Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perang Rusia-Ukraina mendongkrak harga komoditas dan energi.
Dampak perang pelan-pelan menggerogoti kekuatan ekonomi Indonesia.
Ancaman lebih besar menunggu jika konflik meluas ke embargo internasional.
KETIKA pasar finansial tengah cemas menanti kenaikan bunga dan mengetatnya likuiditas, tentara Rusia menyerbu Ukraina. Dampak konflik ini sungguh serius. Tak hanya mempengaruhi pasar finansial, imbasnya langsung memukul ekonomi global yang masih tertatih-tatih memulihkan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang pertama adalah melonjaknya harga-harga komoditas dan energi. Inilah dampak langsung yang juga menjalar ke Indonesia. Harga gandum langsung terbang begitu tank-tank Rusia merambat memasuki wilayah Ukraina. Tanpa disadari banyak orang, seperempat gandum impor untuk membuat roti ataupun mi instan yang kita santap hari ini berasal dari Ukraina. Tahun lalu, Januari-November, Indonesia mengimpor 2,8 juta ton gandum Ukraina, terbesar kedua setelah Australia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harga minyak dunia juga langsung melejit di atas US$ 100 per barel. Harga gas di Eropa melesat. Lonjakan harga energi memang bisa membawa berkah bagi eksportir batu bara di sini. Harga batu bara ikut terkerek naik. Namun melonjaknya harga minyak juga membawa masalah besar bagi Indonesia, yang harus mengimpor lebih dari 1 juta barel minyak dan berbagai produk turunannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama bahan bakar minyak.
Harga BBM di dalam negeri memang masih dalam kendali pemerintah. Pertamina sebagai pemasok utama tak bisa begitu saja menaikkan harga jual BBM di pasar domestik tanpa izin. Namun, jika harga minyak terus bertahan di kisaran US$ 100 per barel—bahkan sudah ada analis yang menghitung harga minyak bisa melampaui US$ 120 per barel—Pertamina bisa tenggelam dalam kerugian besar. Pemerintah pada satu titik tak akan punya pilihan selain mengizinkan kenaikan harga BBM.
Rantai kenaikan harga berbagai komoditas yang sambung-menyambung begitu panjang pada akhirnya akan mendongkrak inflasi. Selain minyak bumi dan gandum, sekadar contoh, harga jagung di pasar internasional melonjak. Penduduk Indonesia memang tidak memakan jagung sebagai bahan pangan pokok. Namun ayam dan berbagai hewan peliharaan yang menjadi sumber utama protein negeri ini membutuhkannya sebagai pakan utama. Peternak Indonesia bahkan juga menggunakan gandum sebagai pakan, ketika harga jagung melejit tak terkendali. Jika harga pakan melonjak, sudah pasti harga daging ataupun telur segera menyusul.
Di era globalisasi ini, tak ada lagi perkara yang tidak saling mengait. Dampak agresi Vladimir Putin, yang begitu jauh dan seolah-olah tak terasa apa-apa di sini, kini pelan-pelan tengah menggerogoti kekuatan utama ekonomi Indonesia: inflasi yang rendah.
Rendahnya inflasi, yang terus menyentuh rekor terendah sepanjang sejarah Indonesia modern, merupakan modal utama ekonomi Republik dalam menghadapi gejolak pasar global dalam dua tahun terakhir. Itu sebabnya, ketika negara-negara berkembang lain sudah terpaksa menaikkan suku bunga sebagai antisipasi perubahan kebijakan bank-bank sentral utama dunia, Bank Indonesia masih bisa bertahan, menunggu lebih lama.
Jika inflasi di dalam negeri sudah melonjak, tak ada lagi ruang bagi BI untuk bertahan. Apalagi The Federal Reserve sudah menegaskan tak akan menunda kenaikan bunga meski perang sudah meletus. Inflasi dalam negeri yang merambat naik, serta bunga global yang mulai menanjak, adalah kombinasi buruk yang bisa membawa sentimen negatif bukan hanya bagi pasar finansial, melainkan bagi ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Masih ada satu hal yang rentetan konsekuensinya sangat panjang. Blokade militer di wilayah konflik belum seberapa dampaknya dibanding konsekuensi sanksi ekonomi dari Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap Rusia. Embargo perdagangan, investasi, apalagi jika berkembang hingga pemutusan lalu lintas transaksi keuangan, akan menimbulkan disrupsi global yang amat serius. Bukan hanya Rusia yang menjadi target, sanksi ekonomi menimbulkan dampak kolateral. Negara-negara yang tak terlibat langsung juga ikut memikul akibatnya.
Konflik militer terbuka memang hanya melibatkan Rusia dan Ukraina. Tapi dampak perang ekonomi yang menyertainya sudah melanda seluruh dunia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo