Banyak Jalan Menuju Runtuh Seperti sebuah rumus baru sedang dicoba dibuktikan: setiap ada huru-hara di negeri sosialis, bisa ditebak partai komunis di situ segera memudar, untuk kemudian kehilangan monopolinya. GELOMBANG demonstrasi masih terus berlangsung di Pristina, ibu kota Provinsi Kosovo, Yugoslavia, pekan ini. Gas air mata yang ditembakkan polisi anti-kerusuhan Yugoslavia masih menggantung di atas Pristina dan kota-kota Kosovo lainnya. Setiap setengah jam, pesawat tempur terbang rendah di atas kota, sambil mengawasi sejumlah tentara rakyat Yugoslavia yang dikirim untuk membantu polisi yang kewalahan -- demikian laporan pembantu TEMPO dari Beograd. Sedikitnya 29 jiwa melayang dan 100 lainnya luka-luka, dalam kerusuhan yang berlangsung 10 hari itu. Polisi Yugoslavia, yang panik, langsung menembaki penduduk sipil tak berdosa. Di sebuah desa kecil dekat Podujevo, utara Pristina, seorang gadis belasan tahun tewas dengan tubuh penuh lubang peluru, tatkala lari ke jalan. "Polisi menembakinya sampai pelurunya habis," tutur saksi mata. Kerusuhan rasial di Kosovo kali ini bersumber pada 1,7 juta keturunan Albania yang berdiam di provinsi yang terletak di kawasan selatan Yugoslavia itu. Mereka menuntut agar Kosovo berubah statusnya menjadi sebuah negara republik, seperti enam republik lain di Yugoslavia. Berdasarkan amandemen UUD Republik Serbia yang disahkan pada 1988, otonomi Kosovo berada di bawah pengawasan pemerintahan Republik Serbia. Padahal, sebelum diubah -- berdasarkan UUD 1974 -- Serbia tak punya wewenang terhadap provinsi otonominya, dan sebaliknya. Langkah perubahan itu gara-gara ulah Slobodan Milosevic, Presiden Republik Serbia. Tokoh yang semula tak dikenal ini tiba-tiba naik pamor pada 1986, tatkala ia mengkritik sikap lunak para pimpinan Serbia dalam menangani masalah Kosovo. Tokoh yang anti-Albania ini merasa nasionalisme Serbia telah diinjak-injak keturunan Albania. Selama bertahun-tahun keturunan Serbia dan Montenegro di Kosovo, yang hanya berjumlah 200 ribu jiwa, senantiasa diteror orang Albania. Misalnya, anak-anak wanita diperkosa para pemuda Albania, sementara tanah-tanah garapan dibeli secara paksa. Menghadapi perlakuan itu, Milosevic akhirnya mengambil tindakan. Kapak peperangan pun diayunkan untuk memerangi kaum Albania di koran-koran Serbia. Ia menuduh Albania sebagai "bangsa yang berniat memusnahkan bangsa Serbia". Hingga awal pekan ini, belum ada tanda-tanda yang cukup menggembirakan. Presiden Yugoslavia Janez Drnovsek, yang berkunjung ke Kosovo pekan lalu, berdialog dengan para pemimpin Kosovo. Ia mengimbau agar semua warga Kosovo menghentikan kerusuhan yang dinilai, "mampu menggoyang kestabilan politik dan ekonomi Yugoslavia," katanya. Sebuah tim penanggulangan yang beranggotakan perdana menteri, menteri pertahanan, menteri dalam negeri, dan menteri luar negeri dibentuk untuk memantau perkembangan terakhir. Sementara itu, sekitar 7 ribu keturunan Serbia berkumpul di sebuah lapangan olahraga di Kota Pristina, Jumat pekan lalu, seraya mengutuk para pelaku kerusuhan yang disebutnya Kaum Separatis Albania. Di Beograd, ibu kota Yugoslavia, 5 ribu pelajar Serbia mengajukan petisi yang menuntut segera dilakukan tindakan tegas bagi kaum Albania. Krisis etnis itu akhirnya berbuntut salah satu demam yang lagi melanda Eropa Timur: ketidakpercayaan terhadap partai komunis di pusat. Ahad pekan lalu, Liga Komunis Slovenia menyatakan memisahkan diri dari Liga Komunis Yugoslavia. "Ini adalah akhir kehidupan Liga Komunis Yugoslavia," tutur Ciril Ribicic, ketua Liga Slovenia, kepada wartawan setelah menghadiri rapat darurat LKY hari itu. Liga Komunis Slovenia, yang melakukan walk-out dua pekan lalu, menilai LKY sudah tak mampu lagi menyalurkan aspirasi partainya. Mereka, yang memang lebih berpandangan kebarat-baratan ini, merasa lebih sosialis daripada komunis. "Kami lebih dekat ke Partai Sosialis Jerman Barat atau Partai Buruh di Inggris atau Partai Sosialis Prancis, ketimbang partai komunis," kata Peter Bekes. Karena itu, nama Liga Komunis Slovenia pun diubah menjadi Partai Pembaruan Demokratik Liga Komunis Slovenia. "Untuk kami, LKY sudah tak muncul lagi," tambahnya. Apa pun alasan orang-orang Slovenia itu, sebagaimana di Polandia, kemudian bisa jadi di negeri induk komunis, Uni Soviet, "partai merah" tampaknya mesti pudar di mana-mana. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini