Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Melayu menang sorak

Nep (dasar ekonomi baru) dipertanyakan oleh partai oposisi, dianggap punya kelemahan & tidak adil. nep ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan bumiputera (melayu). misalnya pembagian saham yang merata.

7 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NEP (Dasar Ekonomi Baru) akan berakhir tiga tahun lagi (1990), tapi sudah ramai diisukan sejak pertengahan tahun ini. Dalan sidang parlemen Kamis lalu -- di tengah sentimen rasialisme yang semakin marak -- Lee Lam Thye dari partai oposisi DAP (Democratic Action Party) menanyakan apakah NEP akan diperpanjang sesudah tahun 1990. Jawaban PM Mahathir Mohamad cukup taktis: pemerintah akan tetap menata masyarakat dan memberantas kemiskinan, kendati NEP tidak berlaku lagi, tahun 1990 nanti. Menyinggung perihal kelemahan NEP, Mahathir memastikan, tidak akan membentuk komite khusus untuk mengkaji soal itu, tapi bersedia menampung berbagai saran dari masyarakat. PM Malaysia itu lalu menampilkan angka-angka yang menunjang keberhasilan NEP, seperti angka kemiskinan turun dari 49,3% di tahun 1970 menjadi 18,4% tahun 1984 kemiskinan di pedesaan bisa ditekan dari 58,7% menjadi 24,7% porsi bumiputera di sektor swasta meningkat dari 2,4% di tahun 1970 menjadi 17% di tahun 1985. Tapi angka-angka cuma merekam sampai tahun 1984, karena statistik tiga tahun terakhir tidak bisa akurat, mcngingat gelombang resesi yang melanda dunia. "Situasi dunia berubah-ubah, saham yang seminggu lalu bernilai 10 dolar, hari ini tinggal 10 sen," kata Mahathir. Diakuinya, resesi yang cukup keras menghantam perekonomian Malaysia telah menggagalkan usaha pemerintah mencapai target tahun 1990. Meruncingnya isu NEP akhir-akhir ini juga tak lain karena resesi. Setelah berjalan 17 tahun, sejak dicanangkan tahun 1970, baru belakangan NEP gencar digugat kaum non-Melayu. Lee Lam Thye, Deputi Sekjen partai oposisi DAP, menegaskan bahwa NEP itu tidak efektif. Dia keberatan pada pelaksanaan NEP, yang dikatakannya tidak adil dan banyak penyeleengan. "Kami setuju jika golongan yang kurang maju dan yang miskin dibantu pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup. Kami mengakui, bumiputra menghadapi masalah ekonomi dan kekurangan peluang. Ini seharusnya dibantu, tapi tidak dengan mengorbankan kepentingan kaum yang lain (maksudnya non-Melayu)," kata Lee bergelora. Benarkah kaum nonpri dikorbankan? Kekhawatiran Lee ini agaknya bertolak dari pernyataan Ghafar Baba tentang pembagian saham nasional 50-50, akhir Juni berselang. Dalam satu temu wicara Deputi PM Malaysia itu ditanya pendapatnya tentang kemungkinan perpanjangan NEP sesudah 1990 juga tentang kemungkinan dinaikkannya saham Melayu, yang dalam NEP ditetapkan 30%, menjadi 50%. Saat itu tanpa plkir panjang Ghafar menjawab, "Buat saya, kalau itu bisa dilaksanakan, tentu saja setuju." Dikatakannya, pemerintah menghendaki pembagian kue nasional yang adil, dan kalau wartawan Benta Harian tidak salah kutip, Ghafar ada berucap, "Apa yang penting adalah kami harus bisa mempunyai kebijaksanaan 50-50 itu." Pernyataan ini menyulut reaksi keras dari kalangan non-Melayu dan malah dari masyarakat Melayu sendiri. Lewat partai oposisi DAP, masyarakat Cina menjerit. Rumusan 50-50 itu dianggap tidak adil. Memang, NEP, yang isinya disetujui semua golongan itu -- Melayu, Cina, dan India -- menetapkan porsi 30% dari kue nasional bagi pribumi. Dulu tidak ada yang keberatan, tapi sesudah lewat hampir 20 tahun kelompok non Melayu tidak melihat adanya alasan kuat untuk memperpanjang NEP. Apalagi untuk meningkatkan porsi ekonomi Melayu jadi 50%, yang berarti jatah Cina dan India kian Ciut saja. Menghadapi pancingan Ghafar, Deputi Sekjen MCA, Lee Kim Sai, waktu itu lebih suka mencari jalan tengah "Apa yang dikatakan Encik Ghafar itu 'kan bukan keputusan kabinet," katanya mengelak. Tapi Pemuda MCA, dalam resolusinya awal Juli 1987, jelas-jelas menentang perpanjangan NEP. Di situ ditegaskan, "Apa pun bentuk kebijaksanaan ekonomi nasional yang baru, ia haruslah betul-betul mengikuti prinsip free enterprise dan tidak merugikan kepentingan Cina. Di situ intinya memang: masyarakat Cina takut dirugikan. Abdullah Ahmad, seorang tokoh UMNO dari Kelantan, menyatakan, "Kalau saya orang Cina, tentu saya juga akan membuat bising. Mereka tidak mau NEP diperpanjang, karena mau dominasi ekonomi mereka berkelanjutan. Saya tentu mau saham Melayu tidak kurang dari 30% dan berkualitas. Tidak ada gunanya 30%, maupun 50%, kalau semuanya mendapat warung." Tokoh ini berambisi agar saham masyarakat Melayu tertanam dalam bisnis besar, tidak cuma kecil-kecilan, yang diumpamakannya sebagai warung. Diakuinya, Melayu sudah maju ke berbagai usaha: pabrik, perkapalan, perbankan, bursa uang, teknologi tinggi, tapi dari saham 18%, yang dicapai Melayu, sebagian besar tersedot ke bisnis warung itu. "Kita orang Melayu baru menang sorak," ujarnya kesal. Tak bisa dihindarkan, memang, bahwa persentase saham Melayu ramai dibicarakan. NEP menargetkan saham itu menjadi 30% dalam tempo 20 tahun, tapi Menkeu Daim Zainuddin menyatakan baru 22%, DAP beranggapan, porsi Melayu sudah 30%, sebaliknya Abdullah Ahmad, mengutip sumber pemerintah terdahulu, berpegang pada angka 18%. Lin Lin Loan, seorang ahli ekonomi dari Universitas Malaya, menandaskan, "Estimasi saham Melayu yang diumumkan pemerintah (17,8%) terlalu rendah, sedangkan saham nonpri (56,7%) terlalu tinggi." Dia punya beberapa alasan kuat untuk itu. Dalam silang-siur pendapat ini, tokoh tua Tun Hussein Onn ikut bersuara. Dia tidak setuju kalau pembagian 50-50 digembar-gemborkan. Dikatakannya, semua unsur Barisan Nasional, termasuk UMNO, seharusnya membahas hal itu di lingkungan mereka dulu, jangan buru-buru dilontarkan ke publik hingga menimbulkan kontroversi. Lagi pula, target Melayu 30% itu saja belum tercapai, sebab-sebabnya juga belum jelas. Disinyalir olehnya, "Mungkin ada orang Melayu yang tidak gembira dengan pelaksanaan NEP, dan mungkin ada non-Melayu yang lebih tidak gembira." Kesan umum menunjukkan bahwa NEP benar membawa kemakmuran bagi kaum Melayu menengah ke atas, tapi semakin jauh ke kampung, rezeki semakin sayup-sayup. Inilah mungkin yang disindir Hussein Onn atau yang dituding Alex Lee, tokoh partai Gerakan, sebagai salah urus. "Pelaksanaan NEP justru mengikis kepercayaan penanam modal di Malaysia," kata Alex ketus. "Banyak birokrat dan petualang politik telah menggunakan NEP sebagai lisensi untuk mencapai tujuan mereka." Kalau sinyalemen itu benar, tidak terlalu salah memang, jika dikatakan bahwa Melayu baru menang sorak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus