Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Covid-19 Meledak di Hong Kong

Peneliti University of Hong Kong memperkirakan puncak infeksi harian Covid-19 mencapai 180 ribu kasus pada Maret 2022. Rumah sakit mulai kewalahan menerima pasien.

27 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hong Kong kewalahan menghadapi lonjakan kasus Covid-19.

  • Mahkamah Internasional PBB mulai menyidangkan kasus genosida Rohingya di Myanmar.

  • Taliban berkomitmen mengizinkan perempuan bersekolah.

Hong Kong

Kewalahan Menghadapi Lonjakan Angka Kasus Covid-19

HONG Kong mewajibkan tes Covid-19 tiga kali kepada 7,4 juta penduduknya sampai April nanti setelah para peneliti University of Hong Kong memperkirakan puncak jumlah kasus infeksi harian dapat mencapai 180 ribu kasus pada Maret 2022. "Satu hingga tiga bulan mendatang sangat penting dalam memerangi pandemi," kata Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, pada Selasa, 22 Februari lalu, seperti dikutip Reuters.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumlah kasus harian di negeri itu selama ini landai, nyaris selalu di bawah 100 kasus atau bahkan nol dan total kematian hanya 425. Keberhasilan ini seakan-akan membenarkan strategi "nol Covid-19 dinamis" pemerintah, yang meliputi tes awal, pelacakan kontak detail, aturan karantina yang ketat, dan pembatasan perjalanan yang ketat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun jumlah kasus harian mulai melonjak pada akhir Januari hingga 6.352 pada Kamis, 24 Februari lalu, terutama karena masuknya varian Omicron. Rumah-rumah sakit mulai kewalahan menghadapi banjir pasien hingga harus membentangkan tenda untuk tempat tidur tambahan. “Karena kesuksesan kami, orang-orang telah terbuai dengan rasa aman yang palsu,” kata Gabriel Leung, Dekan Fakultas Kedokteran University of Hong Kong, kepada BBC.


Belanda

Sidang Genosida Rohingya Dimulai

MAHKAMAH Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ICJ) memulai sidang kasus genosida Rohingya di Myanmar yang diajukan Gambia pada Senin, 21 Februari lalu, di Den Haag, Belanda. Dalam persidangan kali ini, perwakilan Myanmar dan Gambia mengajukan argumen masing-masing apakah ICJ memiliki yurisdiksi atau kewenangan legal untuk mengadili kasus ini.

Pengungsi Rohingya tiba di di Teknaf, dekat Cox's Bazar di Bangladesh, 27 September 2017. REUTERS/Damir Sagolj//File Foto

Gambia menyeret Myanmar ke ICJ pada 2019 dengan tuduhan telah melanggar Konvensi Genosida 1948 saat serangan militer Myanmar terhadap minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada 2017. Serangan itu memaksa ribuan warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. “Kami berusaha melindungi tidak hanya hak-hak Rohingya, tapi juga hak kami sendiri sebagai negara pihak dalam Konvensi Genosida,” kata Jaksa Agung Gambia Dawda Jallow seperti dikutip Aljazeera.

Pengacara Myanmar balik menuduh Gambia tidak bertindak sendiri, tapi sebagai perwakilan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), organisasi negara-negara Islam yang dibentuk untuk mewakili kepentingan muslim global. Gambia membantah tuduhan itu.

Myanmar menilai ICJ tidak punya yurisdiksi untuk mengadili kasus ini. Aung San Suu Kyi, yang sebelumnya mewakili Myanmar di sidang ini, dulu juga mempertanyakan yurisdiksi ini. Kasus ini diperumit oleh kudeta militer yang menggulingkan Suu Kyi dan pemerintahan sipilnya. ICJ kemudian mengeluarkan perintah sementara pada Januari 2020 bahwa Myanmar harus mengambil semua tindakan yang perlu untuk mencegah dugaan genosida terhadap Rohingya.

Kini, ICJ harus memutuskan apakah mereka memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus ini. Bila iya, mereka perlu menentukan butuh beberapa tahun untuk menyidangkannya. Keputusan hakim ICJ bersifat final dan tidak dapat dibanding, meskipun pengadilan memiliki sarana yang terbatas untuk menegakkannya.


Afganistan

Taliban Mengizinkan Perempuan ke Sekolah

DIREKTUR Eksekutif UNICEF Catherine Russell mengatakan Taliban telah menunjukkan komitmennya untuk mengizinkan perempuan bersekolah di seluruh wilayah negeri pada bulan depan. “Otoritas de facto (Taliban) telah memberi kami indikasi bahwa itu adalah niat mereka. Kami berharap itu akan terjadi dan kami percaya itu harus terjadi,” kata Russell kepada The Associated Press di Kota Kabul, Kamis, 25 Februari lalu.

Meskipun tidak ada larangan resmi, anak perempuan kelas tujuh ke atas secara efektif dilarang bersekolah di sebagian besar provinsi sejak Taliban berkuasa enam bulan lalu. Akses ke pendidikan adalah tuntutan utama masyarakat internasional kepada Taliban.

Sekolah negeri tetap dibuka di 10 dari 34 provinsi. Universitas untuk perempuan juga telah dimulai kembali di beberapa provinsi dan Taliban berjanji semua universitas akan kembali dibuka dalam beberapa pekan mendatang. Namun belum jelas pembatasan apa yang masih akan berlaku nanti.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus