Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Malaysia baru-baru ini mengusir lebih dari 500 orang suku Bajo dari rumah mereka di lepas pantai negara bagian Sabah. Pada 6 Juni lalu, petugas penegak hukum mulai membakar dan menghancurkan rumah-rumah milik suku Bajo di tujuh pulau di distrik Semporna, Sabah, menurut aktivis setempat.
Malaysia mengklaim pengusiran itu untuk meningkatkan keamanan dan memerangi kejahatan lintas batas. Menteri Pariwisata, Kebudayaan dan Lingkungan Hidup Sabah Christina Liew mengatakan petugas penegak hukum memiliki wewenang untuk menindak aktivitas ilegal, seperti penangkapan ikan, bangunan, dan pertanian tanpa izin, di kawasan lindung yang dikendalikan oleh Sabah Parks, sebuah badan konservasi negara.
“Kedaulatan hukum negara dalam masalah ini harus ditegakkan,” kata Liew dalam sebuah pernyataan pada Sabtu, 8 Juni lalu, seperti dikutip Reuters.
Suku Bajo tercatat telah tinggal selama berabad-abad di wilayah Semporna yang terletak di ujung timur laut Kalimantan, berbatasan dengan Filipina. Mereka merupakan suku nomaden yang banyak membangun rumah perahu atau gubuk pantai yang didirikan di atas panggung.
Namun, banyak warga suku Bajo yang lahir tanpa dokumen kewarganegaraan dan dianggap oleh pihak berwenang sebagai migran. Oleh karenanya, pemerintah Malaysia mengusir para pengembara laut itu dari rumah mereka untuk meningkatkan keamanan.
Dari mana asal leluhur suku Bajo?
Mengutip Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud), suku Bajau atau Bajo adalah kelompok etnis dari Asia Tenggara yang dikenal dengan budaya maritim yang kuat. Asal-usul suku Bajo sendiri masih diperdebatkan, karena warganya tersebar di Kepulauan Sulu (Filipina), Sabah (Malaysia), dan berbagai provinsi Indonesia seperti Kalimantan Timur, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi hingga Gorontalo.
Tasrifin Tahara, ketua Departemen Antropologi Universitas Hasanuddin yang telah meneliti suku Bajo selama 15 tahun, mengatakan suku tersebut tidak bisa dikatakan berasal hanya dari satu negara.
“Sebenarnya Bajo ini suku di Asia Tenggara. Tidak bisa diklaim hanya dari Indonesia, Malaysia dan Filipina. Dia lebih identik dengan laut sebagai entitas,” katanya kepada Tempo lewat percakapan telepon, Rabu, 12 Juni 2024.
Hanya ada berbagai mitos yang memberi petunjuk mengenai asal-usul suku Bajo yang sebenarnya. Salah satu mitosnya, kata Tasrifin, adalah suku Bajo merupakan keturunan Johor di Malaysia, yang diminta rajanya untuk mencari seorang putri yang melarikan diri. Konon, para orang Bajo mencari putri itu hingga ke Sulawesi, kemudian menetap di beberapa kawasan timur Indonesia.
Versi lain dari mitos suku Bajo ditemukan antropolog itu ketika melakukan riset di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ia mengatakan bahwasanya dalam versi ini putri hilang tersebut menikah dengan Raja Bone, sehingga suku Bajo menetap bersama penduduk lokal di Bone. Mitos lain adalah orang-orang Bajo dari Johor akhirnya tidak menemukan putri yang hilang, sehingga kemudian tinggal di Gorontalo dan Kepulauan Togean, Teluk Tomini.
Suku Bajo diperkirakan sudah berada di Indonesia sejak 2.000 tahun lalu. Mereka menjalin hubungan kekerabatan dengan sesama Bajo di wilayah Filipina dan Malaysia menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Sama, yang menurut antropolog dekat dengan rumpun bahasa Bugis. Sebagai orang pesisir, mereka menganut agama Islam sembari mempraktikkan beberapa kepercayaan lokal, seperti ilmu pengobatan.
Tasrifin mengatakan saat ini orang-orang hanya bisa berasumsi tentang asal-usul nenek moyang suku Bajo. “Sampai sekarang belum ada hipotesis yang menjelaskan di mana sebenarnya asal-usul pertama, karena mereka itu hidup di atas perahu, di atas laut,” kata dia.
Suku Bajo kerap menghadapi pengusiran oleh negara karena kebanyakan dari mereka lahir tanpa dokumen kewarganegaraan, sehingga dianggap sebagai migran gelap.
“Problemnya, mereka ini selalu (dianggap) subordinat dari etnik yang mendiami wilayah-wilayah tertentu, karena dianggap sebagai suku bangsa di atas laut yang tidak punya pengakuan tanah ulayat dibanding dengan etnis lain,” ujar Tasrifin.
Dosen antropologi itu menyampaikan harapannya agar negara-negara tempat suku Bajo tinggal memberikan pengakuan secara hukum terhadap hak-hak mereka sebagai suku yang tinggal di atas laut. “Jadi, negara memberi ruang-ruang ekspresi terhadap orang Bajo yang selama ini dikenal sebagai pewaris kebudayaan maritim,” katanya.
NABIILA AZZAHRA A. | ANDIKA DWI | REUTERS
Pilihan editor: Diplomat Singapura Dituduh Merekam Bocah Laki-laki di Pemandian Umum Jepang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini