Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Korporasi menyiapkan restrukturisasi pembayaran utang akibat lesunya bisnis di masa pandemi.
Keringanan kredit hingga fasilitas pinjaman baru hanya untuk menyambung napas perusahaan.
Bahaya baru mengintai: likuiditas bank mengkeret.
IKAN lagi di laut, lada garam sudah di sengkalan. Kadung berpikir langkahnya bakal menolong bisnis keluarganya yang sedang kusut, Kurnia Lesani Adnan malah menerima “surat cinta” dari lembaga pembiayaan.
Lesani, generasi kedua pemilik perusahaan otobus PT SAN Putra Sejahtera (SAN Group), adalah satu dari 3,8 juta debitor yang kepincut oleh program keringanan utang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 Tahun 2020. Berlaku pada 16 Maret lalu, kebijakan stimulus restrukturisasi kredit dan pembiayaan ini merupakan bagian dari langkah penyelamatan ekonomi nasional yang terpukul pandemi Covid-19.
Merasa usahanya terkena dampak langsung wabah karena armada SAN Group tak beroperasi sejak 24 April lalu, Lesani nekat mogok membayar cicilan leasing bus. Dia mengira keringanan itu turun otomatis. Walhasil, pemberi utang melayangkan surat peringatan kepada perusahaannya. “Surat itu dibarengi dengan status kolektabilitas utang perusahaan yang naik,” kata Lesani, Ahad, 10 Mei lalu.
Tak mau riwayat kredit perusahaannya cacat, Lesani buru-buru mengontak dua perusahaan sewa guna usaha. Di dua lembaga pembiayaan nonbank milik swasta tersebut, SAN Group punya tanggungan sebesar Rp 18 miliar. Dari dua pilihan, membayar pokok atau bunga pinjaman, Lesani memilih yang terakhir. “Semua pembiayaan swasta seperti itu. Ya sudah, jalani dulu sekuatnya,” tutur Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia tersebut.
Perlakuan berbeda Lesani peroleh dari PT Mandiri Tunas Finance (MTF), perusahaan pembiayaan anak usaha PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, yang mengantongi piutang kepada SAN Group sebesar Rp 14 miliar. Pada awal April lalu, Lesani mendapat surat dari MTF yang menawarkan penundaan pembayaran pokok dan bunga utang. Tak perlu waktu lama bagi pria kelahiran Bengkulu 43 tahun lalu tersebut untuk mengambil kesempatan ini. “Kalau BUMN, bisa langsung penundaan,” ucap Lesani.
Awalnya, oleh Presiden Joko Widodo, stimulus penundaan utang dibingkai buat usaha mikro, kecil, dan menengah. Tercakup dalam kelompok ini antara lain sopir ojek yang mengangsur sepeda motor hingga nelayan yang mencicil perahu. Pokoknya, rakyat kecil yang tersapu wabah.
Baru dalam POJK Nomor 11 Tahun 2020 penerima keringanan utang meluas dan lebih jelas, yakni semua lapis warga dan usaha. Yang berhak menerimanya adalah debitor yang mengalami kesulitan keuangan karena terkena dampak langsung ataupun tak langsung Covid-19. Mereka terutama pelaku usaha di sektor pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan.
Keringanan juga dapat diberikan kepada pengusaha di luar sektor bisnis tersebut asalkan bisa membuktikan telah menjadi korban pandemi, seperti adanya kesulitan keuangan. Selain itu, kredit yang macet adalah yang pertama kali dialami debitor, bukan pinjaman yang sedari dulu bobrok.
Program keringanan utang yang berlaku mulai 31 Maret 2020 hingga 31 Maret 2021 ini menjadi oasis bagi debitor konsumsi dan produktif untuk memperpanjang napas mereka. OJK mencatat, sampai 10 Mei lalu, perbankan sudah merestrukturisasi utang 3,88 juta debitor dengan total kredit Rp 336,97 triliun. Separuh dari jumlah debitor itu adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dengan nilai kredit Rp 167,1 triliun.
Adapun lembaga pembiayaan nonbank sudah meringankan pinjaman 1,32 juta debitor dengan nilai kredit Rp 43,18 triliun. Masih ada 743 ribu kontrak pembiayaan yang sedang diproses keringanannya. “Dengan restrukturisasi ini, kalau ada nasabah yang menunggak pokok atau bunga, dia tetap masuk kategori lancar,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam konferensi virtual Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada Senin, 11 Mei lalu.
Melihat sudah banyak debitor yang mendapat keringanan kredit, Wimboh makin yakin program ini baik buat nasabah dan pemberi utang. Nasabah mendapat keringanan pembayaran cicilan. Sedangkan kreditor, baik bank maupun lembaga pembiayaan, tidak perlu mencadangkan sejumlah dana bila ada kredit yang mulai macet. Dengan begitu, likuiditas lembaga keuangan tetap terjaga. “Jadi saya heran kalau disebut ada bank dan lembaga keuangan tidak ikut program ini,” kata Wimboh. “Semua ikut karena ini insentif bagi mereka.”
Direktur Utama PT Hotel Sahid Jaya International Tbk Haryadi B. Sukamdani salah satu yang bergerak cepat memanfaatkan kebijakan stimulus kredit tersebut. Sejak awal Maret lalu, Haryadi, yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, mendekati sejumlah bank untuk meminta keringanan.
Bersama jasa transportasi, perhotelan menjadi industri yang paling awal terpukul dampak pandemi. Situasi makin tak menguntungkan bagi Grup Sahid, yang selama ini merugi. Perseroan dan anak usaha banyak berutang kepada bank swasta dan bank pembangunan daerah serta sedikit kepada bank pemerintah. Hingga triwulan ketiga 2019, utang SHID—kode emiten Sahid— kepada perbankan mencapai Rp 474,49 miliar. Sebanyak Rp 58,73 miliar di antaranya jatuh tempo dalam setahun, atau setidaknya pada akhir September 2020.
Haryadi berniat menggunakan program keringanan restrukturisasi kredit di masa pandemi ini untuk mengulur-ulur cicilan utang perusahaan. Namun, menurut dia, sejumlah bank masih ragu memberikan keringanan di masa awal wabah. Keringanan baru diperoleh akhir Maret lalu, bertepatan dengan pemberlakuan POJK Nomor 11 Tahun 2020 . “Sudah dapat standstill 12 bulan dari beberapa bank,” kata Haryadi, Sabtu, 9 Mei lalu.
Pendek kata, Sahid mendapat penangguhan pembayaran pokok dan bunga bank yang akan dihitung ulang setelah periode keringanan berakhir. Haryadi merasa beruntung karena berutang kepada bank yang masuk kategori bank umum kelompok usaha (BUKU) 3 dan 4, yang punya pundi-pundi tebal. Lain cerita bila kreditornya berstatus BUKU 1 atau 2, apalagi lembaga pembiayaan yang kantongnya mulai tipis. “Cadangan likuiditas mereka enggak banyak,” ucap Haryadi. “Akhirnya jadi debat kusir saja kalau minta keringanan.”
Nasib sedikit mujur juga menghampiri PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Pada 30 April lalu, maskapai milik negara yang sudah ngos-ngosan itu mendapat pinjaman jangka pendek senilai US$ 50 juta—sekitar Rp 775 miliar—dan Rp 2 triliun dari sesama perusahaan pelat merah, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. BRI juga menyiapkan fasilitas bank garansi senilai US$ 200 juta kepada GIAA—kode emiten Garuda.
Di tengah gembosnya arus kas perusahaan, perpanjangan fasilitas kredit dari BRI itu menjadi penyambung napas perseroan. “Lender sudah tahu ini urusan memperpanjang napas,” tutur Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, Senin, 11 Mei lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo