SETIAP terjadi ketegangan rasial di Malaysia, Tunku Abdul Rahman, 84 tahun, mungkin orang yang paling sedih melihat kenyataan itu. Alasan: ia adalah tokoh yang paling keras berupaya menjembatani jurang perbedaan ras di negaranya. Tunku, yang dijuluki "Bapak Bangsa", tidak hanya sekadar mengantar Malaysia ke gerbang kemerdekaan pada 1957, tetapi juga merupakan arsitek konstitusi Malaysia yang unik itu. Konstitusi yang menggabung sistem kerajaan dan parlemen sebagai cara untuk mencapai kompromi yang dapat diterima semua warga. Hak istimewa bagi ras Melayu dihalalkan pada konstitusi ini dengan imbalan jaminan kewarganegaraan penuh bagi ras lainnya. Agama Islam dijadikan agama resmi negara, tapi kebebasan menganut agama lainnya tetap dijaga. Kehidupan Tunku yang penuh warna itu memang sebuah latar belakang yang tepat untuk seorang pemersatu anak bangsa yang begitu tajam perbedaannya. Tunku, yang berasal dari keluarga bangsawan Kedah, selepas SLA meneruskan studi ke Cambridge, Inggris, dan mendapatkan gelar Bachelor of Arts dari sana. Tapi ia gagal dalam studi hukum. Mengaku gemar minum wiski dan main judi kecil-kecilan, Tunku, yang bergelar haji ini, dikenal sebagai mahasiswa yang kurang tekun. Pulang dari London, Tunku lalu menjadi pegawai negeri dan aktif dalam kegiatan perjuangan kemerdekaan Malaysia. Bersekutu dengan kelompok sosialis demokrat, Tunku mengundurkan diri ketika kelompok ini menempuh jalan keras. Perdana menteri Malaysia pertama ini adalah salah seorang pelopor pembentukan Barisan Nasional, yang merupakan gabungan partai berbagai ras, seperti UMNO (Melayu), MCA (Cina), dan MCI (India). Ironisnya, kerusuhan rasial terhebat di Malaysia (13 Mei 1969) justru terjadi pada masa kepemimpinannya, dan menjadi awal keruntuhan karier politiknya. Sesudah turun dari kursi PM pada 1970, Tunku, yang kemudian menetap di Penang, aktif dalam kegiatan memajukan Islam. Ia pernah menjabat Sekjen Sekretariat Islam Internasional, yang bermarkas di Arab Saudi. Kini, selain sibuk mengurus Organisasi Kesejahteraan Islam Malaysia (Perkim), Tunku rajin menulis kolom di harian The Star. Tulisan yang terbit setiap Senin itu biasanya mengulas masalah sosial politik, seperti soal ras dan kesultanan, yang tak mungkin bisa ditulis orang lain. Sekarang, The Star, yang beroplah 160 ribu itu, dibredel pemerintah. Ditemui dua wartawan TEMPO, M. Cholid dan Ekram Attamimi, di Hotel Grand Continental, Kuala Lumpur, Jumat pekan lalu, sekalipun jalannya sudah tertatih-tatih, pikirannya masih jernih dan tajam. Apa komentar Anda mengenai situasi Malaysia sekarang? Lebih dulu, kita harus melihat kembali sejarah pembentukan Malaysia. Pertama, negara ini mempunyai sistem pemerintahan demokrasi parlementer, seperti di Inggris. Kedua, negara kami berbentuk kerajaan berkonstitusi, dan ini kami pegang teguh sejak merdeka. Ketiga, agama resmi adalah Islam, tapi orang bebas memilih agama. Selain itu, konstitusi menjamin bahwa pemerintahan akan tetap dipegang orang Islam, kendati mereka menjadi minoritas. Sejak merdeka, tak ada ras lain yang menggugat sistem ini. Tapi harus diingat bahwa, tanpa bantuan ras-ras lain, belum tentu kemerdekaan dapat direbut dari Inggris. Jadi, tanpa bekerja sama dengan ras-ras lain, tak mungkin dijalankan pemerintahan demokrasi dengan adil. Sekarang ini, menurut saya, demokrasi sudah tak ada. Yang ada hanya unjuk kekuasaan saja. Pengikut partai lawan dipenjarakan. Orang UMNO juga dipenjarakan. Siapa pun yang menentang penguasa masuk penjara. Di Kelantan bahkan ada yang dihukum penjara dua tahun hanya karena minum segelas brandy. Kini, saya pun sedang menunggu saat dimasukkan ke penjara. Tapi saya tak takut. Saya orang tua. Pendapat Anda mengenai Mahathir? Banyak tindakan Mahathir yang saya protes. Saya telah membentuk, memerintah, dan menentukan cara pemerintahan negeri ini, semuanya ditolak Mahathir. Sekarang, ketika kita seharusnya bersatu padu dan membina persatuan antargolongan dan bangsa, tiba-tiba UMNO mau mengadakan rapat umum yang, katanya, akan dihadiri 500 ribu orang Melayu. Ini tidak baik. Seharusnya tidak ada pembatasan agama atau ras. Semuanya sama. Apa komentar Anda tentang pembredelan The Star ? Ini membuktikan sekali lagi bahwa pemerintah tidak demokratis. Mereka takut, lalu koran saya ditutup. Kerugian saya? Susah menyebutkannya secara pasti. Tiap bulan biasanya kami untung M$ 3 juta. Kini, yang jelas, 1.000 pekerja terpaksa menganggur. Apakah orang Cina banyak menuntut? Itu tidak betul. Justru orang Melayu yang banyak menuntut. Kita tidak membagi kekuasaan untuk menjalankan bahasa-bahasa lain. Kita tahu mereka tidak boleh jadi Melayu. Mereka mau jadi Cina seribu kali saya tak peduli, asalkan mau menJaga keamanan negeri ini. Hanya itu yang kita mau. Dengan cara membuat bahasa mereka tak berkembang, itu sama saja dengan membuat kacau. Sebenarnya, rakyat, baik Cina maupun Melayu, tidak ada persoalan apa-apa. Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi keadaan sekarang? Untuk mengatasi problem sekarang ini, saya sulit membeberkannya. Kalau nanti imbauan saya disiarkan koran-koran, malah repot. Dalam keadaan seperti sekarang ini, apa pun yang akan terjadi, saya tak berani menyebut. Saya tak mau berseru agar tak membangkitkan kekacauan lagi. Juga demi keamanan . Bambang Harymurti (Jakarta), Ekram H. Attamimi dan M. Cholid (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini