Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada kesibukan kecil yang menyita perhatian pengunjung di lobi kantor pusat kepolisian metropolitan London, petang itu. Sekelompok polisi sibuk mengutak-atik pintu penghubung. Rupanya, pintu-pintu itu, yang tadinya dibuka secara manual, kini hanya bisa dibuka dengan kartu elektronikdengan alasan keamanan. Beberapa polisi tampak canggung dengan kartu baru itu, bahkan ada yang berkali-kali gagal menggesek.
Sejak bom mengguncang London pada 7 Juli lalu, kepolisian metropolitan London, atau biasa disebut Scotland Yard, hampir tak bisa bernapas. Suasana kantor tegang, sibuk, telepon berdering-dering hampir setiap menit. Penjagaan di pintu masuk diperketat. Jalur masuk semula ada empat pintu. Kini cuma ada satu, lengkap dengan empat polisi berbadan tinggi besar yang teliti menelisik setiap pengunjung yang akan melangkah masuk.
Tempo, yang datang ke kantor Scotland Yard pada Rabu petang pekan lalu untuk suatu jumpa pers, harus menunggu lama bersama wartawan lain sebelum bisa lolos ke dalam. Selepas pintu pertama, mesti ada pas baru untuk melewati pintu berikutnya. Setelah di dalam, juga tak mudah menemukan para penyelidik yang sudi ditanya-tanya. "Mereka amat sibuk. Tunggu saja saat konferensi pers," ujar salah satu petugas biro humas.
Tapi puluhan wartawan yang menunggu di Ruang Queen Elizabeth Conference Building sore itu gigit jari. Tak ada petinggi Scotland Yard yang muncul. Seorang petugas lain datang hanya untuk memberi tahu bahwa jumpa pers petang itu batal. Tampaknya, ada hal penting yang harus didahulukan. Sejak Selasa pekan lalu para pelaku peledakan telah diidentifikasi. Bukan berarti langgam kerja di kantor Scotland Yard menjadi lebih ringan. Masih ada beberapa tersangka berkeliaran bebastermasuk orang yang diduga menemui para pelaku di Stasiun Luton, sebelum mereka menuju Stasiun King's Cross.
Lantas bagaimana ceriteranya kok nama-nama orang yang diduga pelaku bisa terungkap dalam waktu kurang dari sepekan? Scotland Yard punya cerita. Perkembangan besar bermula empat hari setelah ledakan. Sekitar pukul 10 malam, telepon helpline (jalur khusus telepon yang dibuka untuk melayani informasi tentang bom London kepada publik) di Scotland Yard berdering. Di seberang sana seorang wanita bernama Maniza berbicara. Menelepon dari Leeds, Yorkshire Barat, dia mengaku cemas pada anaknya, Hasib Hussain, 18 tahun, yang tengah melancong ke London.
Maniza panik karena telepon genggam Hussain tak bisa dihubungi. Menurut ibu ini, Hussain pergi bersama dua orang kawannya. Laporan diterima. Kepala bagian antiteror, Peter Clarke, langsung memerintahkan anak buahnya mencari profil sekelompok pemuda berusia 20-30 tahunan yang membawa ransel besar di punggung.
Keesokan harinya wajah Hussain bersama tiga orang lain nongol di layar monitor CCTV (closed circuit television, sejenis kamera pengintaiRed.) pada pukul delapan malam. Masing-masing orang membawa ransel besar ala tentara. Ketiga kawannya kemudian diidentifikasi sebagai Shehzad Tanweer (22 tahun), Mohammed Sidique Khan (30 tahun), dan Lindsey Germaine.
Keberadaan mereka langsung ditelisik. Sejumlah temuan mulai menimbulkan kecurigaan. Anggota Scotland Yard memutuskan untuk mengarahkan kekernya ke arah Leeds. Kecurigaan menguat manakala profil empat pria di atas sama dengan identitas empat penyewa mobil Nissan Micra di suatu rental mobil di Leeds. Mobil Nissan ini ditemukan di Luton berisi sisa bahan peledak.
"Kami mencurigai empat orang laki-laki, tiga di antaranya tinggal di daerah Yorkshire Barat," ujar Peter Clarke kemudian. "Salah satu video menunjukkan mereka berempat berkumpul di Stasiun King's Cross beberapa saat sebelum pukul 8.30 pagi, 7 Juli lalu."
Selasa pagi pukul enam lebih sedikit, aparat Scotland Yard bersama sekelompok polisi Yorkshire Barat tegak di depan rumah Maniza di Beeston, suatu kampung di daerah Leeds. Mereka membawa dua kabar buruk: Hussain dapat diidentifikasi tapi kemungkinan besar sudah meninggal. Dan, ini yang membuat syok, anak itu diduga sebagai salah satu pelaku bom bunuh diri.
Pada saat bersamaan di Burley, masih di wilayah Leeds, polisi menggerebek rumah seorang ahli kimia lulusan Universitas Leeds, M. Asdi el-Nashar, 33 tahun. Dia diduga menjadi pemasok bom. "Polisi di mana-mana, helikopter berseliweran. Kami diungsikan ke Hyde Park. Mereka tidak mengatakan apa-apa. Tapi, begitu mendengar ledakan bom dari mobil antibom, kami tahu itu berhubungan dengan London," ujar Nadia Sangoro, mahasiswi asal Tanzania di Leeds, kepada Tempo.
Di rumah El-Nashar polisi menemukan bom dan sejumlah barang bukti lain. Tersangka berkebangsaan Mesir itu telah lolos, tapi ia dapat ditahan oleh kepolisian Kairo pada akhir pekan lalu.
Hingga tulisan ini dibuat, ada satu tersangka yang masih menunggu konfirmasi identitasnya melalui tes DNA (deoxyribonucleic acid), yakni Lindsey Germaine, warga Inggris keturunan Jamaika. Tanweer, Hussain, dan Khan diduga menginap di rumah Germaine di Aylesbury, Buckinghamshire, sebelum bertolak ke London pada 7 Juli.
Harus diakui, gerak cepat Scotland Yard amat ditopang oleh CCTV, kamera yang merekam tindak-tanduk warga London selama 24 jam sehari. Alat ini telah banyak membantu polisi mengungkap pelaku teror bom aktivis IRA (Irish Republican Army). Saking banyaknya CCTV di London, ada yang mengatakan dalam sehari satu orang bisa terekam hingga 300 kali.
Untuk kepentingan penyelidikan, Scotland Yard mengumpulkan lebih dari 2.500 kaset video. Dan polisi menemukan titik terang dengan bantuan kamera ini. "Kami sudah tahu siapa saja keempat orang yang membawa bom itu. Dan kami yakin mereka ikut terbunuh," ujar Komisaris Ian Blair, pimpinan Scotland Yard.
Toh belum semua teka-teki terungkap. Polisi harus melacak lebih banyak lagi bukti forensik untuk memastikan apakah keempat bom yang meledak menggunakan pengatur waktu atau bom bunuh diri. Polisi berharap bisa menemukan lagi bukti baru via kamera dari ledakan di bus tingkat jurusan Hackney-Marble Arch yang juga ditumpangi warga Indonesia Agus Warcoko (lihat tulisan Dukacita Seusai Pesta, pada Tempo 11 Juli 2005). Setelah diperiksa, kamera pengintai bus nahas itu ternyata tidak bekerja pada tanggal peledakan.
"Investigasi ini seperti menyusun kembali 100 kepingan jigsaw yang telah tercabik menjadi jutaan keping. Ini pekerjaan lama dan amat sulit," ujar salah seorang pejabat senior Scotland Yard kepada harian Inggris The Guardian.
Teka-teki yang tersisa antara lain menemukan otak aksi peledakan yang diduga telah kabur ke luar Inggris. Juga, menuntaskan identifikasi korban yang sebagian besar belum dapat dikenali. Terungkapnya identitas tersangka pelaku sejatinya memunculkan kecemasan baru. Yakni, kemungkinan tersulutnya aksi anti-Islam, terutama di wilayah Yorkshire Barat, yang banyak warga muslimnya. Itu sebabnya Asisten Komisaris Scotland Yard, Andy Hayman, buru-buru membikin pernyataan: "Dalang peristiwa Kamis lalu adalah penjahat! Jangan sampai ada komunitas tertentu menjadi sasaran kemarahan lantaran kejahatan orang-orang itu."
Dari Downing Street No. 10, Perdana Menteri Tony Blair dikabarkan tengah memutar otak untuk melindungi komunitas muslim Inggris yang notabene adalah pendukung tradisional Partai Buruh. Dia bahkan sudah mengatur jadwal untuk bertemu para pemuka Islam se-Inggris Raya pekan depan.
Melihat reaksi masyarakat di Leeds, Blair boleh jadi bisa lebih optimistis. Sebagian besar tersangka utama memang berasal dari kota itu. Namun sampai sejauh ini warga muslim dan kaum pendatang di kota itu sama sekali tak diganggu. "Sewaktu penggerebekan, Masjid Raya Leeds (yang terletak dekat rumah El-Nashar) sempat ditutup. Setelah itu dibuka seperti biasa," ujar Marzuki, dosen Universitas Riau yang tengah belajar di Leeds.
Kehidupan kota itu telah berputar lagi ke langgam yang duluketika Leeds lebih banyak dikenal dunia sebagai tuan rumah kesebelasan Leeds United.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo