Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Awal pergolakan yang panjang

Cuplikan buku, outrage, ditulis bertil lintner, wartawan far eastern economic review. tentang asal mula demonstrasi mahasiswa rangoon. kerusuhan bermula dari perkelahian antara mahasiswa ITR dengan anak pejabat.

29 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI sejarah Burma mencatat tiga huru-hara besar yang diwarnai darah. Tahum 1962, ketika mahasiswa Universitas Rangoon memprotes penguasa militer baru, Ne Win. Protes itu dijawab dengan diserbunya gedung mahasiswa oleh tentara, dan sejumlah mahasiswa tewas. Peristiwa kedua ketika mahasiswa bersama para pendeta Budha melakukan protes. Buntutnya tak jauh berbeda, pembantaian. Ketiga, adalah demonstrasi-demonstrasi menuntut pemilihan umum dan demokrasi, dan diakhirinya rezim militer. Puncak peristiwa terjadi tahun lalu. Tapi detail awal peristiwa yang menyebabkan demonstrasi berbulan-bulan yang mengakibatkan bergantinya kekuasaan di Burma pertama kali sejak Ne Win naik kuasa 1962, tak pernah diberitakan. Sebuah buku, Outrage, karangan Bertil Lintner, veteran wartawan majalah Far Eastern Economic Review, terbit bulan lalu. Buku ini merupakan kesaksian langsung ditambah sejumlah wawancara dengan mereka yang terlibat peristiwanya. Berikut cuplikan bebas dari buku itu tentang awal mulanya demonstrasi besar mahasiswa Rangoon tahun lalu. RANGOON, Sabtu 12 Maret 1988, petang. Tiga anak muda keluar dari asrama kampus Institut Teknologi Rangoon (ITR). Mereka menuju ke sebuah warun minum di seberang kampus. Warung itu memang cukup populer di kalangan mahasiswa - murah, dihiasi dengan gambar bintang film Muangthai, dan menyediakan tape recorder komplet dengan kaset lagu-lagu Burma populer yang cukup baru. Ketika tiga mahasiswa itu memasuki warung, langsung telinga mereka disusupi suara biduan populer Burma yang menyanyikan lagu cinta. Sekelompok lelaki, yang tampaknya warga sekitar warung, rupanya sedang mabuk. Tiga mahasiswa itu memesan teh dan kue-kue. Lalu mereka bilang kepada penjaga warung agar kaset diganti dengan yang mereka bawa. Tapi ketika itu salah seorang lelaki yang mabuk berteriak, melarang. Seorang mahasiswa dengan acuh tak acuh berdiri, mematikan rape, lalu memasang kaset yang mereka bawa. Ketika itulah seorang dari sekelompok lelaki itu bangkit, mengangkat kursi dan mengeprukkannya ke kepala si mahasiswa. Segera perkelahian terjadi. Mahasiswa keteter, mereka lari keluar, sambil menuntun yang kena kepruk. Esok harinya diketahui bahwa lelaki pengepruk itu anak seorang pejabat partai setempat. Segera, sejumlah mahasiswa ITR bergerak ke kantor partai, menyatakan protes. Pejabat partai yang ada di kantor menolak mendengarkan alasan para mahasiswa. Maka, batu dan apa pun yang bisa dilemparkan menghantam kantor itu. Kaca-kaca pecah. Hari itu juga, kemudian terjadi bentrokan antara mahasiswa dan warga sekitar kampus. Seorang mahasiswa tertusuk pisau. Saat itu sekitar 2.000 mahasiswa bergerak ke warung minum tempat semalam terjadi insiden. Tak tahunya sepasukan polisi antihuru-hara sudah bersiaga. Tembakan pun terdengar, seorang mahasiswa roboh - ia kemudian meninggal di kampus. Senin, 14 Maret, kampus ITR diselimuti ketegangan. Tiba-tiba ketegangan itu pecah menjadi kemarahan, ketika mahasiswa melihat di sekitar kampus polisi antihuruhara dengan pentungan dan perisai berjaga-jaga. Tapi insiden tak meletus. Dengan tak begitu jelas musababnya, tiba-tiba menjelang sore esok harinya polisi antihuru-hara menyerbu kampus. Mobil tahanan begitu saja menerjang pintu gerbang. Mahasiswa panik. yang tak sempat lari, dipukuli, akan ke dalam mobil tahanan. Tak terdengar tembakan, tapi 300-an mahasiswa dibawa mobil tahanan. Malamnya Radio Burma menyiarkan bahwa peristiwa di ITR merupakan tanggung jawab mahasiswa. Polisi masuk kampus dan berdiskusi dengan mahasiswa sebelum mereka menguasai keadaan institut tersebut. Esoknya, peristiwa yang sebenarnya mulai tersebar ke semua kampus di Rangoon. Mahasiswa marah. Hari itu di kampus utama, di Universitas Rangoon, mahasiswa berkumpul dan mencoba berbuat sesuatu. Menurut Rektor, mereka boleh mengadakan demonstrasi asal masih di dalam kampus. Segera barisan terbentuk. Sekitar 4.000 mahasiswa berpawai keliling kampus sambil berteriak-teriak mengkritik pemerintah. Tiba-tiba terdengar suara berteriak yang mengajak barisan menuju kampus ITR. Segera sorak-sorai terdengar dan merekapun bergerak menuju institut teknologi, bagian dari Universitas Rangoon. Tapi di tengah jalan, di tempat yang oleh para mahasiswa disebut Jembatan Putih, barisan mendadak berhenti. Yang terdepan segera melihat bahwa jalan menuju ITR diblokir dengan barikade kawat berduri. Di balik barikade itu ratusan tentara tegak dengan senapan otomatis yang siap ditembakkan ke arah mahasiswa. Di belakang tentara sebuah panser dengan senapan otomatis. Segera mahasiswa menyadari bahwa mereka terjebak. Di kanan mereka adalah sebuah danau yang cukup dalam. Di kiri mereka tembok tinggi perumahan. Dan di belakang mereka, entah kapan datangnya, sepasukan polisi antihuru-hara yang siap dengan pentungan, senapan, dan perisai. Mahasiswa segera menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, yang disambut perintah menyerbu dari polisi. Segera pentungan berkelebat-kelebat, tulang-tulang remuk. Tak peduli siapa pemilik tulang itu, mahasiswa atau mahasiswi. Sejumlah mahasiswa mencoba lari lewat danau. Tapi polisi mengejarnya, menangkap mereka, lalu membenamkan kepala mahasiswa itu ke dalam air sampai mereka pingsan. Yang beruntung adalah mereka yang selamat mendaki tembok perumahan. Penduduk lalu menyembunyikan mereka. Pembantaian tanpa letusan senapan itu berlangsung sekitar sejam. Setelah itu suasana sunyi. Yang ada hanya mayat-mayat dan darah. Kawasan yang disebut Jembatan Putih itu kini merah. Jumlah korban sampai kini tak bisa dipastikan. Ditaksir antara 20 dan 100 mahasiswa tewas. Beberapa truk polisi menderu datang. Mayat-mayat dilemparkan ke bak truk, lalu dibawa pergi entah ke mana. Menyusul mobil pemadam kebakaran, yang lalu memutihkan kembali Jembatan Putih yang merah itu. Tampaknya, operasi tentara dan polisi itu dikomando dari gedung Radio Burma tak jauh dari kampus. Terbetik berita kemudian, komandan operasi itu tak lain adalah tangan kanan Jenderal Ne Win, yaitu Sein Lwin, waktu itu Sekjen Partai Progam Sosialis Burma dan kepala polisi antihuru-hara. Segera berita pembantaian tersebar lewat mulut ke mulut. Banyak juga yang tak mempercayainya. Tapi mereka yang masih ingat pembantaian mahasiswa pada 1962 dan pertengahan 1970-an tak begitu sulit untuk percaya. Pemerintah membentuk tim pengusut, tapi untuk hanya seorang korban pertama kerusuhan yang tertusuk pisau. Peristiwa Jembatan Putih tak sepatah pun disebutkan. Sejak itu demonstrasi mahasiswa meledak di hari-hari yang tak bisa ditentukan. Juli Ne Win mundur. Dua penggantinya, Sein Lwin dan kemudian Maung Maung, pun hanya sampai 18 September, sebelum Jenderal Saw Maung mengambil alih kekuasaan. Saw Maung rupanya berhasil memadamkan demonstrasi dengan lembaga barunya yang ia resmikan pada 18 September, yakni Dewan Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Sejak itu banyak mahasiswa yang lari ke Muangthai atau masuk hutan bergabung dengan gerilyawan Karen melawan pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus