Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Aliansi dalam Secangkir Teh

Perlawanan pelajar dan mahasiswa Myanmar terhadap junta militer mendapat dukungan dari rekan sebaya mereka di negara tetangga dalam Aliansi Teh Susu. Berbagi strategi dan taktik berdemonstrasi.

20 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Demonstran pro demokrasi melakukan aksi menuntut pembebasan pemimpinnya yang ditahan pemerintah Thailand, di Bangkok, 13 Februari 2021. REUTERS/Soe Zeya Tun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Demonstran Myanmar mendapat dukungan dari aktivis negara tetangga.

  • Mereka berbagai strategi dan taktik dalam jaringan Aliansi Teh Susu.

  • Perlawanan juga dilakukan dengan menggunakan teknologi digital dan media sosial.

“Jangan macam-macam dengan generasi muda Myanmar!” Jargon itu menjadi salah satu tulisan yang dipasang anak-anak muda Myanmar dalam poster mereka saat turun ke jalan memprotes kudeta militer sejak awal Februari lalu. Selain dukungan masyarakat luas, mereka kini mendapat sokongan dari Aliansi Teh Susu, gerakan solidaritas virtual aktivis prodemokrasi Asia. Berulang kali berhadapan dengan gas air mata, pentungan, peluru karet, dan bahkan ancaman kematian, semangat mereka tak luntur.

Perlawanan juga merambah Internet. Pamflet digital, ilustrasi, dan pesan berisi kritik hingga ledekan terhadap junta militer tersebar di dunia siber. Menurut laporan lembaga pemantau disrupsi Internet Netblocks, militer Myanmar menerapkan jam malam untuk memblokir akses informasi enam hari berturut-turut dalam sepekan terakhir.

Meski demikian, pesan teks, foto, dan video protes terus berseliweran, yang menunjukkan kaum muda Myanmar tak menyerah dalam melawan junta. “Mereka keliru berseteru dengan generasi sekarang!” demikian cuitan Aliansi Teh Susu pada Jumat, 19 Februari lalu.

Banyaknya kaum muda dan pelajar dalam aksi massal di Myanmar juga menjadi catatan sejarah. Hal ini menunjukkan kepedulian mereka terhadap kondisi sosial-politik dan ancaman terhadap kebebasan berpendapat hingga akses Internet yang selama ini menjadi kemewahan bagi kaum muda. Kematian Mya Thwate Thwate Khaing, perempuan demonstran yang ditembak di kepala saat berunjuk rasa di ibu kota Myanmar, Naypyitaw, pada 11 Februari lalu, makin memompa perlawanan para pemuda.

Tiga pekan setelah kudeta, tentara memperketat penjagaan di kota-kota untuk mencegah aksi unjuk rasa meluas. Mereka juga berpatroli ke pelosok kota dan kampung-kampung. Beberapa unjuk rasa yang dibubarkan pun berakhir dengan bentrokan. Sejumlah laporan menunjukkan kebrutalan polisi dan tentara dalam menghadapi para demonstran. Lebih dari 400 orang, yang sebagian besar adalah pelajar, ditangkap.

Presiden Persatuan Mahasiswa Pakokku University Salai Law Shing Kee ikut ditangkap ketika tengah berdemonstrasi pada Jumat, 19 Februari lalu. Polisi juga mencokok rekannya, Naing Linn Aung. Mereka tergabung dalam gerakan antifasis yang dikoordinasi oleh Federasi Persatuan Pelajar Burma Raya (ABFSU).

Ini bukan pertama kali pemerintah menyasar para organisasi mahasiswa. Pada Oktober lalu, polisi menciduk 15 mahasiswa, termasuk empat pengurus ABFSU, beberapa hari setelah mereka menggelar unjuk rasa di Kota Mandalay. Dua pengurus ABFSU, Soe Hla Naing dan Kyaw Thiha Ye Kyaw, dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Adapun dua pengurus lainnya, Yell Yint Aung dan Myo Chit Zaw, masing-masing divonis 1 tahun dan 1 bulan penjara.

Meski demikian, masyarakat sipil belum mundur. Para mahasiswa kini bersatu dengan barisan pegawai negeri, biksu, guru, dan dokter dalam aksi demonstrasi. Sebagian anggota kepolisian pun akhirnya pindah haluan dan menentang kudeta. “Belum ada tentara yang ikut protes ini, tapi sudah ada beberapa polisi yang bergabung dan menggunakan tameng mereka untuk melindungi demonstran dari bom air,” ujar seorang aktivis prodemokrasi asal Yangon kepada Tempo, Rabu, 10 Februari lalu.

Ei Myat, aktivis Myanmar, juga menggunakan media sosial untuk melaporkan situasi negerinya. Dia tak ingin peristiwa pada 1988 terjadi lagi. Saat ini tentara terus memblokir akses televisi, layanan telepon, dan Internet untuk mencegah masyarakat berbagi informasi. “Kami hanya ingin dunia tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Myanmar sekarang,” ujarnya kepada Tempo.

Aliansi Teh Susu menjadi salah satu penyokong utama gerakan demokrasi di Myanmar sekarang. Lewat akun media sosial, mereka membantu menerjemahkan dan menyebarkan pesan warga Myanmar tentang situasi di negaranya. Para pelajar dan mahasiswa Myanmar, yang lebih melek Internet, menjadi anggota baru aliansi ini.

Aliansi ini diawali gerakan membuat meme dan tagar yang diprakarsai oleh para aktivis prodemokrasi Hong Kong selama aksi protes pada 2019. Mereka memanfaatkan teknologi digital dan media sosial untuk menyebarkan ide, kritik, dan strategi menentang pemerintahan yang represif. Nama aliansi ini diambil dari nama minuman populer di negara-negara seperti Hong Kong, Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Taiwan.

Gerakan dari Hong Kong ini lantas menyebar dan menuai banyak simpatisan di Taiwan. Dari sana, aliansi dengan cepat mendapatkan sekutu di sejumlah negara Asia, seperti Thailand dan India, yang juga tengah bergulat dengan masalah demokrasi. Gerakan ini menyebar ke Indonesia dengan nama lokal Aliansi Teh Tarik. Aliansi ini ikut terlibat dalam perputaran informasi dalam aksi menuntut pembatalan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di Indonesia tahun lalu.

Seniman Thailand, Sina Wittayawiroj, menyatakan Myanmar layak mendapat tempat dalam aliansi karena sama-sama berjuang melawan penindasan pemerintahnya. Salah satu karya Sina menjadi gambar yang paling banyak dibagikan di media sosial. Gambar itu menunjukkan tangan-tangan yang mewakili kaum muda yang menyorongkan gelas teh susu sesuai dengan gaya negaranya masing-masing.

Kini, di dalam gambar itu ada secangkir cangkir teh susu ala Burma, yang dikenal sebagai laphet yay. Menurut Sina, seperti dilaporkan BBC, sangat mudah untuk berusaha mengerti situasi di Myanmar karena hal itu juga terjadi di negara mereka sendiri. “Kami berbagi ide yang sama mengenai demokrasi,” ujar Sina. “Rasanya banyak orang yang mulai menyadari bahwa militer dan para elite sudah terlalu korup.”

Aksi solidaritas Aliansi Teh Susu membantu para aktivis bertukar informasi dan taktik berunjuk rasa saat berhadapan dengan barisan polisi atau tentara. “Informasi mengenai taktik ini mengalir saja seperti air,” kata Netiwit Chotipatphaisal, seperti dilaporkan The Diplomat. Netiwit adalah aktivis pelajar Thailand yang juga intens terlibat dalam Aliansi Teh Susu.

Dengan bantuan teknologi dan Internet, meski dengan akses yang terbatas seperti di Myanmar, mereka mampu menggalang dukungan di dalam dan luar negeri. Aliansi Teh Susu menjadi salah satu wadah bagi para aktivis muda di Asia yang merasa muak terhadap tekanan pemerintah. “Selalu ada kekuatan dalam solidaritas,” ujar Sophie Mak, peneliti dan aktivis hak asasi manusia dari Hong Kong.

Sebagian peserta demonstrasi, seperti yang ditunjukkan kelompok Ratsadon di Bangkok, menunjukkan simpati mereka terhadap Myanmar dengan ikut memukul-mukul wajan atau mengenakan panci di kepala. Dalam tradisi Myanmar, membuat suara bising adalah cara untuk mengusir setan. Masyarakat Myanmar kini melakukannya sebagai simbol perlawanan terhadap junta militer.

Warga Myanmar pun meminjam gaya demonstran Thailand, yang kerap mengacungkan salam tiga jari sebagai tanda perlawanan saat memprotes pemerintah yang otoriter setelah kudeta 2014. Gaya salam ini diilhami oleh film Hunger Games. Dengan bantuan Internet, gestur tersebut dengan cepat menyebar di Myanmar. Di jalan-jalan, mereka yang mengacungkan salam tiga jari dengan cepat mendapatkan balasan yang sama dari para pengunjuk rasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poster Aliansi Teh Susu yang beredar di media sosial, di Bangkok, Thailand, 1 Februari 2021. REUTERS/Sina Wittayawiroj

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Reuters, Myat, peserta unjuk rasa di depan Pagoda Sule di Kota Yangon pada 8 Februari lalu, juga mengacungkan salam itu. Para pejalan kaki dan penjaga toko membalas dengan salam yang sama. Sebelum berunjuk rasa, Myat sudah membaca panduan taktik protes di Hong Kong yang sudah diterjemahkan ke bahasa Burma dan dibagikan ribuan kali di media sosial. Lewat tagar #MilkTeaAlliance, mereka bisa menggalang dukungan dari para aktivis di Thailand dan Hong Kong. Dari sana Myat melihat bagaimana kaum muda bisa berpartisipasi dalam gerakan politik di negara-negara tetangganya. “Mereka menginspirasi kami untuk ikut terlibat juga,” ucap Myat.

Dengan tagar di media sosial itu pula para demonstran bisa saling meminjam simbol dan ide dalam aksi protes. Mengantisipasi aksi kekerasan yang dilakukan polisi, demonstran Myanmar sudah menyiapkan diri dengan mengenakan helm proyek berwarna kuning dan payung. Strategi yang dikembangkan para demonstran di Hong Kong ini juga diadopsi demonstran Thailand. Mereka juga bisa dengan cepat mengganti tagar dan memasang meme berbasis karya seni aneka warna dan ilustrasi sarkastis.

Keberadaan media sosial dan aksi solidaritas virtual seperti Aliansi Teh Susu juga membantu banyak orang di luar Myanmar, seperti Ei San, 27 tahun, mendapatkan informasi terbaru soal kondisi negara itu. Pergi dari Myanmar untuk belajar pada 2009, Ei San kini bekerja di Hong Kong. Setelah kudeta terjadi, dia kian rutin memantau berita karena khawatir atas keselamatan keluarganya di Myanmar.

Terinspirasi oleh gerakan para pengunjuk rasa dan Aliansi Teh Susu, yang saling bertukar informasi, Ei San membentuk grup solidaritas di komunitas warga Myanmar di Hong Kong. Mereka antara lain merilis kecaman bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar adalah tindakan ilegal. Mereka juga menuntut para demonstran yang ditangkap untuk dibebaskan.

Menurut Ei San, banyak warga Hong Kong yang membantu mereka. Para aktivis di Myanmar pun kini kerap menghubunginya untuk berbagi taktik dari Hong Kong. Tumbuh di dalam rezim militer membuat Ei San tak ingin generasi yang lebih muda mengalami hal serupa. Perjuangan pelajar dan mahasiswa Myanmar masih panjang, tapi “Anda tidak bisa lagi imparsial. Saya sudah memilih untuk berada di sisi rakyat,” ujarnya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (BBC, REUTERS, THE DIPLOMAT, CNN, ASSOCIATED PRESS, FRONTIER MYANMAR, SOUTH EAST ASIA GLOBE)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus