Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur menangkap belasan makelar 30 hektare tanah negara di Labuan Bajo.
Gories Mere dan Karni Ilyas diduga turut membeli tanah milik pemerintah daerah tersebut.
Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 1,3 triliun.
LAUTAN biru dan gugusan pulau kecil menghampar di depan Vila dan Kafe Promised Land. Menjadi satu-satunya bangunan berdesain modern, vila yang sebagian dibangun dari kontainer bekas itu tampak mencolok di atas Bukit Toro Lemma Batu Kallo di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pada Senin, 15 Februari lalu.
Pintu vila yang menghadap Laut Flores itu terlihat terkunci. Kafe juga tak beroperasi. Ada bekas pita segel bertulisan Kejaksaan Tinggi NTT di pagar vila. “Kami hanya tahu ini milik Pak Jenderal dari Jakarta, Bapak Gories Mere,” ujar Karaeng Ota, warga sekitar vila, kepada Tempo.
Ia menyebut vila dibangun pada sekitar pertengahan 2019. Sehari-hari, Karaeng menampi rumput dan ilalang di sekitar vila. Aktivitasnya terhenti sejak Kejaksaan Tinggi NTT menyegel bangunan dua lantai itu pada akhir 2020.
Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur tengah mengusut dugaan korupsi alih lahan seluas 30 hektare milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Nilainya mencapai Rp 3 triliun. Kerugian negara ditaksir sebesar Rp 1,3 triliun.
Penyelidikan dimulai pada September 2020. Setelah empat bulan, Kejaksaan menetapkan 16 tersangka. Mereka antara lain Bupati Manggarai Barat Agustinus Christoforus Dula dan seorang advokat bernama Muhammad Achyar. Setelah masuk ke penyidikan, jaksa memeriksa bekas anggota staf khusus Presiden Joko Widodo, Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Gregorius Mere, pada 8 Desember 2020. Kepala Kejaksaan Tinggi NTT Yulianto mengatakan anak buahnya memeriksa pria yang akrab disapa Gories Mere tersebut untuk mengklarifikasi informasi pembelian tanah.
Wartawan senior, Sukarni Ilyas, juga diduga ikut membeli tanah milik pemerintah itu bersama dengan Gories. Namun penyidikan tak menemukan peran keduanya dalam perkara korupsi tersebut. “Hingga saat ini, tim penyidik masih menyimpulkan Pak Gories Mere dan Karni Ilyas diklusterkan sebagai pembeli yang beriktikad baik,” ujar Yulianto.
Gories Mere diduga membeli dua bidang lahan di Bukit Toro Lemma, masing-masing seluas 3 dan 0,4 hektare. Ia membeli dari Achyar, sang pengacara. Tanah itu diduga bagian dari 30 hektare lahan pemerintah daerah. Adapun Karni diduga membeli tanah sekitar 4.000 meter persegi di sebelah lahan Gories.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Achyar (berbaju kemeja putih lengan panjang) bersama Gories Mere dan penjaga lahan di lokasi lahan Kerangan/Toro Lemma Batu Kallo, tahun 2018./Istimewa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat perjanjian jual-beli tanah antara Gories dan Achyar diteken pada 17 November 2017. Dalam surat itu, tanah 3 hektare dibanderol seharga Rp 3 miliar. Gories membayar panjar sebesar Rp 500 juta. Ia berniat melunasi pembayaran bila mendapat sertifikat tanah.
Gories mengaku membeli lahan itu karena ditawari Achyar dan sepupunya, Gabriel Mahal. Achyar dan Gabriel meyakinkan Gories bahwa Karni lebih dulu membeli tanah di Toro Lemma. “Mereka lebih dulu beli. Katanya nanti bisa ngopi-ngopi bareng di sana,” ujar Gories.
Ia mempercayai ajakan tersebut. Apalagi Gories sudah mengenal Karni Ilyas selama 30 tahun. Tempo belum mendapat konfirmasi dari Karni. Ia tak merespons panggilan dan pesan yang dikirimkan Tempo hingga Sabtu, 20 Februari lalu.
Namun, pada awal 2018, Gories mengaku membatalkan perjanjian jual-beli itu. Ia baru mengetahui lahan tersebut bermasalah.
•••
PULUHAN polisi berseragam dan pria berpakaian sipil mendatangi kediaman Camat Komodo periode 1989-1993, Anton Us Abatan, pada siang bolong, Juli 2018. Empat orang merangsek ke dalam rumah Anton yang berada di Kampung Tenda, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Anton sendiri yang menerima tamu tak diundang tersebut. “Di antaranya Pak Gories Mere dan pengacaranya yang datang kala itu,” ujar istri Anton, Agnes Manggol, dan putranya, Benyamin Us Abatan, pada Selasa, 16 Februari lalu. Anton meninggal pada Januari lalu.
Menurut Agnes, Gories dan si pengacara menyerahkan surat permohonan sertifikat tanah di Bukit Toro Lemma Batu Kallo. Keduanya meminta Anton menandatanganinya. Anton menolak. Ia beralasan tanah yang akan dibuatkan sertifikatnya itu milik Muhammad Adam Djudje.
Anton juga mengetahui lahan tersebut merupakan bagian dari 30 hektare milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Anton tahu karena ia menjadi salah satu saksi penyerahan hibah tanah tersebut dari Fungsionaris Adat Kedaluan Nggorang, Ramang Ishaka dan Haku Mustafa, pada 1989.
Bupati Manggarai kala itu, Gaspar Parang Eshok, yang menerima surat hibah. Kabupaten Manggarai Barat merupakan pecahan dari Kabupaten Manggarai. Lahan itu rencananya akan digunakan untuk lokasi sekolah perikanan dan kelautan.
Anton menjelaskan kronologi tanah itu di hadapan tamunya. Mendengar jawaban Anton, Agnes mengatakan Gories Mere menyeletuk, “Wah, kalau begitu saya rugi, dong.”
Adam Djudje baru mengklaim lahan itu pada 2013. Kala itu, menurut Agnes, Djudje mengaku menemukan dokumen penyerahan tanah di lemari. “Saat penunjukan lokasi tanah, Haji Djudje sebagai sekretaris adat sekaligus sekretaris desa,” ujarnya.
Dalam surat penyerahan terdapat tanda tangan Kepala Desa Labuan Bajo waktu itu, Kuba Usman, dan Anton Us Abatan. Belakangan, keaslian dokumen diragukan.
Anton pernah menyatakan tanda tangannya di dokumen milik Djudje palsu. Kejanggalan lain, dokumen yang dimiliki Djudje menyebutkan bagian timur dan utara tanah berbatasan dengan jalan. Padahal jalan tersebut baru dibuka pada 1991 atau dua tahun setelah proses hibah. Bentuk huruf ketikan di surat penyerahan Djudje juga terlihat berbeda dengan surat tanah lainnya.
Saat mengklaim sebagai pemilik tanah itu, Djudje menggunakan jasa advokat Muhammad Achyar dan Gabriel Mahal. Djudje meninggal pada Desember lalu. Adapun Gaspar wafat pada 2016.
Berbekal surat Djudje, Achyar menyambangi Kantor Pertanahan Manggarai Barat pada 2017. Achyar mengajukan permohonan sertifikat untuk dirinya, Gabriel Mahal, Sukarni Ilyas, dan Gories Mere.
Anehnya, alas hak dari tanah itu awalnya disebutkan berasal dari Raja Pota Daeng Malewa, bukan dari Djudje. Hal ini ganjil lantaran kekuasaan Raja Pota berada di Manggarai Timur, tak sampai ke Bukit Toro Lemma Batu Kallo yang berada nun jauh di barat.
Upaya Gories dan Achyar mengurus sertifikat tanah berlanjut dengan menemui Bupati Manggarai Barat Agustinus Christoforus Dula di rumah dinasnya pada Januari 2018. Agustinus kemudian memanggil Kepala Kantor Pertanahan Manggarai Barat I Gusti Made Anom.
Dalam pertemuan itu, Gories dan Agustinus menanyakan status tanah. Agustinus tidak meyakini tanah yang dimaksud adalah milik pemerintah. Ia bahkan membuat surat pernyataan di atas meterai Rp 6.000 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak berminat lagi menguasai tanah seluas 30 hektare di Toro Lemma Batu Kallo.
Achyar membawa surat pernyataan Agustinus ke Kantor Pertanahan. Ia kembali memohon penerbitan sertifikat tanah lagi di lokasi yang sama seluas 5 hektare. Kali ini, Achyar menggunakan alas hak Adam Djudje di tanah tersebut. Ia mencantumkan pemohon sertifikat bernama David Andre Pratama. David disebut sebagai anak angkat Gories Mere. Namun Gories membantah informasi ini. “Saya tidak pernah mengangkat anak,” ujarnya.
Meski masih dalam proses permohonan sertifikat, David membangun Vila dan Kafe Promised Land di Bukit Torro Lemma Batu Kallo. Adapun Adam Djudje membangun gapura dan pagar kawat di lahan seluas 30 hektare itu. Gabriel Mahal bahkan disebut memasang plang bertulisan “Tanah di karangan seluas ± 30 Ha milik H. ADAM DJUDJE di bawah pengawasan Pengacara/Advokat GABRIEL MAHAL dan MUHAMMAD ACHYAR”.
Gories Mere mengaku menemui Bupati Manggarai Barat Agustinus Dula, I Gusti Made Anom, dan para pihak lain pada November 2017. Ia mengaku bermaksud mengklarifikasi status tanah. Saat itu, menurut dia, Anom menunjukkan dua peta yang berbeda di lokasi yang sama.
Peta pertama lahan Toro Lemma menggambarkan enam kaveling atas nama orang lain di atas lahan yang diklaim milik Djudje. Enam orang yang diduga memiliki sertifikat di atas lahan tersebut bersama makelar lain menjadi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang sejak Januari lalu.
Peta kedua menunjukkan lahan itu sudah berstatus milik pemerintah daerah. Gories mendapat informasi bahwa tanah yang dihibahkan oleh Fungsionaris Adat Nggorang bukan berada di Toro Lemma, melainkan di Keranga. Gories menganggap dua wilayah ini berbeda. Toro Lemma adalah wilayah perbukitannya. Adapun Keranga adalah pesisir di depan Toro Lemma.
Anak Adam Djudje, Zulkarnaen Djudje, mengatakan Keranga dan Toro Lemma merupakan dua wilayah berbeda. Harun Fransiskus, pria yang mengklaim menjadi saksi saat Fungsionaris Adat Nggorang menunjuk lokasi tanah hibah, meyakini kawasan Keranga berbeda dengan Toro Lemma.
Zulkarnaen dan Harun menyampaikan keyakinannya ini saat bersaksi di sidang praperadilan penetapan tersangka Bupati Manggarai Barat Agustinus Dula. Kejaksaan Tinggi NTT kemudian menangkap Harun dan Zulkarnaen pada 11 Februari lalu atas dugaan menyampaikan kesaksian palsu.
Jaksa menyatakan Keranga dan Toro Lemma merujuk pada tempat yang sama. Kuasa hukum Agustinus, Antonius Ali, ikut ditahan pada Kamis, 18 Februari lalu. Ia dianggap sebagai salah satu aktor intelektual dalam kesaksian palsu.
Bekas Kepala Kantor Pertanahan Manggarai Barat, I Gusti Made Anom, enggan menjelaskan detail pertemuannya dengan Agustinus dan Gories soal tanah di Torro Lemma. Ia juga tak menjawab soal sejarah hibah tanah Toro Lemma. “Persoalan ini sedang dalam proses hukum,” ucap Made Anom.
Pengacara Bupati Manggarai Barat Agustinus Dula, Frans Tulung, enggan berkomentar. Ia beralasan baru beberapa hari ditunjuk sebagai kuasa hukum. “Saya belum mempelajari berkas kasusnya,” ujar Frans, pertengahan Februari lalu.
Kuasa hukum Muhammad Achyar, Hendrik Jehaman, meyakini kliennya tak menerima uang Rp 500 juta dari David Andre Pratama, seperti yang dituduhkan penyidik. Ia merasa Achyar tak bersalah. “Uang itu juga sudah dipulangin. Kenapa Achyar yang diminta bertanggung jawab?” tutur Hendrik.
David tak mengangkat telepon saat dihubungi. Ia juga tak merespons pesan yang dikirim lewat WhatsApp. Selain membantah David sebagai anak angkat, Gories mengaku tak mengetahui bahwa David memohon sertifikat dan mendirikan vila di atas Bukit Torro Lemma. “Saya tidak tahu soal pembangunan kafe dan vila itu,” ujarnya.
LINDA TRIANITA, AKHYAR M. NUR (LABUAN BAJO), YOHANES SEO (KUPANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo