Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA menari di dalam rumah, di kebun, di halaman, di dapur, di loteng, di ruang keluarga, di lorong, di kamar mandi, di ruang-ruang privat. Menyaksikan orang-orang itu menari di jagat virtual seperti sedang menyaksikan pergumulan mereka atas ruang-ruang baru. Tubuh para penari itu seperti sedang menarasikan satu semangat eksplorasi yang sama: menakar jarak intim antara tubuh dan ruang. Jarak tubuh dengan ruang bernama rumah (dan lingkungan sekitarnya itu) dikontemplasikan kembali karena rupanya selama ini rumah tak lebih sebagai ruang singgah belaka bagi tubuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi penari yang terbiasa bergerak di ruang panggung konvensional dan tak mampu (atau tak mau) sepenuhnya melepaskan keterikatan batin dengannya, maka tubuh panggungnya akan hadir semata sebagai “tamu” di ruang (panggung) rumah. Tidak mudah memang membedakan antara rumah sebagai tempat tinggal penari sehari-hari dan rumah sebagai ruang tontonan. Tarik-menarik, dan saling lepas, pada gilirannya memberikan kemungkinan tawaran estetika tersendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saksikanlah, misalnya, pada pertunjukan berjudul #Redzone karya Puri Senja (Jawa Timur), yang berjibaku dengan sekotak ruang kamar kosong, yang pada akhirnya dominasi ruang atas tubuh tak terhindarkan. Begitu pula pada pertunjukan Re Call oleh Wan Harun Ismail (Riau), yang menari di sepetak teras depan rumah yang masih berfungsi sebagai ruang pertunjukan konvensional dan terkesan pasif. Sama halnya dengan sejumlah pertunjukan lain, seperti Aji Aji karya Ardian Aji Sasongko (Jawa Tengah), Pada Sebuah Lorong yang Jauh karya Ainar Tri Asita (Sulawesi Tengah), She The Future (Human Creation to Facing the Fear) karya Otniel Tasman (Jawa Tengah), dan Tari Sigeh Punguten Semiyanak karya Ayu Permata Sari (Lampung).
Heteropia: Dapur oleh Shohifur Ridho’i dalam Distanca Parade, Streaming Online Dance Performance./Youtube Budaya Saya
Dalam pertunjukan Heteropia: Dapur oleh Shohifur Ridho’i (Yogyakarta) sejak awal terlihat ruang dapur yang sempit dengan berbagai peralatan dapur diposisikan sebagai penyaksi yang beku bagi tubuh penari. Ruang negosiasi seolah-olah sengaja tidak dibangun oleh gerakan-gerakan tubuh (yang berkostum santri) sehingga komunikasi simbolis terdistorsi. Ruang yang beku dan bahkan menyusut terlihat dalam pertunjukan Be’k (Jangan) karya Fadlan Auliananda (Aceh).Tubuh penari bergerak dalam ruang sempit ditambah efek pencahayaan yang dominan gelap. Ruang yang sempit sesungguhnya menjadi tantangan yang mengasyikkan bagi tubuh penari untuk kemudian melakukan penemuan bentuk-bentuk. Hal ini tampak dalam pertunjukan Tusuk Endha oleh Bathara Saverigadi Dewandoro (DKI Jakarta), Cross oleh I Nyoman Krisna Satya Utama (Bali), Mutasi karya Yogi Afria M. Yusuf (Sumatera Barat), Reverse karya Ayu Utaminingrum (DKI Jakarta), dan Indifferent Spaces karya Sandhidea Cahyo Narpati (Jawa Timur) yang mengeksplorasi gerak-ruang di lorong sangat sempit.
Proses pergumulan tubuh dan ruang yang intim pada akhirnya tidak semata menampilkan mobilitas aktivitas tubuh-manusia keseharian, tapi juga mobilitas nilai dalam sebuah ruang-waktu sosial yang baru: ruang-waktu virtual. Hal demikian menarik jika dilihat dengan teori geografi-waktu (time-geography) yang dikembangkan Anthony Giddens (1986). Amatilah, misalnya, pada pertunjukan HOPE karya Wirastuti Susilaningtyas (Jawa Tengah). Ruang-ruang di dalam rumah menjadi representasi kesunyian tubuh penari di ruang dapur, ruang kerja, ruang tamu, dan ruang teras. Aktivitas manusia di sini terasa menegaskan kesunyian.
Hal serupa disuguhkan oleh Fery Fadli Pomontolo (Gorontalo) lewat karya Lohidu (Ratapan). Meskipun hanya bermain dalam satu ruang, kesunyian yang liar mengalir melalui perubahan ekspresi tubuh, kostum, set properti, dan musik dari “tubuh tradisi” ke “tubuh kontemporer”. Demikian pula pada karya Riyo Tulus Fernando (Riau) berjudul Pe.Kik-Pe.Kuk, kesunyian mengalir dari luar rumah hingga menyusup ke dapur, kamar, dan ruang tengah diperkuat oleh ilustrasi suara khas daerah. Berbeda jauh dengan pertunjukan Berbahagialah karya R. Rangga Kusumaputra (DKI Jakarta) yang justru ruang-ruang yang dijelajahi tubuh menjalin relasi kegembiraan yang cair.
Sementara itu, dalam pertunjukan lain, misalnya Karung 19 karya Abdul Haris Kamaruddin Tallama (DKI Jakarta), aktivitas keseharian tubuh manusia dalam praktik rutinitas di ruang-ruang privat tersebut justru dimainkan dengan tempo dan irama yang cepat, seirama dengan cepatnya perubahan ruang dan waktu. Kesibukan dan ketergesa-gesaan pola hidup keseharian di dalam rumah dihadirkan dalam gerakan-gerakan natural yang merespons dan menghidupkan properti-ruang. Akan halnya Mugiono Kasido (Jawa Tengah) membawakan pertunjukan Dining Room/Ruang Makan yang tampil bersama tiga lelaki remaja. Ia berhasil menghadirkan percakapan-percakapan melalui gerak dan bunyi natural dari benda-benda di meja makan. Menarik dicermati kemudian pertunjukan Ngomong-ngomong karya Vito Prasasta Adipurwanto (DKI Jakarta). Bermain di satu ruangan di dalam rumah, dengan pola gerak tubuh harian dalam aktivitas keseharian, ia membangun narasi yang ringan dan memecah tubuhnya dalam teknik video clone effect yang cukup bersih.
Mugiyono Kasido (berdiri) dalam Dinning Room, dalam mengisi pentas Distanca Parade, Streaming Online Dance Performance./Youtube Budaya Saya
Pada titik ini, saya melihat tidak semua pertunjukan menyadari bahwa kamera memiliki dunia sendiri yang tidak selalu mudah dikendalikan. Alih-alih mendukung dan memperluas pola relasi baru, kamera bisa lebih ekstrem melipat ruang-waktu dalam kehendak virtualitasnya. Maka, yang kerap terjadi, panggung nyata menyusut drastis dalam tatapan mata kamera. Terlihat sajian para penari dilakukan dengan teknik editing standar, permainan angle dan cahaya, serta clone effect. Dari semua pertunjukan, setidaknya dapat dilihat hasilnya dari dua visi: teknologi semata sebagai media transformasi pesan ke penonton atau teknologi sebagai bagian dari medium penciptaan yang tak terpisahkan dari pertunjukan seni virtual. Hampir semua pertunjukan telah menjalankan visi yang pertama.
Beberapa pertunjukan telah melakukan percobaan untuk menggapai visi kedua, misalnya pada pertunjukan Bhavana karya Laila Putri Wartawati (Banten), Karung 19 karya Abdul Haris Kamaruddin Tallama (DKI Jakarta), Ambang karya Eka Wahyuni (Yogyakarta), Fitting in Some Carpenter’s Squares karya Razan Wirjosandjojo (Jawa Tengah), Isolated karya M. Syarifuddin (Papua), Limen karya Fitrya Ali Imran (Sulawesi Selatan), Longing karya Bhaskoro Wira (Jawa Barat), Di Balik Gorden karya Boby Ari Setiawan (Jawa Tengah), dan Sasmita karya Budi Jaya Habibi (Kalimantan Tengah). Betapapun demikian, semuanya belum mampu mengolah teknologi sebagai medium penciptaan yang menjanjikan.
MARHALIM ZAINI, PENGAMAT SENI PERTUNJUKAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo