Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sudah Pandemi Tertimpa Represi

Sejumlah negara membuat berbagai kebijakan untuk mengendalikan wabah Covid-19. Berdampak pada kebebasan berekspresi.

16 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga kota Shangai beraktivitas ditengah pandemi corona, dengan latar belakang poster pemerintha Cina dalam menangai Covid-19, di Shangai, Cina, 23 MAret 2020. REUTERS/Aly Song

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Komisi HAM PBB khawatir pandemi menjadi alasan bagi pembatasan kebebasan berekspresi.

  • Rusia mengamendemen hukum pidananya sehingga bisa memenjarakan penyebar informasi palsu.

  • India kembali mengisolasi Kashmir dan mematikan jaringan Internet-nya.

ELANEL Egot Ordidor, pekerja asal Filipina, baru tiga tahun menjadi pengasuh di Yunlin County, Taiwan. Di sela tugasnya hariannya, dia mengikuti perkembangan situasi negaranya. Dalam video yang dibuat pertengahan April lalu, ia seolah-olah bertanya kepada Presiden Rodrigo Duterte apakah tidak pernah memikirkan bahwa penutupan Luzon dan wilayah lainnya untuk mencegah penyebaran wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) akan membuat orang Filipina mati kelaparan sebelum terbunuh oleh virus corona.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duterte menutup Luzon pada 16 Maret lalu. Video Ordidor yang sempat viral di media sosial itu mendapat perhatian atase tenaga kerja Filipina di Taichung, Fidel Macauyag. Ia menilai Ordidor mendiskreditkan Duterte dan bisa dijerat pasal pencemaran nama dalam Undang-Undang Nomor 10175. Dalam sebuah surat bertanggal 25 April 2020, ia meminta Ordidor dideportasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merasa tak ada pelanggaran oleh Ordidor, pemerintah Taiwan menolak permintaan deportasi itu. Organisasi buruh migran internasional menyebut langkah Macauyag sebagai intimidasi. “Berhentilah menggunakan migran yang kritis sebagai sasaran tinju hanya untuk mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan rezim Duterte dalam periode krisis ini,” kata Ketua Migrante International Joanna Concepcion.

Kepala pemerintahan di berbagai belahan dunia berusaha mengendalikan penyebaran Covid-19 dengan menerapkan pembatasan gerak dan menganjurkan jaga jarak fisik yang aman kepada masyarakat. Ada juga yang membuat atau memperkuat undang-undang untuk melawan informasi palsu. Namun Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Michelle Bachelet menilai langkah-langkah pengendalian wabah itu juga berpotensi disalahgunakan. “Saya juga khawatir terhadap langkah-langkah yang diambil untuk memaksakan pembatasan kebebasan media dan kebebasan berekspresi,” ujar perempuan politikus dari Cile itu.

Allie Funk, analis lembaga pemeringkat kebebasan dan demokrasi Freedom House, memberi sinyal kekhawatiran yang lebih jelas mengenai bahaya dari upaya berbagai negara dalam mengatasi pandemi ini. “Pemerintah di seluruh dunia, apakah yang otoriter, seperti Cina dan Rusia, atau negara-negara yang berada di ujung untuk menjadi kurang bebas, misalnya Hungaria dan Filipina, mengeksploitasi krisis untuk memperluas kekuasaan mereka dan melemahkan hak asasi manusia,” tuturnya.

Berbagai tekanan oleh negara sebenarnya sudah muncul saat corona baru ditemukan di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, pada Desember 2019. Li Wenliang, dokter 34 tahun yang memperingatkan soal adanya virus ini, malah ditangkap polisi dan dipaksa menandatangani pernyataan yang mengecam peringatannya sendiri sebagai rumor tidak berdasar dan ilegal. Li kemudian meninggal pada 7 Februari lalu karena terinfeksi virus yang diperanginya.

Dengan dalih melacak penyebaran virus, Cina pun memperkenalkan sistem pengenalan wajah yang mengidentifikasi apakah orang-orang mengenakan masker. Sistem ini juga bisa menjadi pertimbangan untuk memutuskan apakah ia berisiko menulari dan diizinkan masuk ke mal, kereta bawah tanah, dan ruang publik lain. Praktik ini memperluas sistem pengawasan dan pelacakan pemerintah yang sebelum adanya wabah ini sudah sangat luas.

Sharon Hom, direktur eksekutif organisasi Hak Asasi Manusia di Cina, mengatakan akses ke informasi, pembatasan konten, dan penyebaran informasi tetap menjadi alat utama kontrol sosial di negara itu. Sejak wabah bermula, organisasinya telah melacak sejumlah kasus orang-orang yang “menghilang” setelah mengunggah laporan kritis tentang tanggapan pihak berwenang yang tidak memadai di media sosial.

Pengacara hak asasi manusia Cina, Chen Qiushi, dibawa pergi pada 7 Februari lalu dan “dikarantina” selama 24 hari. Ia terkenal karena liputannya tentang protes di Hong Kong dan wabah corona. Jurnalis warga Fang Bin, yang juga pengusaha dari Wuhan, tidak terdengar kabarnya sejak menghilang pada Februari lalu. Li Zihua, mantan jurnalis CCTV7, dikabarkan menghilang pada 26 Februari lalu ketika sekelompok pria tak dikenal datang ke rumahnya dan membawanya pergi.

Sebuah laporan baru-baru ini dari kelompok riset siber yang berbasis di Toronto, Kanada, Citizen Lab, menemukan aplikasi pertukaran pesan Cina, WeChat, juga layanan streaming video YY, memblokir kombinasi kata kunci yang memuat kritik terhadap Presiden Xi Jinping dan kebijakan yang terkait dengan corona. Platform itu juga diwajibkan memberikan informasi kepada pemerintah Cina untuk memfasilitasi penindakan keras terhadap mereka yang punya pendapat berbeda atau melakukan gerakan sosial.

Cina membela diri dalam soal ketatnya pengawasan dan sikap keras terhadap warganya. “Setiap langkah yang kami ambil adalah menghindarkan orang dari terpapar virus dan menyelamatkan hidup orang sebaik mungkin.... Pencegahan dan kontrol menjadi prioritas utama di semua tingkat pemerintahan,” kata Zhou Jian, Duta Besar Republik Rakyat Cina untuk Qatar.

Sejumlah negara lain membuat regulasi baru sebagai bagian dari upaya memerangi wabah Covid-19. Niat awalnya mungkin mengendalikan penyebaran informasi palsu, tapi kenyataannya aturan itu kerap dijadikan pintu masuk untuk menekan aspirasi dan kritik dari warganya.

Parlemen Rusia, pada 31 Maret 2020, meloloskan amendemen terhadap Pasal 207 Undang-Undang Hukum Pidana. Di bawah undang-undang baru, mereka yang ditemukan dengan sengaja menyebarkan “informasi palsu” tentang masalah serius bagi keselamatan publik, seperti Covid-19, akan dihukum denda hingga 23 ribu euro dan penjara maksimal lima tahun. Badan hukum, seperti media, juga bisa didenda hingga 117 ribu euro jika menerbitkan apa yang oleh pihak berwenang dianggap sebagai informasi yang keliru tentang wabah tersebut.

Pada Maret lalu, Rusia juga memperkenalkan denda bagi orang-orang yang menyebarkan informasi yang salah atau menghina negara di media konvensional dan media sosial. Dalam aturan sebelumnya, pelanggaran terhadap aturan penerbitan berita palsu bisa dihukum dengan sanksi administratif atau denda dan pemblokiran situs web. Dalam ketentuan baru ini, pelakunya juga bisa dihukum penjara.

Galina Arapova, direktur dan pengacara media senior di Mass Media Defence Center, mengatakan penguatan regulasi ini akan berdampak buruk pada jurnalis yang menulis tentang pandemi. “Ini cara untuk mengendalikan media dan ruang Internet serta narasi dari respons pemerintah terhadap krisis,” ucapnya kepada International Press Institute.

“Secara efektif, jika pemerintah tidak menyukai apa yang ditulis jurnalis tertentu terkait dengan wabah—tentang tingkat kematian, pengujian, atau kurangnya peralatan pelindung—jika informasi tersebut terlalu kritis atau berasal dari sumber “tidak resmi”, itu dapat dipandang sebagai tindakan kriminal dan bisa dihukum,” ujar Arapova.

Thailand memiliki Pusat Anti-Berita Palsu yang diluncurkan pada November 2019 untuk memantau konten online yang diduga menyesatkan orang. Regulasi itulah yang kini dipakai untuk menyensor informasi “salah” mengenai Covid-19. Pada 24 Maret lalu, Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha memperingatkan soal kemungkinan penuntutan atas penyalahgunaan media sosial, yang memperdalam kekhawatiran bahwa pihak berwenang dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap individu yang mengkritik pemerintah dalam penanganan wabah corona.

Ancaman represi baru bertambah dengan dipakainya lagi Keputusan Darurat Administrasi Publik dalam Situasi Darurat 2005. Dalam keputusan itu, para pejabat diberi wewenang menyensor atau menyunting informasi yang mereka anggap salah atau menyimpang yang berpotensi menciptakan ketakutan publik atau kesalahpahaman. Ancaman hukum atas pelanggaran ini hingga dua tahun penjara.

Anggota Pengamanan Nasional Rusia, mengenakan masker selama perayaan Victory Day, di Kalningrad, Rusia, 16 April 2020. REUTERS/Vitaly Nevar

Adapun pemerintah India di bawah Perdana Menteri Narendra Modi menutup negaranya selama 21 hari sebagai langkah pencegahan pandemi sejak 24 Maret lalu. Saat itu, jumlah kasus Covid-19 di negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu sebanyak 536 dengan 10 pasien meninggal. Penutupan wilayah diperpanjang berkali-kali dan akan berakhir pada 17 Mei. Pada Selasa, 12 Mei lalu, tercatat ada 70.768 kasus dengan 2.294 pasien meninggal.

India juga banyak menangkap orang yang melanggar ketentuan karantina wilayah. Kepolisian Benggala Barat, misalnya, sampai pekan lalu telah menangkap lebih dari 40 ribu orang dan menyita 3.614 kendaraan dari berbagai daerah karena mereka menentang penutupan wilayah.

India juga kembali menutup Kashmir dan memblokir jaringan Internet di daerah yang mayoritas penduduknya muslim ini setelah ada kasus pertama Covid-19 di sana. Dengan penutupan ini dan penerapan aturan baru, masjid, yang biasanya penuh lima kali sehari untuk salat, menjadi kosong dan pasar pun tutup. Pada 4 Mei lalu, wilayah berpenduduk 12,5 juta ini hanya mencatat 701 kasus dan 8 kematian.

Meskipun langkah-langkah itu tampaknya berhasil menghentikan penyebaran virus secara eksponensial, biayanya sangat besar bagi Jammu dan Kashmir. Ketika orang-orang di seluruh dunia memindahkan kehidupan mereka secara online karena penutupan wilayah, hal itu tak mungkin dilakukan di sana karena Internet tetap terputus. Pemerintahan di New Delhi beralasan kebijakan ini bertujuan mencegah kelompok militan merencanakan serangan.

India memiliki reputasi terkenal dalam mematikan Internet. Tidak ada negara bagian yang aksesnya dibatasi lebih dari Jammu dan Kashmir, yang mengalami 55 kali pemadaman Internet pada 2019—termasuk yang terpanjang dalam sejarah, 213 hari, ketika Modi menutup daerah ini sejak Agustus tahun lalu.

Saad Hammadi, juru kampanye Asia Selatan Amnesty International, menyatakan pemerintah di banyak negara mencari pembenaran bahwa pandemi telah dieksploitasi oleh beberapa orang untuk menyebarkan informasi berbahaya dan itu berpotensi merusak upaya memerangi wabah yang vaksinnya belum ditemukan ini. Namun, pada saat yang sama, sejumlah pemerintah mengeksploitasi momen ini untuk menekan informasi yang relevan tapi membuat pemerintah tidak senang atau menggunakan situasi sekarang sebagai alasan membungkam suara-suara kritis.

ABDUL MANAN (RAPPLER, NEW YORK TIMES, TIME, VICE, SUNWEBHK.COM, VOA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus