinta dari Hadramaut

12 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haidar Bagir*

Al-Syaikh Abu Madyan Syu'aib bin Abu Hasan at-Tilmisaniy al-Maghriby, yang pada saat itu sedang berada di Tilmisan, Aljazair, mengutus muridnya yang bernama Al-Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Maq'ad. Ia bertitah: "Sesungguhnya kami mempunyai seorang sahib di Hadramaut (Tarim). Pergilah engkau menemuinya, dan pakaikanlah khirqah ini kepadanya. Sesungguhnya aku melihatmu akan menemui ajal di tengah perjalanan. Bilamana hal tersebut akan terjadi, titipkanlah jubah ini kepada orang yang engkau percayai."

Kemudian pergilah Al-Syaikh Abdurrahman dari Tilmisan ke Hadramaut. Ketika sampai di Kota Mekah, ia pun disergap sakaratul maut. Maka kemudian diserahkannya jubah tadi kepada muridnya, yaitu Al-Syaikh Abdullah al-Salih al-Maghriby, seraya berpesan agar menyampaikannya kepada yang berhak. Syekh Abdullah sampai ke Tarim dan menyerahkan jubah itu kepada Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin 'Ali, sebagaimana yang diamanatkan Abu Madyan.

Al-Faqih al-Muqaddam (1176-1264) kemudian dikenal sebagai founding father dalam perkembangan aliran tasawuf yang biasa disebut sebagai Thariqah 'Alawiyah di kalangan komunitas 'Alawiyin—yakni anak-keturunan 'Alwi bin 'Ubaydillah, cucu Imam Ahmad bin 'Isa al-Muhajir (820-924), pemuka keturunan Nabi yang pertama kali hijrah ke Hadramaut. Syekh Abu Madyan (1126-1198) adalah salah seorang guru terpenting Ibn 'Arabi—yang dipanggilnya dengan penuh penghormatan sebagai Syaikh al-Masyayikh (Syekhnya Para Syekh). Menurut catatan, pemberian khirqah dari Syekh Abu Madyan kepada Al-Faqih al-Muqaddam merupakan awal tenggelamnya beliau dalam suluk (pelancongan spiritual), mujahadah (upaya keras menundukkan nafsu rendah), dan riyadhah (latihan-latihan spiritual), yang menjadi tonggak-tonggak tasawuf.

Imam Idrus bin Umar al-Habsyi, salah seorang ulama besar dalam thariqah ini, menulis: "Sesungguhnya Thariqah 'Alawiyah lahiriahnya adalah ilmu-ilmu agama dan amal, sedangkan batiniahnya adalah mewujudkan maqâmât (stasiun-stasiun spiritual) dan ahwal (keadaan-keadaan spiritual). Adabnya adalah menjaga rahasia-rahasianya dan cemburu terhadap penyalahgunaannya. Jadi, lahiriahnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam al-Ghazali, adalah (kepemilikan) ilmu dan beramal menurut cara yang benar. Sedangkan batiniahnya, seperti yang diterangkan oleh Asy-Syadzili, adalah mewujudkan hakikat dan memurnikan tauhid."

Definisi Imam Idrus memang tak menyebut Ibn 'Arabi, mengingat dalam lingkungan thariqah ini ajaran Ibn 'Arabi dibatasi aksesnya hanya pada kaum elite spiritual (khawash). Apa pun, sebagai sebuah ajaran tasawuf, prinsip cinta dan metode dakwah damai menjadi ciri utama thariqah ini. Hal itu diperkuat oleh upacara simbolis pematahan pedang yang dilakukan oleh Al-Faqih al-Muqaddam di hadapan pengikutnya sebagai tanda ditinggalkannya kekerasan dalam dakwah mereka.

Para pengikut Thariqah 'Alawiyah—yang umumnya dimotori kaum haba'ib (tunggal: habib)—inilah yang, melalui diaspora mereka, kemudian berperan penting dalam penyebaran Islam ke seluruh dunia, khususnya ke Afrika dan Asia Timur Jauh, termasuk Nusantara. Hampir merupakan suatu kesepakatan bahwa warna Islam Nahdlatul Ulama yang bersifat "tradisional" adalah warisan dari Thariqah 'Alawiyah ini. Bahkan, menurut salah satu versi, delapan dari sembilan Walisongo melacak silsilahnya kepada Azhamat Khan, seorang tokoh dari lingkungan 'Alawiyin yang berakar di Hadramaut.

Yang menarik—sebagaimana disimpulkan dari berbagai penelitian, termasuk oleh Azyumardi Azra—perkembangan 'irfan di Nusantara terutama dibawa oleh para pemikir dari lingkungan ini atau murid-murid mereka. Termasuk Hamzah Fansuri (1550-1605) dan muridnya, Syamsuddin Sumatrani (wafat 1630), Abd al-Ra'uf Sinkili (1024-1105), Syekh Yusuf Makassari (1037- 1111), Abdul Shamad al-Palembani (1704-1785), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1815), bahkan Syekh Nuruddin al-Raniri (1068-1658).

Al-Raniri belajar ke Hadramaut dan disebut-sebut sebagai pengikut Thariqah Al-'Aidrusiyah. Gurunya ketika di India adalah Abu Hafs 'Umar bin Abdullah Ba Syaiban al-Tarimi al-Hadhrami, yang juga dikenal sebagai Sayid Umar al-'Aydrus, yang berada dalam satu rantai perguruan dengan Ahmad al-Qusyasyi. Al-Qusyasyi sendiri adalah murid beberapa ulama Thariqah 'Alawiyah lainnya, termasuk Sayid Ali al-Qab'i, Sayid Abil-Ghayts Syajr, dan Sayid As'ad al-Balkhi. Pada gilirannya, Al-Qusyasyi merupakan guru dari para ulama Thariqah 'Alawiyah yang, antara lain, menjadi guru-guru Al-Raniri.

Abd al-Ra'uf Sinkili adalah murid Al-Qusyasyi, guru para ulama dari Thariqah 'Alawiyah, dan Ibrahim al-Kurani, murid Al-Qusyasyi. Al-Kurani dikenal luas sebagai penulis It-haf al-Dzaki, syarah atas al-Tuhfah al-Murslah ila Ruh al-Nabiy karya Muhammad al-Burhanfuri Fadhlullah, yang dianggap bertanggung jawab atas penyebaran pikiran-pikiran 'irfan Ibn 'Arabi di Nusantara. Kepada Al-Kurani juga silsilah Syekh Yusuf Makassari bersambung. Selain Al-Kurani, guru Al-Makassari ini termasuk Umar bin Abdullah Ba Syaiban, yang juga guru Al-Raniri, dan Sayid 'Ali al-Zabidi atau Ali bin Abi Bakr dari Thariqah 'Alawiyah. Abdul Shamad al-Palembani bahkan adalah seorang 'alim Sayid keturunan Yaman. Ayahnya adalah Syekh Sayid Abdul Jalil—ada yang mengatakannya bin Abdullah atau bin Abdurrahman—bin Syekh Abdul Wahhab al-Mahdani. Pada gilirannya, Muhammad Arsyad al-Banjari adalah murid dari Al-Palembani.

Lepas dari upacara simbolis pematahan pedang itu, mudah dipahami bahwa sebagai suatu metode tasawuf, Thariqah 'Alawiyah mempromosikan jalan akhlak, cinta, dan perdamaian. Inilah persis yang mencirikan berbagai kegiatan dakwah di lingkungan Thariqah 'Alawiyah. Selain sifat apolitis dan pilihan tema yang cenderung menekankan penyucian hati lewat pembinaan akhlak dan ritual, dakwah Thariqah 'Alawiyah bersikap toleran dan inklusif, tak membeda-bedakan audiens dari segi status sosial atau keagamaan.

Seperti juga kita lihat pada kiprah para habib di Nusantara sejak dulu sampai sekarang, tak jarang pengajian mereka dihadiri para (mantan) preman, pejabat—yang mungkin diragukan integritasnya—artis, bahkan tak jarang pengikut agama lain. Hal ini, antara lain, terungkap dari hasil penelitian para pengamat asing, seperti Mark Woodward (Arizona State University, penulis Islam in Java) dan Engseng Ho (Duke University, penulis The Graves of Tarim), yang berbicara dalam Seminar "Dakwah Damai 'Alawiyin/Habaib di Nusantara", 14-15 Agustus lalu, di Jakarta. Tak urung hal ini mendapat kritik keras dari kaum "salafi" eksklusif-puritan yang menganggap model dakwah itu terlalu permisif dan mengandung banyak bid'ah (inovasi), bahkan bentuk-bentuk syirik.

Di sisi lain, bukannya tak ada tokoh yang—secara natural—berada dalam lingkungan Thariqah 'Alawiyah yang dianggap berjalan di luar jalur metode dakwah leluhur mereka. Yang paling menonjol di antaranya adalah Rizieq Shihab dengan Front Pembela Islam-nya, yang terkenal dengan berbagai kegiatan sweeping yang melibatkan kekerasan. Meski saya duga Rizieq akan menolak, penilaian seperti ini misalnya diungkapkan dalam penelitian Chaider S. Bamualim yang berjudul "Islamic Militancy and Resentment against Hadhramis in Post Suharto Indonesia: A Case Study of Habib Rizieq Syihab and His Islamic Defenders Front".

Terhadap penilaian itu, ada kemungkinan besar Rizieq akan berargumentasi bahwa mengandalkan dakwah damai dalam situasi menyebarnya kemungkaran dan kemaksiatan seperti sekarang adalah suatu kenaifan. Tapi justru bagi para pengikut setia Thariqah 'Alawiyah, penggunaan kekerasan—meskipun sebagai bagian nahy munkar—lebih banyak merugikan ketimbang membawa maslahat. Bagi mereka, metode damai yang mempromosikan pendekatan akhlak dan cinta ala tasawuf tak mungkin gagal. Boleh jadi hasilnya tak segera menonjol, tapi sejak kapan pekerjaan memperbaiki manusia dan masyarakat bisa dilakukan dengan instan dan pemaksaan?

Memang, mengubah manusia, pada akhirnya, akan paling efektif dilakukan melalui kesabaran dan kasih sayang yang menyentuh hati dan perhatian, ketimbang dengan teriakan, hantaman tongkat, dan sabetan parang yang meruapkan kebencian.

*) Dosen di Islamic College for Advanced Studies Paramadina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus