TAK ada yang menyangka pria berpenampilan kalem itu bakal melakukan tindakan yang menghebohkan dan masuk topik politik dunia. Sayyid El Nossair, 35 tahun, namanya tergores dalam sejarah, setelah membunuh Rabbi Meir Kahane, tokoh ekstrem kanan Yahudi Israel. Bahkan Kahane, sang korban sendiri, tak curiga ketika Sayyid bangkit dari kursi dan melangkah ke arah mimbar. Langkah nekat Sayyid, bahkan mengejutkan pihak keluarganya di Mesir. "Saya tak percaya bahwa Sayyid, anak saya, berbuat demikian. Seumur-umur hidupnya, saat berkumpul dengan keluarga, ia sama sekali tak peduli dengan politik atau gerakan macam-macam," ujar ayah Sayyid kepada koran Mesir Al Akhbar, edisi Rabu pekan lalu. Nama lengkap sang ayah dan keluarganya ini sengaja dirahasiakan media Mesir karena khawatir akan tindakan pembalasan pihak Israel. Hasil pengusutan polisi New York pun menunjukkan tindakan Sayyid, yang kini "diamankan" di rumah sakit, benar-benar pribadi tanpa ada hubungan dengan kelompok keras mana pun di Timur Tengah. "Aksi Sayyid El Nossair secara murni dilakukan perorangan," kata pihak polisi New York. Yang menjadi obyek pengusutan antara lain latar belakang Sayyid. Ia lahir 16 November 1955 di Port Fuad, Port Said, Mesir. Bagi penduduk Port Fuad -- wilayah yang memanjang di garis depan Terusan Suez -- pengalaman getir amukan pasukan Israel masih jelas membekas. Port Said pernah dua kali diporak-porandakan pasukan Israel. Yang pertama, dalam Perang Segi Tiga di Terusan Suez 1962 dan berikutnya Perang Enam Hari Arab-Israel pada 1967. Bisa jadi, pengalaman pahit ini sukar dilupakan. Kebetulan, Kahane, di mata orang Arab bersikap keterlaluan. Sampai akhirnya terjadilah pembunuhan yang direncanakan dengan masak itu. Dari kantung Sayyid ditemukan dua carik kertas catatan acara ceramah Kahane, tanggal 6 dan 18 November. Diduga, jika gagal menghabisi sang rabbi 6 November, mungkin aksi akan dilancarkan pada ceramah kedua. Sebelum hijrah ke AS pada 1981 Sayyid menyelesaikan kuliah di Fakultas Teknik Terapan di Mesir. Ia juga sempat bekerja sebentar, sebagai teknisi perusahaan galangan kapal di Terusan Suez. Pada 1988, ia mengajukan permohonan untuk menjadi warga AS, yang kemudian dikabulkan tahun berikutnya. Proses naturalisasi Sayyid yang cepat itu kemungkinan besar karena ia telah mengawini Carine, gadis Amerika yang ikut masuk Islam dan melahirkan tiga anak Sayyid. Keluarga muda itu selama ini tinggal di wilayah New Jersey, New York. Sayyid terakhir bekerja sebagai tenaga reparasi mesin pendingin di Correction Camp, semacam lembaga pemasyarakatan. Gajinya sekitar US$ 35.000 setahun. Di mata tetangganya di New Jersey, Sayyid termasuk warga yang disenangi karena keramahannya. Begitu pula bagi para kenalan di lingkungan Masjid El Salam, New Jersey City. Selama ini, pria asal Mesir itu tak pernah melakukan perbuatan tercela, dan tak termasuk daftar hitam kepolisian. Setelah pembunuhan Kahane, tempat tinggal istri dan anak-anak Sayyid dirahasiakan. Harap maklum, New York dikenal sebagai negeri "Israel mini". Jadi, bukan mustahil aksi pembalasan bakal dilakukan pendukung Kahane. Menurut pihak keluarga di Mesir, sejak pergi ke AS, tak sekali pun Sayyid pulang kampung. Hubungan hanya dilakukan lewat telepon, dua minggu sekali. Terakhir dilakukan lima hari sebelum peristiwa pembunuhan. "Ia cuma menanyakan kesehatan saya," ujar ayah Sayyid. Bagi El Nossair senior, pembunuhan Kahane dianggap semacam "pembalasan dari langit". Pun bagi sejumlah bangsa Arab, langkah Sayyid mengakhiri riwayat Kahane dianggap sebagai tindakan yang perlu diberi acungan jempol. "Akid huwa ragul (baru dia jantan)," ujar Sayyid El Kaskusy, 42 tahun, seorang tukang koran di Kairo. Dja'far Bushiri (Kairo) dan FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini