Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Vaksin Oplosan ala Thailand

Pemerintah Thailand mengombinasikan vaksin Covid-19, Sinovac dan AstraZeneca. Sepuluh sekolah kedokteran mendukung pemakaian vaksin oplosan ini.

24 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemberian dosis pertama vaksin AstraZeneca COVID-19 di dalam Stasiun Bang Sue Grand, Thailand, 21 Juni 2021. REUTERS/Athit Perawongmetha/File Foto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah Thailand menggunakan vaksin campuran untuk menghadapi Covid-19.

  • Kementerian Kesehatan mengklaim kombinasi vaksin tak berefek serius.

  • WHO memperingatkan bahaya pencampuran vaksin.

SEPERTI warga Thailand lain, Wichit Chaitrong dulu berharap benar akan mendapat vaksin Covid-19. Tapi kini tidak. Dia berubah pikiran ketika mendengar kabar bahwa pemerintah akan memakai vaksin oplosan Sinovac dan AstraZeneca. “Saya akan mencari opsi yang lebih aman,” katanya kepada Thai PBS, Sabtu, 17 Juli lalu. “Saya akan mencari vaksin alternatif mulai sekarang.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak warga negeri itu yang khawatir akan efek vaksin oplosan ini. Apalagi tersiar kabar seorang perempuan berusia 39 tahun meninggal setelah menerima vaksin kombinasi pada Senin, 12 Juli lalu. Dokter di King Mongkut Memorial Hospital di Provinsi Phetchaburi sedang mengautopsi jenazahnya. Departemen Pengendalian Penyakit menyatakan pasien itu punya masalah kesehatan tapi tak menjelaskannya lebih jauh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pusat Administrasi Situasi Covid-19 (CCSA), badan tertinggi penanganan Covid-19 yang dipimpin Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, memberi izin pemakaian vaksin oplosan Sinovac-AstraZeneca pada pekan lalu. Kementerian Kesehatan menyatakan kombinasi itu bisa memperkuat kekebalan orang terhadap Covid-19. Kebijakan ini juga didukung sepuluh dekan sekolah kedokteran yang menjadi penasihat CCSA.

Sebanyak 1.102 orang telah menerima vaksin kombinasi. Kementerian memantau mereka dan tak menemukan satu pun yang mengalami efek serius atau meninggal setelah menerima suntikan kedua. Fakultas Kedokteran Chulalongkorn University dan Departemen Ilmu Kedokteran meneliti sampel penerima kombinasi vaksin itu dan menemukan imunitas mereka naik delapan kali lipat daripada orang yang hanya menerima dua suntikan Sinovac.

Pemberian vaksin Sinovac Covid-19 di Phuket Thailand, 28 Juni 2021. REUTERS/Jorge Silva

Keputusan pemerintah itu keluar setelah 618 dari 677 ribu tenaga kesehatan terinfeksi Covid-19 meskipun telah mendapat vaksin penuh Sinovac. Seorang perawat dilaporkan meninggal dan seorang anggota staf medis  dalam kondisi kritis. Kini pemerintah memberi suntikan penguat kepada mereka, antara vaksin AstraZeneca atau vaksin serupa seperti Pfizer/BioNTech.

Thailand menjadi negara pertama yang mencampur vaksin untuk menghadapi Covid-19. Vaksin oplosan ini campuran vaksin berbasis virus, seperti Sinovac, dan vaksin rekayasa genetika, seperti AstraZeneca. Bahrain baru berencana memberikan suntikan penguat vaksin Pfizer atau Sinopharm tanpa melihat jenis vaksin yang sudah diterima sebelumnya.

Negara-negara lain umumnya memakai kombinasi vaksin yang sama-sama hasil rekayasa genetika. Jerman memberi suntikan vaksin AstraZeneca dan diikuti dengan Pfizer atau Moderna. Kanselir Jerman Angela Merkel telah menerima vaksin AstraZeneca pada April dan Moderna pada Juni.

Korea Selatan mengumumkan masyarakat yang telah menerima suntikan pertama vaksin AstraZeneca akan mendapat suntikan kedua vaksin Pfizer karena kiriman AstraZeneca melalui skema penyedia vaksin global COVAX belum datang juga. Badan Medis Italia (AIFA) menyatakan orang-orang berusia di bawah 60 tahun, yang telah menerima suntikan pertama vaksin AstraZeneca, boleh menerima vaksin lain untuk suntikan kedua, seperti vaksin bikinan Pfizer dan Moderna.

Vaksin oplosan atau penggunaan vaksin penguat, seperti yang dilakukan Thailand, tampaknya akan menjadi strategi menghadapi pandemi Covid-19. Soumya Swaminathan, Kepala Ilmuwan Badan Kesehatan Dunia (WHO), memperingatkan keputusan mencampur vaksin sebenarnya berbahaya.

RenuMadanlalGargy, wakil WHO di Thailand, menegaskan bahwa organisasinya tak akan campur tangan terhadap kebijakan pemerintah memberlakukan vaksin oplosan. Sebab, setiap negara perlu membuat keputusan berdasarkan konteks dan data ilmiah masing-masing.

IWAN KURNIAWAN (THAI PBS, CHIANG RAI TIMES, BBC)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus