Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengelolaan sampah yang mengandalkan tempat pemrosesan akhir tidak akan mampu mengatasi masalah sampah.
Tempat pemrosesan akhir sampah di Indonesia masih dominan berjenis terbuka atau open dumping, padahal undang-undang mengamanatkan TPA open dumping harus ditutup selambat-lambatnya 2013.
Pendekatan pengolahan sampah sejak dari yang menghasilkan sampah dapat mengurangi beban TPA hingga 70 persen.
BADIAT berhenti mengarit rumput untuk pakan kambing yang ia ternakkan di rumahnya di Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Tangan lelaki tua itu menunjuk ke arah hamparan lembah di balik bukit di depannya saat ditanyai tentang lokasi bekas tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah Leuwigajah. “Di belakang (bukit) ini tempat longsor sampah,” kata Badiat kepada Tempo, Ahad, 14 Februari lalu.
“Longsor sampah” yang dimaksudkan Badiat adalah insiden runtuhnya gunung sampah setinggi 60 meter dan sepanjang 200 meter pada Senin, 21 Februari 2005, yang menewaskan 157 penduduk. Pada hari itu, hujan lebat mengguyur. Tiba-tiba, sekitar pukul 02.00 dinihari, tumpukan sampah tersebut longsor disertai ledakan, menimbun dua kampung tetangga Cireundeu, Pojok dan Cilimus, hingga terhapus dari peta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena tragedi itu, TPA Leuwigajah, yang menjadi tempat pembuangan sampah dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi, ditutup hingga kini. Hanya tersisa sebuah bangunan kecil berlantai dua yang rusak tak terawat. Bangunan yang dulu merupakan kantor pengelola sekaligus pos jaga itu seperti menjadi monumen atas contoh buruk pengelolaan sampah. Tanggal kejadian longsor sampah pun diabadikan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional yang diperingati setiap tahun.
TPA Leuwigajah seluas 10 hektare yang dibangun pada 1982-1983 itu berjenis terbuka atau open dumping. TPA jenis ini merupakan yang paling primitif. Tidak ada pemrosesan sampah. Sampah hanya ditimbun. Air lindi dari sampah juga tak diolah sehingga merembes ke mana-mana. Gas metana hasil reaksi biokimia pun tidak disalurkan sehingga terperangkap di dalam tumpukan sampah, yang sewaktu-waktu bisa meledak dan terbakar. Gunung sampah yang tidak dipadatkan itu juga rentan longsor.
Lantaran keburukan itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mewajibkan pemerintah kota/kabupaten menutup semua TPA open dumping paling lambat pada 2013. Namun, sewindu setelah tenggat itu berlalu, masih ada TPA open dumping yang beroperasi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, dari 123 TPA di seluruh Indonesia yang tercatat pada 2020, sebanyak 33 berjenis open dumping, 32 uruk terkontrol (controlled landfill), 28 uruk saniter (sanitary landfill), dan sisanya tidak memiliki data.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat Prima Mayaningtias mengatakan tidak mudah menentukan lahan TPA uruk saniter. Terdapat sejumlah persyaratan teknis yang harus dipenuhi, dari soal kemiringan lahan hingga yang terakhir sesuai dengan peruntukan ruang dalam rencana tata ruang dan wilayah. “Proses menentukan lahan sebagai tempat pengolahan dan pemrosesan akhir sampah itu enggak sebentar. Prosesnya panjang,” ucap Prima saat dihubungi, Senin, 15 Februari lalu.
Selain itu, Prima menambahkan, umur tempat pengolahan sampah metode uruk saniter terbatas, maksimal 15 tahun. Dia mencontohkan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Regional Sarimukti di Desa Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, yang menggantikan TPA Leuwigajah. Masa pakai TPA seluas 25 hektare di lahan Perum Perhutani itu berakhir pada 2018. Prima mengaku sudah mengantongi perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan sampai 2025. “Perluasan lahan tidak bisa lagi karena harus membabat hutan,” ujarnya mengenai TPST yang tiap hari menerima 1.957 ton sampah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Perkumpulan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan David Sutasurya mengungkapkan, pemerintah daerah tidak menutup TPA open dumping karena sampah yang masuk ke sana sudah tercampur-baur sehingga pengelolaan dengan metode uruk saniter menjadi terlalu mahal. “Di antaranya untuk mengolah air lindi,” kata David melalui pesan WhatsApp, Kamis, 18 Februari lalu. “Inilah yang menyebabkan banyak TPA open dumping tak bisa diubah. Bahkan TPA sanitary landfill pun akhirnya menjadi open dumping.”
Menurut David, yang memprihatinkan, amanat Undang-Undang Pengelolaan Sampah itu tidak diikuti penegakan hukum yang konsisten. “Sampai saat ini belum ada pimpinan daerah yang dikenai sanksi,” ucapnya.
Alasan yang lebih mendasar, David menambahkan, adalah pemerintah pusat tidak membantu pemerintah daerah lewat pembinaan, regulasi nasional, dan dukungan pembiayaan yang cukup. Dia mengatakan pemerintah daerah membutuhkan berbagai aturan turunan dan bantuan agar mampu mengelola sampah secara terpilah dengan tingkat daur ulang tinggi.
Pendiri dan Chief Executive Officer Waste4Change—perusahaan yang menyediakan pengelolaan sampah secara bertanggung jawab—Mohamad Bijaksana Junerosano sependapat tentang tiadanya pembinaan bagi pemerintah daerah. “Dalam mengelola TPA, pemerintah daerah dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan dan penindakan,” tutur alumnus Program Studi Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung yang akrab dipanggil Sano itu. “Pengelolaan TPA menjadi sanitary landfill tidak berhasil karena aparatur daerah tak memiliki kapasitas yang mumpuni,” ujarnya.
Sano menunjukkan bukti lambannya pemerintah dalam memberikan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) penutupan TPA open dumping. Pemerintah mengatur penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan dalam penanganan sampah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2013. “Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 mengamanatkan TPA open dumping ditutup paling lambat 2013. Juklak dan juknis-nya baru ada pada 2013,” kata Sano.
Gunungan sampah di lokasi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Gili Trawangan, 15 Februari 2021./Abdul Latief Apriaman
Tidak adanya pembinaan pula yang membuat tempat pengolahan sampah terpadu yang mampu mengolah 50 meter kubik sampah per hari di Desa Gili Indah, Pemenang, Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat, mangkrak. Pembangunan TPST itu menelan biaya Rp 14,318 miliar. TPST seluas 2.500 meter persegi yang dibangun mulai 2018 dan rampung setahun kemudian itu diserahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Utara pada 5 Januari 2020.
Cahyo Kurniawan, pegiat Front Masyarakat Peduli Lingkungan Gili Trawangan, mengatakan TPST itu pernah dioperasikan pada awal 2020. Namun kinerjanya tidak optimal. Volume sampah yang masuk dan kemampuan memilah TPST tidak sebanding. “Satu cidomo (delman) berkapasitas 250 kilogram saja memilahnya sangat lama sehingga terjadi penumpukan dan antrean pengangkut sampah,” kata Cahyo, Senin, 15 Februari lalu.
Menurut dia, TPST itu tidak optimal karena salah desain. “Panjang konveyor cuma 20 meter, tak sesuai dengan kondisi persampahan yang ada,” tutur Cahyo, yang juga menyebutkan produksi sampah Gili Trawangan mencapai 13-20 ton per hari, tergantung musim.
Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Nusa Tenggara Barat Ika Sri Rejeki menampik adanya kesalahan rancangan TPST Gili Trawangan. Menurut dia, desain telah sesuai dengan permintaan Pemerintah Kabupaten Lombok Utara. “Itu bukan alasan untuk tidak mengoperasikan TPST. Sekarang tergantung pemerintah daerah. Banyak pemda yang meminta tapi tidak bisa mengelola karena tak ada anggaran,” ujar Ika saat dihubungi, Senin, 15 Februari lalu. “Sebenarnya bisa dikelola dengan pola retribusi.”
Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Perumahan, dan Kawasan Permukiman Kabupaten Lombok Utara M. Zaldy Rahardian menyalahkan pandemi Covid-19 atas mangkraknya TPST tersebut. Menurut dia, pada awal 2020, pihaknya sempat meninjau TPST untuk menyusun konsep kebutuhan personel dan peralatan. “Maret muncul Covid, langsung sepi, anggaran tak ada, untuk ke Gili juga tidak bisa,” ucapnya. Pelatihan petugas baru dilakukan pada Desember 2020-Januari 2021. Pengoperasian TPST, Zaldy menjelaskan, membutuhkan 22 orang, termasuk dari kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat.
Tempat pengolahan sampah yang mangkrak tidak hanya ada di Gili Trawangan. Pembangunan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Lulut Nambo di Desa Lulut, Kecamatan Kelapanunggal; dan Desa Nambo, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, juga terhenti karena PT Jabar Bersih Lestari yang memenangi tender tidak bisa melanjutkan pembangunan lantaran terganjal masalah keuangan. “Seharusnya beroperasi pada 2020, ternyata dia tidak perform,” kata Prima Mayaningtias.
Menurut Prima, persoalan ini diselesaikan dengan merevisi kontrak. Selain itu, PT Jasa Sarana—badan usaha milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menjadi pemilik saham PT Jabar Bersih Lestari—diminta mengambil alih semua sahamnya sehingga bisa mencari mitra. Prima mengatakan cara ini lebih cepat ketimbang mengulang tender dari nol. Jika semua lancar, pembangunan TPPAS Lulut Nambo ditargetkan selesai pada tahun ini. “Paling tidak Desember 2021 kelihatan,” tuturnya.
Bupati Bogor Ade Yasin mengaku tidak mengetahui penyebab mangkraknya proyek yang menyedot dana US$ 46 juta itu. “Kami berharap segera bisa dioperasikan karena sampah di wilayah kami sudah crowded,” ujar Ade di pendopo kabupaten, Senin, 15 Februari lalu.
Menurut dia, pengelolaan sampah per hari yang mencapai 2.800 ton tidak bisa terus dibebankan ke TPA Galuga saja. “Yang buang ke Galuga bukan kami saja, Kota Bogor juga, sehingga TPPAS Lulut Nambo itu harapan kami,” ucap Ade.
Pengelolaan sampah yang mengandalkan TPA, menurut Sano, sudah harus ditinggalkan karena berbiaya tinggi. Riset Waste4Change pada 2019 menemukan Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, mengeluarkan biaya operasional Rp 422.145 per ton sampah atau Rp 71,97 miliar untuk mengolah 170.487 ton sampah setahun. Metropolitan Surabaya merogoh kocek Rp 779.438 per ton sampah atau Rp 639,64 miliar untuk mengelola 820.649 ton sampah setahun. Adapun dana persampahan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Balikpapan Rp 68,88 miliar, sementara Kota Surabaya Rp 370,34 miliar.
Riset Waste4Change juga menemukan 64 persen pemerintah kabupaten/kota yang mengisi survei membiayai pengelolaan sampah dengan APBD dan retribusi sampah. Namun pengumpulan retribusi masih konvensional sehingga hanya terkumpul 30 persen dari potensi. Sano berpendapat, penghasil sampah wajib membayar retribusi sesuai dengan volume sampahnya. Ia melakukan simulasi, masyarakat berpenghasilan rendah membayar Rp 500 per kantong sampah, sementara masyarakat ekonomi atas Rp 3.000 per kantong. Menurut kajian United Nations Environment Programme dan International Solid Waste Association 2015, Sano menambahkan, biaya pengelolaan sampah di Indonesia Rp 750-1.750 per kilogram.
Sano menyatakan metode pengelolaan sampah mesti berubah, bukan lagi kumpul-angkut-buang ke TPA, melainkan dengan pendekatan piramida terbalik, yakni mengurangi sampah di sumbernya. Sano mencontohkan, lebih dari 50 persen sampah rumah tangga adalah sampah organik yang bisa dibuat menjadi kompos dan hingga 20 persen lainnya berupa sampah anorganik yang dapat didaur ulang. “Jadi hanya 30 persen yang dikirim ke TPA,” tutur Sano. Pemerintah, Sano menambahkan, bisa memulai dengan menegakkan kewajiban memilah sampah dan bergabung dengan bank sampah bagi semua orang.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan sektor pengolahan sampah berkontribusi dalam perekonomian melalui ekonomi sirkular dan sampah sebagai sumber energi. Dalam konferensi pers menyambut Hari Peduli Sampah Nasional 2021 yang digelar secara daring pada Kamis, 18 Februari lalu, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun Rosa Vivien Ratnawati mengatakan sektor tersebut akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. “Sampah sebagai bahan baku ekonomi menjadi babak baru pengelolaan sampah di Indonesia. Kita tinggalkan paradigma sampah itu hanya kumpul-angkut-buang,” kata Rosa.
DODY HIDAYAT, AHMAD FIKRI (BANDUNG), ABDUL LATIEF APRIAMAN (GILI TRAWANGAN), M.A MURTADHO (CIBINONG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo