Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIKAWAL oleh sejumlah orang, Ellyas Pical berjalan menuju sebuah ruangan. Bekas juara tinju kelas bantam versi International Boxing Federation ini akan menjalani pemeriksaan urine. Para kamerawan televisi langsung berlomba menyorot, dan puluhan wartawan menghujaninya dengan pertanyaan. Tapi tiada komentar, apalagi sesumbar dari mulut lelaki 48 tahun itu. Dia malah menutupi wajahnya dengan handuk kecil hijau tua.
Tes urine dilakukan memang bukan karena Elly mau naik ring lagi. Tak ada sarung tinju, tangannya justru terborgol. Dia diperiksa Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kamis pekan lalu, karena diduga terlibat jual-beli narkotik dan obat berbahaya.
Sehari sebelumnya, ayah dua anak itu ditangkap oleh polisi saat berada di Diskotek Milles yang terletak di kawasan Lokasari, Tamansari, Jakarta Barat. Dari tangannya disita tiga butir ekstasi yang dijual kepada polisi yang menyamar. Dia diciduk bersama seorang wanita, Lisdiana, yang jadi perantara.
Jika tuduhan polisi ini terbukti, sungguh terpuruk nasib petinju yang sangat dipuja-puja di era 1980-an itu. Dialah orang Indonesia pertama yang namanya mendunia. Sabuk juara dunia kelas bantam versi IBF direbutnya dari tangan Ju Do Chun, petinju dari Korea Selatan, pada Mei 1985.
Sejak itu pula kehidupan pria dari keluarga miskin di Maluku ini mulai berubah. Hadiah bertinju yang nilainya ratusan juta rupiah sering diterimanya. Bahkan seorang pengusaha menghadiahkan sebuah rumah di Perumahan Duta Bintaro, Kelurahan Pindang, Jakarta Selatan. Di sanalah dia tinggal bersama istrinya, Rina Pical, yang dikawini pada 1985.
Pamor Elly mulai memudar setelah sabuk IBF direbut penantangnya, Cesar Polanco, petinju Republik Dominika, pada Februari 1986. Ini berpengaruh besar terhadap kehidupannya. Dia bergantung sepenuhnya pada pendapatan istrinya yang seorang dokter gigi di sebuah puskesmas.
Tak terlalu gampang Elly mencari pekerjaan yang layak, karena dia hanya sekolah sampai kelas lima SD. Untunglah, dia punya kawan yang mengelola Diskotek Milles. Saat dihubungi Elly sekitar delapan bulan lalu, si kawan malah kaget. "Saya sempat bertanya padanya, apa nggak malu bekerja di diskotek," katanya.
Karena Elly ngotot, akhirnya dia pun dipekerjakan di sana. Elly ditunjuk menjadi supervisor keamanan Diskotek Milles dengan gaji pokok Rp 3 juta per bulan. Selama bekerja, Elly dikenal sebagai sosok yang cepat akrab dengan tamunya. Dia suka bercanda. Kesan sebagai petinju yang kerap merobohkan lawannya di atas ring sama sekali tak terlihat.
Si teman sering mewanti-wanti Elly agar tak terperosok ke dunia narkoba. Soalnya, tempat hiburan seperti diskotek memang sering dipakai untuk bertransaksi narkoba, terutama ekstasi. Bahkan, di beberapa diskotek di kawasan Jakarta Barat, jamak ditemukan pegawai yang nyambi menjadi pengedar ekstasi. Tapi, "Setahu saya, dia tak pernah memakai narkoba," kata sang teman yang enggan disebut identitasnya. Tetangganya juga kerab melihat Elly berolah raga. Setiap Minggu dia bersama keluarganya rajin ke gereja.
Hanya, malang sulit ditolak. Ketika polisi antinarkoba dari Polda Metro Jaya beroperasi di Diskotek Milles, Elly tertangkap tangan. "Sebelumnya dua anggota kami telah menyamar di tempat tersangka ditangkap," kata Ajun Komisaris Besar Polisi Heru Wahyudi, Kepala Satuan II Psikotropika Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya. Dia juga menjelaskan, sebenarnya Elly bukanlah seseorang yang menjadi incaran polisi. "Kebetulan saja dalam operasi dia tertangkap," ujarnya.
Sejak itulah, bersama empat tahanan lainnya, Elly menjadi penghuni blok C kamar 23 rumah tahanan tersangka narkoba di Polda Metro Jaya. Kini polisi sedang menelusuri sumber ekstasi yang berada di tangan Elly.
Tak sedikit yang bersimpati terhadap nasib yang dialami Elly. Di antaranya Jonathan dari Ikatan Pelatih Petinju Nasional, yang menjenguk Elly pada Kamis pekan lalu. Begitu pula bekas petinju Nico Thomas, yang kini menjadi pelatih tinju sasana Pesona Boxing Jombang di daeran Bintaro, Tangerang. "Kalau tahu dia bekerja di tempat hiburan, saya akan langsung menariknya sebagai pelatih," kata Nico.
Namun Elly telanjur terpeleset. Dengan memakai seragam oranye, sehari-hari dia mesti mendekam di tahanan. Wajahnya amat kusut saat keluar dari ruang pemeriksaan urine. Dan ketika wartawan kembali menyerbu, lagi-lagi dia hanya diam, lalu menyembunyikan muka.
Nurlis E. Meuko dan Indriani Dyah Setiowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo