Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kaum yang Terkatung-katung

Nasib kaum muslim Rohingya terus terkatung-katung. Mereka ingin pulang, tapi Myanmar masih berbahaya.

26 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Imigran etnis Rohingya berada di tempat relokasi Gedung Minaraya,Padang Tiji, Aceh,1 Januari 2023/ANTARA/Nova Wahyudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Banyak orang Rohingya yang mengarungi laut mencari tempat yang lebih aman.

  • Mereka ingin pulang, tapi Myanmar masih berbahaya.

  • Indonesia sebagai Ketua ASEAN diharapkan dapat membuat kemajuan.

BELAKANGAN ini, banyak muslim Rohingya berjuang menyeberangi lautan untuk mencari selamat di negara lain. Mereka beberapa kali ditemukan terdampar di Aceh. Yang terakhir pada awal Januari lalu, 184 orang Rohingya terdampar di Pantai Kuala Gigieng, Lamnga, Kabupaten Aceh Besar. Kementerian Luar Negeri menyatakan sudah sembilan kali kapal yang mengangkut imigran Rohingya mendarat di Aceh selama 2020-2022. Total warga Rohingya yang sampai dengan selamat sebanyak 1.155 orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara lain, seperti India. Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) menyatakan lebih dari 3.500 orang Rohingya telah mengarungi laut dengan 39 kapal pada 2022. Mereka terutama datang dari Myanmar dan Bangladesh. "Ini merupakan peningkatan 360 persen dari tahun sebelumnya, ketika sekitar 700 orang melakukan perjalanan serupa," kata Shabia Mantoo, juru bicara UNHCR, pada pertengahan Januari lalu. Badan PBB itu juga mencatat setidaknya 348 orang meninggal atau hilang di laut pada 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam dua bulan terakhir pada 2022, UNHCR mencatat empat kapal membawa lebih dari 450 warga Rohingya tiba di Aceh. Satu kapal yang membawa lebih dari 100 orang Rohingya mendarat di Sri Lanka. Kapal lain diperkirakan tenggelam bersama sekitar 180 orang di dalamnya. Beberapa kapal lain diduga masih mengarungi laut.

Debbie Stothard, pendiri dan koordinator Alternative ASEAN Network on Burma (Altsean-Burma), organisasi non-pemerintah untuk hak asasi manusia dan demokrasi di ASEAN, khususnya Myanmar, menyebut 2022 sebagai salah satu tahun paling berbahaya bagi orang Rohingya, baik yang berada di dalam Myanmar maupun yang menjadi pengungsi.

Nasib kaum Rohingya memburuk sejak kelompok tentara pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengkudeta pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021. "Bagi banyak orang, kudeta ini masih berlangsung, belum selesai, karena junta militer belum dapat mengendalikan sepenuhnya negeri itu," ucap Stothard pada Selasa, 14 Februari lalu.

Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar, kelompok ahli independen pendukung rakyat Myanmar, melaporkan pada 5 September 2022 bahwa Tatmadaw, militer Myanmar, hanya mampu menguasai 17 persen wilayah negeri itu. Sisanya dikuasai berbagai kelompok perlawanan lokal dan Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG), pemerintahan bayangan yang dibentuk bekas anggota parlemen dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Dewan tersebut beranggotakan antara lain Marzuki Darusman, mantan Ketua Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar; dan Yanghee Lee, bekas Pelapor Khusus PBB tentang Situasi Hak Asasi Manusia Myanmar.

Stothard menuturkan, banyak orang yang peduli terhadap Rohingya tak menyadari bahwa kondisi warga Rohingya makin buruk di Myanmar. "Bila Rohingya mencoba pergi dari satu daerah ke daerah lain di negeri itu, junta militer akan menangkap mereka hanya karena mereka berpindah," ujarnya. Warga Rohingya kadang terpaksa berpindah tempat karena daerah menjadi medan perang antara Tatmadaw dan kelompok bersenjata lokal.

Personel Polri mengawal imigran etnis Rohingya yang terdampar di pantai di kawasan Gampong Baro, Baitussalam, Aceh Besar, Aceh, 8 Januari 2023/ANTARA/Khalis Surry

Myanmar sebenarnya sudah lama bergolak. Kelompok-kelompok bersenjata muncul di berbagai daerah, seperti Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA) dan Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA). Pemerintah Myanmar dulu pernah mencoba mengupayakan perdamaian dengan kelompok-kelompok itu dengan menyerukan gencatan senjata nasional. Namun, setelah terjadi kudeta pada 2021, pasukan paramiliter itu kembali bangkit dan melawan Tatmadaw.

"Sekarang agak susah menyalahkan Tatmadaw saja (atas kekerasan yang terjadi) karena paramiliter berperan juga dalam konflik tersebut," kata Yuyun Wahyuningrum, Perwakilan Indonesia untuk Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia.

Rakyat Myanmar, termasuk Rohingya, terjebak di tengah konflik-konflik bersenjata tersebut. "Hidup mereka dalam ketakutan," tutur Yuyun. Orang Rohingya yang berada di Bangladesh juga khawatir ketika mengetahui situasi makin berbahaya di negerinya. Hal inilah yang antara lain mendorong warga Rohingya naik kapal dan berlayar untuk menemukan tempat yang lebih aman dan masa depan lebih baik bagi mereka.

Menurut Stothard, orang Rohingya sangat ingin kembali ke kampung halaman mereka. Saat mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh, dia bertemu dengan para perempuan Rohingya. Mereka, dia mengungkapkan, mengaku tidak ingin meninggalkan daerah perbatasan dengan Myanmar ketika pemerintah Bangladesh berencana memindahkan mereka ke Pulau Bhashan Char di Teluk Bengal, yang kondisinya diklaim pemerintah lebih baik. "Tidak. Kami ingin membaui negeri kami. Kami ingin melihat negeri kami di sana, di sisi lain perbatasan," ujar mereka seperti ditirukan Stothard.

Stothard berharap Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada tahun ini dapat membuat kemajuan dalam penyelesaian krisis Myanmar. "Ada banyak harapan kepada Indonesia sebagai pendiri ASEAN dan negeri yang telah melewati reformasi," katanya. "Dengan segala hormat, militer Myanmar dulu juga mengikuti Indonesia dengan konstitusi yang memberi kekuasaan besar kepada militer."

Saat Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan para pemimpin ASEAN pada April 2021, persamuhan itu melahirkan "Lima Poin Konsensus" mengenai Myanmar. Konsensus itu meliputi penghentian kekerasan segera, dialog konstruktif di antara semua pihak, pemberian bantuan kemanusiaan, serta utusan khusus Ketua ASEAN memfasilitasi dialog dan bertemu dengan pemangku kepentingan di Myanmar. 

Namun, hampir dua tahun berjalan, tak ada kemajuan berarti dari konsensus tersebut. ASEAN, ucap Stothard, sudah mengatakan kepada komunitas internasional bahwa mereka akan memimpin penyelesaian krisis Myanmar dan sentralitas ASEAN menjadi sangat penting. "Kita melihat bahwa PBB, Uni Eropa, Amerika Serikat selalu mengatakan 'kami mendukung lima konsensus, kami mengizinkan ASEAN memimpin.' Tapi ASEAN hanya memimpin dalam kata-kata. Tidak dalam tindakan. Ini mengejutkan," tuturnya.

Stothard mencontohkan, karena junta militer Myanmar tidak mematuhi konsensus ASEAN untuk menghentikan kekerasan di sana, para pemimpin ASEAN memutuskan Myanmar tidak dapat mengirimkan wakil politik ke Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN. "Tapi ada ratusan pertemuan tingkat menteri dan lainnya, dan junta menghadiri semua pertemuan itu. Hal itu tidak logis. Begitu mudah bagi junta untuk bermain-main dengan ASEAN karena ASEAN tidak konsisten."

Lima konsensus ASEAN memang tidak menyebutkan ihwal Rohingya, tapi dengan menyelesaikan masalah Myanmar akan membuat negeri itu lebih aman bagi Rohingya untuk kembali. "Orang Rohingya ingin pulang ke kampung halamannya. Kami tidak ingin menjadi beban siapa pun, termasuk beban negara-negara tetangga Myanmar," kata Yasmin Ullah, aktivis Rohingya dan Ketua Dewan Altsean-Burma.

Stothard mengatakan upaya menyelamatkan kaum Rohingya harus terus dilakukan. "Masa depan mereka adalah juga masa depan bagi kawasan kita. Jika kita tidak membantu memecahkannya, dan jika ASEAN tidak menjadi bagian dari solusi, ia akan menjadi bagian dari masalah," ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus