Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para ahli hukum mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Pengadilan HAM menghapus kejahatan oleh WNI.
Dengan begitu, kejahatan HAM di luar negeri bisa diadili di pengadilan HAM Indonesia.
Memakai prinsip yurisdiksi universal yang diakui konstitusi Indonesia dan KUHP.
DALAM empat bulan terakhir, ada perkembangan menarik ketika Mahkamah Konstitusi Indonesia menerima petisi dengan mengizinkan para pemohon mengajukan permohonan peradilan kasus kejahatan hak asasi manusia di Myanmar. Hakim Mahkamah Konstitusi bersedia menerima permohonan untuk mengadili dan menghukum kejahatan sangat serius tertentu tanpa memandang lokasi kejahatan itu terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petisi tersebut meminta peradilan untuk jenis kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan penyiksaan yang begitu berat sehingga dianggap menimpa seluruh umat manusia dan semua negara, termasuk Indonesia. Peradilan lintas yurisdiksi tersebut bertolak dari sikap dasar bahwa setiap negara memiliki kewajiban universal mengambil tindakan terhadap kejahatan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejahatan dengan impunitas semacam itu terjadi di Myanmar, “halaman belakang” Indonesia, hampir setiap hari. Para pembuat petisi meminta pengadilan mengizinkan penanganan secara hukum di pengadilan Indonesia berdasarkan prinsip yurisdiksi universal. Sebab, di Indonesia, warga negara bisa mengajukan permohonan uji materi terhadap satu undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi ke Mahkamah Konstitusi.
Indonesia juga tempat yang tepat di mana kejahatan berat bisa diadili, yakni gagasan tentang pengadilan hak asasi manusia. Namun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyatakan hanya warga negara Indonesia yang bisa diadili di pengadilan Indonesia. Padahal konstitusi Indonesia berulang kali merujuk konsep dan nilai universalitas hak asasi manusia. Konstitusi Indonesia menyatakan dengan jelas dalam pasal 28I ayat 4 bahwa pemerintah bertanggung jawab langsung melindungi hak asasi manusia. Selain itu, konstitusi Indonesia menekankan bahwa hak-hak tersebut tidak bisa “dikurangi” dalam keadaan apa pun.
Karena itu, para pemohon uji materi mendalilkan undang-undang tersebut melanggar konstitusi jika membatasi wilayah hukum peradilan hanya untuk warga negara Indonesia. Maka mereka berpendapat bahwa empat kata dalam Pasal 5 Undang-Undang Pengadilan HAM yang membatasi yurisdiksi pengadilan kejahatan “oleh warga negara Indonesia” harus dihapus agar sesuai dengan konstitusi.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru Indonesia memungkinkan pemakaian peradilan kejahatan di negara lain memakai prinsip yurisdiksi universal. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dengan suara bulat mengesahkan KUHP baru itu pada 6 Desember 2022. Pasal 6, lebih jauh Pasal 529, 530, 598, dan 599, mengizinkan yurisdiksi universal untuk kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan penyiksaan, sebagai kejahatan yang harus dilawan oleh Indonesia.
Jika Mahkamah Konstitusi menyetujui permohonan uji materi, putusan itu akan mendapat banyak dukungan politik lintas partai. Indonesia akan dikenang atas perannya sebagai anggota masyarakat internasional yang terlibat dan bertanggung jawab serta dianggap sebagai negara yang berkomitmen kuat menegakkan supremasi hukum seperti termaktub dalam pembukaan dan pasal pertama konstitusinya. Jika Indonesia bisa mengadopsi permohonan ini, langkah itu juga akan memuluskan pencalonannya sebagai anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa 2024.
Beberapa orang mungkin berpendapat prinsip yurisdiksi universal bisa mengganggu hubungan Myanmar dengan Indonesia. Profesor Maximo Langer, ahli yurisdiksi universal dari University of California, Los Angeles, Amerika Serikat, bersaksi di Mahkamah Konstitusi pada Januari lalu menolak pendapat tersebut. Dia menunjukkan kepada hakim kepalsuan argumen yang sering diajukan para penentang prinsip yurisdiksi universal yang memakai dalil gangguan hubungan diplomatik.
Profesor Langer mengutip data bahwa jumlah pemakaian dalil yurisdiksi universal di pengadilan dunia meningkat secara signifikan dalam 20 tahun terakhir. Selain itu, yurisdiksi universal umumnya dilaksanakan dalam kasus-kasus yang secara historis telah memiliki konsensus internasional yang luas—seperti Nazi, Yugoslavia, dan Rwanda—dan relatif jarang diterapkan terhadap kepala negara yang mendapat kekebalan.
Saksi ahli kunci lain di Mahkamah Konstitusi, Doktor Cheah Wui Ling, associate professor of law di National University of Singapore, yang telah meneliti yurisdiksi universal dalam konteks ASEAN, bersaksi mengenai legitimasi dan pentingnya prinsip ini diterima secara luas oleh negara-negara ASEAN. Buktinya adalah pernyataan-pernyataan yang mendukung kesimpulan Doktor Cheah di Komite Hukum Majelis Umum PBB.
Dalam pengajuannya kepada Komite tahun lalu, perwakilan Indonesia menyatakan yurisdiksi universal adalah “alat penting untuk mengakhiri impunitas pelanggaran berat hukum humaniter internasional dan kejahatan internasional lain”. Dalam pernyataannya kepada Komite pada 2017, Indonesia berpendapat yurisdiksi universal berfungsi “melindungi hak-hak korban” dan “menjunjung tinggi keadilan”.
Doktor Cheah juga berargumen yurisdiksi universal tidak akan mengganggu hubungan antarnegara di ASEAN. Sebab, menurut hukum kebiasaan internasional, hal itu berlaku untuk kategori sempit kejahatan yang sangat serius. Selain itu, dia menekankan, anggota ASEAN telah mengakui bahwa hukum internasional mengatur pelaksanaan yurisdiksi universal dan mencegah penyalahgunaannya.
Sebagai catatan praktis, Doktor Cheah mengatakan kepada hakim Mahkamah Konstitusi bahwa kemampuan Indonesia melaksanakan yurisdiksi universal akan mencegah para pelaku kejahatan paling serius di dunia menggunakan negara ini sebagai tempat yang aman untuk menghindari hukum.
Lampu hijau persetujuan dari hakim Mahkamah Konstitusi Indonesia akan menjadi win-win for all. Putusan Mahkamah Konstitusi akan berkontribusi pada peran Indonesia dalam pengembangan hukum internasional.
Hakim Mahkamah Konstitusi juga bisa melihat Argentina, Jerman, dan Turki yang menerima permohonan peradilan terhadap junta Myanmar. Sistem hukum tiga negara itu memungkinkan pengadilan yurisdiksi universal. Dengan kesediaan tiga negara itu, kejahatan di Myanmar menjadi mungkin bisa diadili.
Jumlah kasus terhadap kemanusiaan di Myanmar diyakini meningkat hampir setiap hari. Menurut perkiraan paling konservatif, 3.000 orang telah dibunuh oleh junta sejak kudeta pada Februari 2021 dan sekitar 18 ribu lainnya telah ditangkap atau dihilangkan secara paksa. Serangan udara yang tidak proporsional dan membabi buta telah menjadi kejadian sehari-hari di negara ini, menewaskan ribuan orang dan menggusur lebih dari 1,5 juta orang, menurut PBB. Angka-angka PBB juga membuktikan penghancuran 39 ribu properti sipil, yang sengaja dibakar atau dihancurkan oleh pasukan junta sejak kudeta terjadi. Sekitar 17,6 juta orang, sepertiga dari penduduk negara itu, menurut PBB, membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Jika para hakim Mahkamah Konstitusi mengizinkan peradilan yurisdiksi universal, mereka akan langsung menjadi pahlawan bagi jutaan orang di Myanmar yang menuntut keadilan. Mereka juga akan dipuji secara luas karena berdiri di sisi kanan sejarah, bersama jutaan orang yang memiliki hati nurani di Indonesia, Asia Tenggara, dan seluruh dunia.
Yang paling penting, putusan Mahkamah Konstitusi itu akan mengirim sinyal kuat kepada rakyat Myanmar, termasuk junta, bahwa harus ada dan akan ada pertanggungjawaban atas kejahatan berat yang mereka lakukan. Putusan Mahkamah Konstitusi, sekali lagi, akan menjadi langkah bersejarah, terpuji, dapat dibenarkan, dan secara politis berisiko rendah dalam perjalanan panjang menuju keadilan bagi Myanmar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo