Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

AS Bakal Beri Sanksi Myanmar karena Krisis Rohingya

Kritikus menuduh pemerintahan Trump bertindak terlalu lambat dan malu-malu dalam menanggapi krisis Rohingya.

24 Oktober 2017 | 16.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ratu Yordania, Rania melihat gambar-gambar karya anak Muslim Rohingya yang mengungsi dari Myanmar ke Bangladesh, dalam kunjungannya di kamp pengungsi di Bangladesh, 23 Oktober 2017. AP Photo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Washington - Amerika Serikat sedang mempertimbangkan serangkaian tindakan lanjutan terhadap perlakuan pemerintah dan militer Myanmar kepada minoritas Muslim Rohingya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan sedang mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar berdasarkan undang-undang Global Magnitsky.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami mengungkapkan keprihatinan kami yang paling serius dengan kekerasan baru-baru ini di negara bagian Rakhine di Myanmar terhadap etnis Rohingya dan komunitas lainnya," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.

Ratu Yordania, Rania melihat kemampuan anak Muslim Rohingya yang mengungsi dari Myanmar ke Bangladesh, dalam kunjungannya di kamp pengungsi di Bangladesh, 23 Oktober 2017. AP Photo

Seperti yang dilansir Reuters pada 24 Oktober 2017, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat juga mengatakan harus ada individu ataupun entitas yang bertanggung jawab atas kekejaman, termasuk aktor dan warga negara maupun non-negara.

Warga minoritas Muslim Rohingya telah meninggalkan negara bagian Rakhine, Myanmar, dalam jumlah besar sejak akhir Agustus. Ini terjadi setelah militer Myanmar dan milisi garis keras Budha menyerang rumah dan desa mereka di Rakhine. dengan melakukan pembunuhan massal dan pembumihangusan tempat tinggal.

Militer Myanmar dan miisi garis keras Budha beralasan sedang mencari kelompok gerilyawan ARSA, yang berasal dari etnis Rohingya. Kelompok ini menyerang sejumlah pos polisi Myanmar pada pertengahan Agustus 2017.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Rex Tillerson, mengatakan AS telah menghubungi pimpinan militer Myanmar, yang dinilai bertanggung jawab atas tindakan kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya, pada pekan lalu.

Namun Tillerson mengatakan Amerika Serikat tidak akan melakukan tindakan apapun terhadap para pemimpin militer Myanmar terkait serangan yang telah mendorong lebih dari 600.000 Muslim Rohingya keluar dari negara ini, sebagian besar ke negara tetangga Bangladesh.

Kementerian Luar Negeri membuat pengumuman itu menjelang kunjungan perdana Presiden Donald Trump ke Asia awal bulan, termasuk menghadiri KTT negara-negara ASEAN di Manila.

Pengumuman ini menandai respon terkuat Amerika sejauh ini dalam krisis Rohingya, yang telah berlangsung hampir selama 2 bulan.

Kritikus menuduh pemerintahan Trump bertindak terlalu lambat dan malu-malu dalam menanggapi krisis Rohingya.

Kementerian Luar Negeri mengatakan pada hari Senin: "Kami mengeksplorasi mekanisme akuntabilitas yang tersedia berdasarkan undang-undang Amerika, termasuk sanksi yang diatur dalam Global Magnitsky."

Langkah-langkah yang diambil termasuk mengakhiri keringanan perjalanan untuk anggota militer saat ini dan mantan anggota militer di Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma, dan pembatasan bantuan dalam bentuk apapun oleh Amerika. Serta, mencakup kemungkinan pembekuan aset dan melarang warga Amerika melakukan bisnis dengan individu ataupun entitas Myanmar.

Sejumlah bocah Rohingya belajar mengaji di kamp pengungsian Palong Khali di dekat Cox's Bazar, Bangladesh, 24 Oktober 2017. Mereka mengaji di musholah darurat yang dibangun di kawasan pengungsian. REUTERS/Hannah McKay

Washington telah bekerja keras untuk menjalin hubungan dekat dengan pemerintah pimpinan sipil Myanmar, yang dipimpin oleh peraih Nobel dan mantan pembangkang Aung San Suu Kyi dalam menghadapi persaingan Cina.

Sebanyak 43 anggota parlemen Amerika sejauh ini telah mendesak pemerintahan Trump untuk mengajukan kembali larangan perjalanan kepada para pemimpin militer Myanmar dan menyiapkan sanksi yang ditargetkan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan terhadap minoritas Rohingya .

Undang-undang Magnitsky, yang pada awalnya disahkan pada tahun 2012, mengenakan larangan visa dan pembekuan aset pada pejabat Rusia yang terkait dengan kematian di penjara Sergei Magnitsky tahun 2009, seorang whistleblower Rusia berusia 37 tahun. Sejak itu telah diperluas untuk menjadi Global Magnitsky Act, yang dapat digunakan melawan para jenderal di Myanmar terkait tindakan pembersihan etnis terhadap minoritas Rohingya.

REUTERS

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus