Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bankir yang jadi pm

John mayor, 47, terpilih sebagai perdana menteri inggris. masyarakat eropa menyambut mayor. mayor yang berangkat dari kelas bawah diduga akan lebih liberal. sistem pendidikan akan diperbaiki.

8 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JOHN Major adalah harapan baru bagi Inggris. Juga bagi Eropa menjelang bersatu, nanti 1992. Maka, bukan cuma Tory dan Inggris yang optimistis, tetapi juga dunia. Lihat saja, segera mata uang Inggris poundsterling jadi perhatian, setelah Major terpilih, Rabu pekan lalu. Menurut Mazakasu Kimura, Manajer Dai-Ichi Kangyo Bank di Tokyo, Jepang, pembelian poundsterling melonjak di berbagai penjual valuta asing di Tokyo, begitu pengganti Margaret Thatcher diumumkan. Masyarakat Eropa pun menyambut Major, 47 tahun, dengan lapang dada. Penyatuan mata uang Eropa yang belum disetujui Thatcher kini kemungkinan besar akan dapat jalan karena Major. Sudah tentu Partai Tory, yang semula terancam pecah -- sebagian mendukung Thatcher, sebagian menentangnya -- kini boleh bersyukur. Perdana menteri termuda dalam sejarah Inggris ini ternyata bisa membuat partai Konservatif kembali bersatu. Apa pun kata pihak oposisi -- dia sekadar Thatcherette, pengikut setia Thatcher, bahkan kata Kinnock, pemimpin Partai Buruh, Major cumalah "Thatcher kecil" -- Major pagi-pagi sudah menunjukkan sikap seorang yang punya pribadi sendiri. Setidaknya itu tecermin dari orang-orang yang diangkatnya menjadi anggota kabinetnya. Memang, sejumlah pos masih tetap dipegang oleh orang lama pilihan Thatcher. Menteri Luar Negeri Douglas Hurd dan Menteri Pertahanan Tom King, misalnya. Namun, sebagian besar dari dua puluh satu anggota kabinet adalah wajah baru. Paling penting adalah diangkatnya kembali Michael Heseltine, menteri pertahanan yang mengundurkan diri pada 1986, dan yang menumbangkan Thatcher, sebagai menteri lingkungan, yang juga bertanggung jawab atas urusan pelayanan pemerintah. Di tangan Heseltine inilah, poll tax yang diterapkan Thatcher sejak April lalu akan dirombak. Pajak yang menghitung wajib pajak berdasarkan per kepala, bukan pendapatan, sangat merugikan kaum miskin dan menguntungkan orang kaya. Langkah Major yang merangkul semua pihak memang suatu keharusan bila ia ingin mempertahankan persatuan Tory. Soalnya, kemenangannya yang tidak mayoritas, sementara Heseltine mendapat lebih dari sepertiga suara, memaksa Major membagi kursi. Namun, ini bisa juga dinilai sebagai langkah bijaksana dari ahli perbankan otodidak ini dalam menyelesaikan masalah. "Hampir semua orang sudah diberi hadiah (oleh Major). Tak ada yang merasa terhina," tulis koran Inggris Daily Telegraph. Belum jelas, memang, adakah itu semua merupakan bekal Major yang baik untuk mempertahankan Tory dalam pemilu mendatang. Dari masa pemerintahan Thatcher, yang sukses dalam tiga kali pemilu, bisa ditebak bahwa baik-buruknya ekonomi menentukan pilihan rakyat Inggris. Thatcher, yang dididik keras untuk berhemat tapi murah berderma oleh orangtuanya, memang sukses mengangkat ekonomi Inggris. Baru dalam dua tahun terakhir, ekonomi negeri berkabut ini dianggap mulai amburadul, dan para pendukung Thatcher pun mulai meninggalkan dia dan Tory. Kini, dengan inflasi mencapai lebih dari dua digit (mendekati 11%), produksi anjlok lebih dari 11% dalam tempo tiga bulan, penjualan eceran menurun hampir 6%, dan tingkat pengangguran mulai membengkak, merupakan kondisi yang memberi peluang buat bekas menteri keuangan ini membuktikan keahliannya. Selain itu, Major, ayah dua anak (Elizabeth, 19 tahun, dan James, 17 tahun), pun menjanjikan perbaikan sistem pendidikan di Inggris. Sebagai orang yang pernah gagal melanjutkan pendidikan di sekolah menengah -- ia berhenti sekolah pada usia 16 tahun untuk bekerja membantu ekonomi keluarganya -- diduga Major menyadari kelemahan sistem pendidikan di Inggris, yang tak memberi kesempatan pada berjuta muridnya untuk tetap belajar sementara harus bekerja. Sebagai tokoh yang berasal dari kalangan jelata tampaknya Major akan bersikap lebih liberal daripada Thatcher dalam masalah-masalah sosial. Ia pun pagi-pagi sudah berniat akan tetap tinggal di rumah lama di wilayah Cambridgeshire, dan tak pindah ke kediaman resmi di Downing Street 10. Alasannya, takut kepindahan itu mengganggu kelancaran sekolah kedua anaknya. Terpilihnya Major tampaknya memang mengejutkan Norma, yang sangat menyadari latar belakang suaminya yang "kurang pendidikan" itu. Sebelum Major terpilih, suatu kali ia ditanya wartawan, bagaimana bila suaminya menjadi perdana menteri. Jawabnya, "Wah, posisi seperti itu tak bakal mungkin untuk orang seperti kami." Benar, Major memang bukan keluaran universitas bergengsi macam Oxford atau Cambridge. Namun, ia seorang otodidak yang tekun, dan tak menyia-nyiakan kesempatan -- begitu putus sekolah, di samping bekerja ia pun masuk Briton Young Conservative Organization, lembaga di bawah payung Partai Konservatif Tory. Dan ketika sudah mendapat kedudukan di Standard Chartered Bank, ia pernah diangkat menjadi kepala cabang di Nigeria. Yang belum diketahui adalah langkah Partai Buruh: bagaimana oposisi ini akan menyerang lawannya yang berangkat dari kelas bawah ini. FS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus