Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Krisis ekonomi Libanon makin parah.
Unjuk rasa terus berlangsung seakan-akan tanpa henti.
Pemerintah berusaha mencari bantuan ke IMF.
WARGA Libanon menjubeli tempat penukaran uang pada Selasa, 16 Juni lalu untuk membeli dolar Amerika Serikat menjelang pemberlakuan Undang-Undang Perlindungan Sipil oleh Negeri Abang Sam terhadap Suriah, negara jiran Libanon. Undang-undang tersebut menjatuhkan sanksi terhadap siapa pun yang memberikan dukungan keuangan, materi, dan teknologi kepada pemerintah atau tokoh politik rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan Amerika terhadap Suriah langsung mempengaruhi Libanon. Center for Operational Analysis and Research Global, lembaga konsultan independen yang berbasis di Siprus, menyebut hubungan politik dan ekonomi Libanon dan Suriah sebagai “dua negara, satu krisis”. Apa yang terjadi di Suriah berdampak terhadap Libanon dan sebaliknya. Sebab, Libanon menjadi gerbang utama ekonomi Suriah, yang susah menjalankan perdagangan ke luar negeri setelah terkena sanksi ekonomi Amerika dan Uni Eropa, juga banyaknya orang Suriah yang menyimpan uang di bank-bank Libanon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Beirut, ibu kota Libanon, nilai US$ 1 kini setara dengan 3.900 pound Libanon. Nilai tersebut mengikuti patokan yang disepakati Sindikat Penukaran Uang—organisasi yang menaungi pengusaha money changer di negeri itu—dan Bank Libanon (BDL), bank sentral. Tempat penukaran uang juga mewajibkan pembeli menunjukkan identitas dan dokumen yang menjelaskan alasan mereka membeli dolar. Setiap orang hanya dibolehkan membeli paling banyak US$ 200.
Libanon terpuruk dalam krisis ekonomi berkepanjangan sejak Oktober tahun lalu. Keadaan memburuk belakangan ini ketika nilai mata uangnya tergerus hingga 70 persen. Selama ini, pemerintah mematok kurs 1.507,5 pound per dolar. Sejak Covid-19 mewabah, dolar menjadi langka karena bank sentral menahan masyarakat menarik simpanan dolarnya. Harga dolar pun sempat melambung mencapai 5.000 pound per dolar.
Setelah krisis ekonomi menghantam, gelombang unjuk rasa terus melanda Libanon. Pada Senin, 15 Juni lalu, polisi menahan 36 orang dari berbagai demonstrasi sejak tiga hari sebelumnya. Aksi protes pada pekan kedua Juni tersebut bahkan disertai perusakan bank dan toko. Ratusan demonstran juga sempat bentrok dengan polisi di Beirut dan Tripoli, dua kota terbesar di negara itu.
Demonstrasi tersebut dibahas Presiden Libanon Michel Aoun dalam rapat kabinet. “Aksi vandalisme semacam itu harus dilarang mulai hari ini,” katanya seperti dikutip The National. Ia menyatakan akan ada gelombang penangkapan, termasuk terhadap perencana dan pelakunya, serta memerintahkan penegak hukum menjalankan operasi “pendahuluan” untuk mencegah kekerasan lebih lanjut.
Polisi dikabarkan mulai menyelidiki tulisan-tulisan di media sosial yang diduga menghina Presiden Michel Aoun, termasuk gambar dan meme. Tindakan ini memicu unjuk rasa lagi di Beirut pada Rabu, 17 Juni lalu. Demonstran menuntut kebebasan berekspresi di media sosial dikembalikan. Menurut mereka, ketimbang mengejar aktivis di media sosial atau jurnalis yang membongkar korupsi, polisi seharusnya menahan pejabat dan penguasa hitam. “Semua yang berkomentar dan mengkritik kerja pemerintah, khususnya presiden, telah dipanggil polisi gara-gara obrolan lucu entah di Twitter atau Facebook atau media sosial lain,” ujar Samer al-Khouri, salah seorang demonstran.
Libanon tergelincir ke jurang krisis setelah perekonomiannya babak-belur. Negara itu berutang lebih dari US$ 90 miliar, yang setara dengan 170 persen produk domestik brutonya. Awal Maret lalu, pemerintah tak mampu membayar surat utang negara senilai US$ 1,2 miliar yang telah jatuh tempo. Ini pertama kalinya pemerintah mengalami gagal bayar. Pengunjuk rasa menuding perekonomian terpuruk karena anggaran negara dikorupsi para pejabat. Demonstrasi pertama pecah sebagai protes terhadap maraknya korupsi.
Media Arab, Asharq al-Awsat, mencatat krisis ini memaksa 785 restoran dan kafe tutup serta mengakibatkan 25 ribu orang kehilangan pekerjaan. Harapan memulihkan perekonomian digantungkan pada bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Tapi harapan itu menjauh karena pemerintah dan bank sentral berselisih soal angka defisit.
Keadaan memburuk setelah pemerintah menunjuk sejumlah pejabat baru di kementerian dan bank sentral. Kelompok oposisi menuding penunjukan tersebut kental dengan semangat sektarian, bukan didasari kemampuan individu. “Penunjukan itu pada dasarnya sebuah sinyal bahwa ini cuma hal biasa. Tak ada reformasi besar yang dijanjikan ketika pemerintahan terbentuk benar-benar diwujudkan,” tutur Mohanad Hage Ali dari Carnegie Middle East Center kepada Reuters.
Militer Libanon menahan kedatangan pendukung Hezbullah yang menentang aksi demonstran anti pemerintah di Beirut, Libanon, 6 Juni 2020. REUTERS/Ali Hashisho
Unjuk rasa besar pada tahun lalu memaksa Perdana Menteri Saad al-Hariri mundur. Pada Januari lalu, mantan Menteri Perekonomian, Hassan Diab, terpilih sebagai perdana menteri dengan dukungan Hizbullah, organisasi Syiah terkuat di Libanon yang disokong Iran. Adapun Michel Aoun, tokoh Kristen pendiri partai Gerakan Patriotik Merdeka, menjadi presiden dan Nabih Berri, tokoh Partai Gerakan Amal yang berbasis Syiah, menjadi ketua parlemen. Hariri, politikus Sunni yang pro-Barat dan bersekutu dengan negara-negara Arab di Teluk, dan Walid Jumblatt, pemimpin kelompok etno-religius Druze dan Presiden Partai Sosialis Progresif, hengkang dari pemerintahan.
Berri menempatkan orangnya sebagai deputi gubernur bank sentral. Ia juga menaruh orang di jabatan lain, termasuk Mohammad Abu Haidar sebagai direktur jenderal di Kementerian Perekonomian. Gerakan Patriotik Merdeka pimpinan Gebran Bassil, menantu Aoun, juga mendapat “jatah” sejumlah jabatan. Pembagian jatah semacam ini yang dituduh sektarian oleh kelompok oposisi.
Di tengah upaya pemerintah menopang pound, harga makanan melonjak dan keuangan negara dalam keadaan bahaya. “Tidak ada yang akan memberikan pinjaman kepada pemerintah Libanon,” tutur Nasser Saidi, Menteri Perekonomian pada rezim Perdana Menteri Selim Hoss.
Perdana Menteri Hassan Diab telah mengumumkan rencana pemulihan ekonomi, termasuk melibatkan IMF. Dia memperingatkan, bila Amerika Serikat dan Uni Eropa tak menggelontorkan dana untuk membantu, kelaparan akan mewabah dan memicu gelombang pengungsian baru ke Eropa serta mengganggu stabilitas kawasan.
Pemerintah berharap IMF dan lembaga donor lain akan menyuntikkan dana sekitar US$ 11 miliar sebagai bagian dari program penyelamatan ekonomi. Tapi, menurut Capital Economics, negara anggota IMF mungkin menolak permohonan tersebut karena peran Hizbullah dalam pemerintahan serta pertentangan antara pemerintah dan bank sentral. “Sandungan seperti ini tampaknya sulit diatasi,” kata lembaga riset yang berbasis di London itu.
Belum apa-apa, rencana tersebut mulai rontok. Pada Kamis, 18 Juni lalu, Henri Chaoul, penasihat Kementerian Keuangan Libanon dalam perundingan dengan IMF, menyatakan mundur karena pemerintah “tak punya kehendak tulus” untuk mereformasi perekonomian. Pemerintah, menurut Chaoul, mengabaikan besarnya angka defisit. Chaoul mengatakan para politikus, otoritas moneter, dan sektor keuangan hanya tertarik pada isu-isu populis.
IWAN KURNIAWAN (THE NATIONAL, REPUBLIC WORLD, REUTERS, ASHARQ AL-AWSAT, AHRAM ONLINE)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo