Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Asisten Profesor Afghanistan Jadi Pekerja Bangunan untuk Nafkahi Keluarga

Asisten profesor Bahasa Inggris Khalilullah Tawhidyar terpaksa menjadi buruh kasar karena gajinya tidak dibayar di tengah krisis ekonomi Afghanistan.

2 November 2021 | 07.30 WIB

Khalilullah Tawhidyar, seorang profesor Bahasa Inggris dari Afghanistan terlihat di lokasi yang dirahasiakan dalam foto selebaran tak bertanggal yang diperoleh Reuters. [REUTERS]
Perbesar
Khalilullah Tawhidyar, seorang profesor Bahasa Inggris dari Afghanistan terlihat di lokasi yang dirahasiakan dalam foto selebaran tak bertanggal yang diperoleh Reuters. [REUTERS]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Tidak dibayar selama berbulan-bulan dan harus menafkahi keluarga, asisten profesor Afghanistan Khalilullah Tawhidyar terpaksa menjadi pekerja bangunan. Dengan 300 afghani (US$3,30 atau sekitar Rp50.000) yang diperolehnya hari itu, dia membeli perbekalan untuk keluarganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Mantan anggota satuan tugas pemerintah untuk reformasi pendidikan, yang mengajar Bahasa Inggris di Universitas Parwan di utara Kabul, adalah satu dari ribuan warga kelas menengah, warga Afghanistan berpendidikan yang memerangi kemiskinan saat ekonomi negara itu goyah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya tidak punya pilihan," kata Tawhidyar kepada Reuters, 2 November 2021.

Dia mengaku belum menerima gajinya selama tiga bulan. "Ini adalah kisah banyak orang terpelajar di sini sekarang."

Tawhidyar, yang memiliki gelar master dari India dan telah mengikuti kursus di Malaysia dan Sri Lanka, mengatakan dia mengambil pekerjaan kasar setelah dia kehabisan uang dan makanan.

Meskipun terkadang dia masuk ke universitas negeri tempat dia bekerja, kelas belum dilanjutkan karena kekurangan dana.

Seperti banyak rumah tangga Afghanistan, Tawhidyar tinggal bersama keluarga besarnya, dan 17 orang bergantung pada gajinya.

"Saya menghasilkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhan saya," kata pria berusia 36 tahun itu. Ketika gaji berhenti, dia meminjam dari teman dan kerabat, tetapi pinjaman itu habis beberapa minggu yang lalu. Pada saat itu, istrinya yang sedang hamil besar telah melewatkan dua janji dengan dokter.

"Situasinya memburuk saat tidak punya roti...kami hanya menanak nasi dan kemudian nasi juga habis," katanya.

Khalilullah Tawhidyar, seorang profesor Bahasa Inggris dari Afghanistan terlihat di lokasi yang dirahasiakan dalam foto selebaran tak bertanggal yang diperoleh Reuters. [REUTERS]

Syed Bashir Aalemy, kepala departemen bahasa Inggris di universitas Tawhidyar bekerja, mengatakan dia telah bekerja sebagai sopir taksi selama beberapa minggu terakhir.

"Tidak ada cara lain," kata Aalemy. Dengan kenaikan harga bahan bakar, pekerjaan itu mungkin bekurang, katanya.

Munculnya kelas menengah terpelajar, yang bekerja di bidang pendidikan dan pemerintahan atau untuk kelompok bantuan, bank dan perusahaan media dan telekomunikasi, adalah salah satu produk yang paling terlihat dari 20 tahun keterlibatan Barat di Afghanistan.

Ribuan dari orang-orang itu melarikan diri dalam evakuasi kacau yang menyusul kemenangan mengejutkan Taliban pada Agustus, karena takut kembali ke pemerintahan yang keras dan kebebasan yang terbatas. Bagi mereka yang tetap tinggal, kesulitan keuangan adalah hal biasa, bahkan di antara orang-orang kaya.

Abdul, seorang mantan polisi berusia 41 tahun di Kabul dan ayah dari empat anak, mengatakan bahwa dia baru saja menjual sebidang tanah terakhir yang dia warisi dari ayahnya untuk membeli taksi.

300-500 afghani (sekitar Rp50.000-80.000) yang dia peroleh setiap hari hampir tidak cukup untuk menyediakan makanan sehari-hari bagi enam anggota keluarganya, kata Abdul, yang menolak memberikan nama belakangnya karena alasan keamanan.

Tawhidyar mengatakan dia membawa karung bahan bangunan di lokasi konstruksi ketika seorang teman memotretnya.

Malam itu di pertengahan Oktober, katanya, dia menulis pesan emosional di Facebook yang menampilkan gambar tersebut. "Saya sedang berpikir tentang di mana saya berada dalam batas hidup saya."

Unggahan itu dengan cepat menjadi viral dengan ribuan kali dibagikan di media sosial, dan beberapa temannya mengulurkan tangan untuk menyatakan simpati dan menawarkan bantuan keuangan.

Dia meminjam sekitar US$300 (Rp4,2 juta) dari teman dekat yang memaksanya agar mengambil uang itu, katanya.

"Tapi berapa lama saya akan meminjam? Saya sudah memiliki utang ribuan dolar," ujar Tawhidyar.

Khalilullah Tawhidyar, seorang profesor Bahasa Inggris dari Afghanistan terlihat di lokasi yang dirahasiakan dalam foto selebaran tak bertanggal yang diperoleh Reuters. [REUTERS]

Khawatir akan serangan balasan, dan peringatan dari warga Afghanistan yang mendukung kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan, dia mengatakan sejak itu dia telah menghapus unggahan tersebut dan menonaktifkan akun Facebook-nya.

Jika gaji universitas tidak datang, katanya, dia harus kembali menjadi buruh kasar.

Setelah berjuang melawan kekeringan parah dan pandemi virus corona, krisis keuangan Afghanistan telah memburuk sejak kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan pada pertengahan Agustus.

Miliaran dolar AS dalam bantuan internasional telah menyusut ketika komunitas internasional mencari cara untuk berinteraksi dengan Taliban, dan miliaran lagi dalam cadangan mata uang asing yang dibekukan negara Barat.

"Anda melihat dokter, guru, hakim dipaksa bekerja sebagai penjaga toko, sopir taksi, atau buruh," kata Victor Moses, direktur negara Afghanistan untuk kelompok nirlaba CARE, dikutip dari Reuters.

Laporan CARE bulan lalu mengatakan hampir setengah dari populasi Afghanistan, atau sekitar 19 juta orang, menghadapi kelaparan akut. Sebuah laporan PBB baru-baru ini mengatakan sebanyak 97% dari populasi bisa tenggelam di bawah garis kemiskinan pada pertengahan 2022.

Selama akhir pekan, Taliban kembali meminta agar pemerintah mereka diakui, dengan mengatakan kegagalan untuk melakukannya dan pembekuan dana Afghanistan yang terus berlanjut di luar negeri akan menimbulkan masalah tidak hanya bagi negara itu tetapi juga bagi dunia.

REUTERS

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus