Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH akhirnya berani bicara pahit tentang kondisi ekonomi Indonesia. Proyeksi terakhir menunjukkan angka pertumbuhan yang jauh lebih buruk dari perhitungan semula. Alih-alih tumbuh, ekonomi Indonesia diproyeksikan menyusut hingga 3,8 persen pada kuartal II 2020, yang berakhir Juni ini.
Keadaan memang amat berat akibat wabah Covid-19. Cuma, agak berlebihan juga jika Presiden Joko Widodo, dalam pertemuan dengan purnawirawan Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian RI di Bogor, Jawa Barat, Jumat, 19 Juni lalu, mengatakan situasi saat ini sudah lebih buruk ketimbang krisis 1998. Ekonomi hari ini masih lebih baik. Cadangan devisa relatif stabil, lebih dari US$ 130 miliar pada akhir Mei 2020. Karena itu, nilai tukar rupiah juga tidak guncang, bahkan cenderung menguat Juni ini.
Salah satu penyebab stabilnya rupiah adalah pemerintah kembali berhasil menarik masuk dolar Amerika Serikat dengan menjual surat utang syariah senilai US$ 2,5 miliar. Sebelumnya, April lalu, pemerintah juga menjual obligasi sebesar US$ 4,3 miliar. Dus, selama masa pandemi, pemerintah sudah menambah utang dalam dolar yang totalnya mencapai US$ 6,8 miliar. Likuiditas dolar Amerika yang melimpah karena The Federal Reserve terus mencetak dolar tanpa batas juga merupakan salah satu faktor penolong yang membuat ekonomi tidak jatuh berantakan seperti dalam krisis 1998.
Sistem perbankan Indonesia sejauh ini juga masih relatif aman. Pelbagai rasio kesehatan bank menunjukkan perbankan umumnya masih sehat, meskipun program restrukturisasi kredit belum mulus bergulir dan baru selesai peraturannya dua pekan lalu. Ini perbedaan terbesar dengan krisis 1998, yang justru bermula dari runtuhnya sistem perbankan yang membuat kepercayaan kepada ekonomi Indonesia hancur berkeping-keping, memicu kerusuhan hingga lengsernya presiden.
Kendati demikian, merosotnya kondisi ekonomi saat ini juga tak bisa dipandang remeh. Tengok saja salah satu indikator terpenting: ekspor-impor. Selama Mei 2020, penerimaan ekspor Indonesia hanya US$ 10,53 miliar, turun 28,95 persen dibanding Mei 2019. Pada saat yang sama, realisasi impor luruh lebih dalam, 42,2 persen. Ini penurunan ekspor ataupun impor paling dalam sejak 2009.
Penurunan impor harus dibaca pula sebagai merosotnya aktivitas sektor manufaktur karena sebagian besar bahan baku industri dalam negeri merupakan barang impor. Itulah yang juga tecermin pada laporan IHS Markit mengenai Indonesia Manufacturing Purchasing Managers Index. Indeks ini mengukur aktivitas industri dengan melihat berbagai indikator pembelian bahan baku. Pada April 2020, tercatat nilai indeks terendah sepanjang sejarah, hanya 27,5. Indeks beringsut pada Mei menjadi 28,6. Sekadar catatan, indeks ini menjadikan angka 50 sebagai batas tengah antara kontraksi dan ekspansi. Artinya, pada April dan Mei itu benar-benar terjadi kontraksi aktivitas yang amat dalam pada sektor manufaktur Indonesia.
Merosotnya tingkat produksi mobil, yang memiliki jaringan rantai pasok amat panjang, juga dapat menjadi contoh betapa lemasnya aktivitas semua industri. Selama Mei 2020, industri otomotif hanya memproduksi 2.627 unit kendaraan, melorot 88 persen dibanding produksi bulan sebelumnya yang masih sebanyak 21.434 unit.
Tapi yang paling keras terkena hantaman wabah adalah fiskal pemerintah pusat. Pengeluaran meledak luar biasa. Sementara itu, penerimaannya justru turun tajam karena aktivitas ekonomi yang tersendat. Tak tanggung-tanggung, pemerintah harus menambah utang hingga lebih dari Rp 1.600 triliun sepanjang 2020 ini untuk mengongkosinya.
Bisa jadi Jokowi memang sengaja menyinggung krisis 1998 untuk menekankan betapa gentingnya situasi dan membuat semua aparat pemerintahan segera sadar bahwa krisis sudah membekap negeri ini. Jika tidak ada langkah-langkah luar biasa, bukan tak mungkin ekonomi Indonesia akan terpuruk makin dalam. Sekadar membuka kembali aktivitas ekonomi sepertinya belum cukup untuk benar-benar mencegah krisis 1998 terulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo