Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan rumah milik suku Bajau atau suku Bajo yang ada di pulau-pulau sekitar Semporna, negara bagian Sabah dibongkar dan dibakar oleh pihak berwenang Malaysia pada pekan ini. Pemerintah Malaysia menyatakan, pengusiran suku Bajo dilakukan demi meningkatkan keamanan dan dan memerangi kejahatan lintas batas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kedaulatan hukum negara dalam masalah ini harus ditegakkan,” kata Menteri Pariwisata, Kebudayaan dan Lingkungan Hidup Sabah Christina Liew dalam pernyataannya, Jumat, 7 Juni 2024, mengutip Reuters.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengusiran suku Bajo di Malaysia ini belakangan jadi sorotan dunia setelah video yang menunjukkan pembongkaran rumah, sebagian dilakukan oleh pria berpakaian preman, tersebar di media sosial. Meski begitu, pemerintah negara bagian di Malaysia membantah adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam penggusuran ratusan warga suku Bajo.
“Dalam hal ini, saya tidak melihat adanya pelanggaran hak asasi manusia. Kalau ngomong-ngomong soal itu saya akui mereka sudah lama tinggal di sana. Tapi pelanggaran hak asasi manusia, menurut saya, kita akan membicarakan hal ini di meja diskusi," katanya.
Suku Bajo sendiri tercatat tinggal di wilayah Semporna yang terletak di ujung timur laut Kalimantan, berbatasan dengan Filipina bagian selatan selama berabad-abad. Mereka tinggal di rumah perahu reyot atau gubuk pantai yang dibangun di atas panggung.
Namun, banyak warga suku Bajo yang lahir tanpa dokumen kewarganegaraan dan dianggap oleh pihak berwenang sebagai migran. Oleh karenanya, pemerintah Malaysia mengusir pengembara laut itu dari rumah mereka untuk meningkatkan keamanan. Lantas, seperti apa profil suku Bajo?
Siapa Suku Bajo?
Melansir Kemdikbud, suku Bajau atau suku Bajo adalah kelompok etnis dari Asia Tenggara yang dikenal dengan budaya maritim yang kuat. Mereka kini tersebar di berbagai wilayah perairan seperti Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku, Nusa Tenggara, hingga ke pantai timur Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina).
Menurut catatan sejarah, Suku Bajo berasal dari Kepulauan Sulu di wilayah Filipina Selatan. Namun, karena gaya hidup mereka yang nomaden atau berpindah-pindah, Suku Bajo akhirnya memasuki wilayah Indonesia. Salah satu ekspedisi awal mereka di Indonesia adalah ke Pulau Sulawesi yang terjadi berabad-abad lalu.
Sebagian besar rumah Suku Bajo dibangun di tepi pantai atau di atas perairan laut dangkal dengan tiang pancang untuk menghindari gelombang pasang. Dinding rumah mereka terbuat dari kayu, sementara atapnya menggunakan rumbia.
Karena tinggal di wilayah perairan, aktivitas sehari-hari Suku Bajo sangat bergantung pada transportasi air berupa perahu. Perahu-perahu ini biasanya diparkir di pelataran rumah mereka dan digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk mencari nafkah.
Mayoritas Suku Bajo bekerja sebagai nelayan yang masih menggunakan metode tradisional seperti memancing dengan kail, menjaring, dan memanah ikan. Hasil tangkapan mereka dijual kepada masyarakat di pesisir atau pulau-pulau terdekat. Selain menangkap ikan, beberapa anggota Suku Bajo juga mulai membudidayakan komoditas laut seperti lobster, ikan kerapu, dan udang.
Salah satu keunikan dari suku Bajo adalah kemampuan menyelam yang melebihi kemampuan rata-rata manusia. Paru-paru mereka mampu menampung lebih banyak oksigen, memungkinkan mereka untuk bertahan di bawah air lebih lama dibandingkan dengan orang pada umumnya. Tak heran, menyelam merupakan bagian dari mata pencaharian mereka, terutama untuk menangkap ikan.
Keunikan gaya hidup Suku Bajo menjadi inspirasi bagi banyak orang termasuk James Cameron, sutradara film terkenal di Amerika Serikat. Saat menggarap film Avatar 2: The Way of Water, James mengaku terinspirasi kehidupan Suku Bajo saat membuat karakter Klan Metkayina, para penghuni lautan Pandora.
Meski hidup di laut dan nomaden, tapi kini masyarakat suku Bajo juga banyak yang bersekolah, bahkan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Hal tersebut menandakan bahwa kesadaran masyarakat suku Bajo terhadap pentingnya pendidikan telah terbangun. Dengan begitu, diharapkan mereka bisa turut memajukan suku Bajo dan juga masyarakat di sekitarnya.
RIZKI DEWI AYU
Pilihan editor: Cerita Pilu Warga Gaza saat Israel Bantai Kamp Pengungsi Nuseirat