MALAYSIA belum sembuh benar dari pengalaman traumatik kerusuhan rasial 13 Mei 1969, ketika Tun Abdul Razak dilantik sebagai PM Malaysia, 1970. Rasa waswas dan kecurigaan kelompok Cina terbangkit kembali, karena Razak dikenal sebagai pejuang hak-hak Istimewa puak Melayu. Turunnya Tunku Abdul Rahman, yang buat sebagian generasi muda Melayu tak lebih dari "pembela Cina", mencemaskan etnik Cina. Ketidakhadiran Tunku sebagai tokoh yang bisa "main" di panggung politik yang komunal di negara itu memaksa Cina merapatkan barisan. Razak ternyata bisa "bermain". Ia melakukan beberapa terobosan politik yang bisa diterima semua pihak. Ia menciptakan Dasar Ekonomi Baru atau NEP (New Economic Policy). Golongan Cina menerima ini, karena NEP yang menganakemaskan Melayu itu, ditetapkan berlaku sementara, hanya sampai tahun 1990. Atau barangkali mereka memperhitungkan, bila kedudukan ekonomi Melayu sudah kuat, kesenjangan rasial -- yang disebabkan kecemburuan kaum Melayu -- akan hilang dengan sendirinya. Husein Onn, yang menggantikan Razak juga seorang moderat. Ia meneruskan program-program Razak. Baru ketika Mahathir Mohamad terpilih sebagai PM, 1981, golongan Cina betul-betul khawatir. Bagaimana tidak. Mahathir adalah pejuang kepentingan Melayu yang radikal. Bukunya Dilema Orang Melayu sudah membuktikan dengan jelas pokok pikirannya yang pernah dituduh "chauvinistis Melayu". Namun, pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Mahathir juga seorang yang realistis. Ia sadar, agar satu pemerintahan bisa bekerja dengan baik, kompromi antarras tak bisa ditinggalkan. Atas dasar pemikiran itu ia memelihara dan memupuk terus kerja sama dalam Barisan Nasional yang telah dirintis oleh UMNO sejak negeri itu memperoleh kemerdekaan pada 1957. Tapi ada musibah di kalangan mitra UMNO dalam Barisan Nasional, yakni kemelut MCA. Peristiwanya dimulai dengan skandal keuangan yang menyangkut Tan Koon Swan pada 21 Januari tahun silam. Tan, yang baru saja menduduki jabatan Ketua MCA selama dua bulan, ditangkap polisi Singapura ketika sedang berada di kota itu mengurus bisnisnya. Politikus dan salah satu cukong terkemuka Malaysia itu dituduh terlibat bisnis tak jujur yang menyangkut sekitar Sing$ 65,5 juta. Sebenarnya, sejak November 1985, Tan berada di bawah tekanan untuk menyelamatkan Pan Electric Industries (Pan El) yang berada dalam kesulitan uang. Pan El adalah perusahaan berbentuk koperasi yang modalnya dimiliki para pendukung MCA. Tan harus menyelamatkan perusahaan itu dengan segera. Di sinilah ia, bersama dengan seorang mitra bisnisnya yang bernama Tan Kok Liang, mengambil langkah-langkah yang melanggar peraturan keuangan Singapura. Departemen Penyelidikan Kejahatan Perdagangan Singapura (CAID) menuduh keduanya telah menggelapkan dana dari beberapa perusahaan, buat membeli saham-saham di perusahaan lain atas nama perusahaan ketiga. Tuduhan itu terbukti dan beberapa bulan kemudian ia dijatuhi hukuman 2 tahun kurungan. Skandal Tan mengakibatkan krisis di tiga arah. Pertama, ketegangan hubungan bilateral Malaysia-Singapura. Golongan Cina Malaysia menganggap perkara itu sebagai upaya Singapura untuk mencoreng muka MCA, partai Cina terbesar dalam Barisan Nasional. Di dalam MCA sendiri timbul krisis kepemimpinan. Tan terpaksa meletakkan jabatan dan terjadi kisruh di dalam. Tapi yang paling mcngecewakan anggota MCA adalah keengganan Mahathir untuk mengedrop dana buat menarik Pan El dari kebangkrutan. Ketidakpedulian pemerintah itu dianggap mengingkari kerja sama antarpartai dalam kubu Barisan Nasional. Kecurigaan bahwa Mahathir tak lebih dari seorang "chauvinis Melayu" yang tak peduli pada nasib kaum non-Melayu kambuh lagi. Sebenarnya, sikap "tidak peduli" UMNO tidak bisa dituduhkan seluruhnya kepada kepemimpinan Mahathir. Nasib buruk yang menimpa Pan El datang bersamaan waktunya dengan memburuknya perekonomian Malaysia. Pasar saham dan property market melemah, sedangkan uang untuk modal sukar diperoleh, hingga banyak perusahaan gulung tikar. Di samping itu, komoditi Malaysia di pasar internasional -- karet dan kelapa sawit -- tak menghasilkan banyak devisa. Harga timah jatuh, sedangkan sumber-sumber minyaknya tak cukup kaya. Golongan Cina amat terpukul oleh resesi itu. Dominasi mereka di bidang ekonomi terutama dalam bidang pertimahan -- ternyata menjadi bumerang bagi mereka. Yang membuat golongan ini lebih frustrasi adalah anggapan umum kaum Melayu yang mengira hidup mereka baik. Padahal, Cina miskln pun tak kurang jumlahnya. Yang paling menderita karena krisis itu tentu saja MCA sendiri. Kepercayaan para pendukungnya goyah, citra MCA sebagai pelindung golongan Cina mulai luntur. Ini terlihat pada hasil Pilihan Raya (pemilu) Agustus 1986, ketika MCA hanya berhasil merebut 17 dari 24 kursi yang dulu dikuasainya. Sementara itu, UMNO kebagian 120 kursi -- cuma kehilangan 3 kursi. Yang bersorak menang tak lain kubu oposisi: Partai Aksi Demokrasi (DAP Democratic Action Party) merebut 24 kursi di parlemen, sedang sebelumnya hanya menguasai 9 kursi. Tak salah lagi, kini giliran DAP tampil sebagai pembela kepentingan Cina. Dan pendiri partai itu, yang bernama Lim Kit Siang, memang paling lantang mengecam pemerintah. Ia pun paling berani membela warga Cina. Sementara itu, MCA dilanda keresahan. Angkatan mudanya mulai tidak puas dan menuntut agar MCA tak hanya "mengekor" pada UMNO. Menurut mereka, MCA harus bersikap lebih keras, lantang, dan terbuka dalam membela kepentingan puak Gna. Itulah yang harus diperbuat kalau MCA ingin mempertahankan eksistensinya. Itu juga pendapat Lee Kim Sai, 50 tahun, wakil ketua MCA yang juga menjabat menteri perburuhan dalam kabinet Mahathir. Ia menginginkan adanya revitalisasi. Alhasil, di dalam organisasi itu berlangsung suatu proses radikalisasi, yang sialnya justru terjadi ketika proses yang sama juga melanda UMNO. Tak mengherankan kalau dalam 7- 8 bulan terakhir muncul dan mulai terdengar istilah "polarisasi" ras di kalangan golongan kelas menengah di kota-kota. Media massa sering mengetengahkan pelbagai polemik yang menjurus ke SARA. Di samping itu, debat-debat yang menyrempet-nyrempet bahaya juga muncul. Lee Kim Sai, yang berambisi jadi ketua MCA, bahkan sesumbar bahwa di Malaysia semua orang adalah bumiputra. Dengan ini, ia telah memasang sebuah bom waktu. Reaksi keras berhamburan dari kalangan Melayu. Namun, pemerintah tidak sigap mencegah maraknya kecenderungan radikal yang bisa mengarah ke konfrontasi rasial. Ada anggapan, gelombang penangkapan yang dilakukan pemerintah bukan untuk mencegah bentrokan rasial semacam peristiwa 13 Mei 1969. Alasannya: kebanyakan yang ditangkap adalah para pengritik Mahathir saja -- bukan yang mengobarkan sentimen rasial. Di balik langkah-langkah Mahathir, ketidakpuasan golongan Cina memang satu kenyataan tak terbantah. Pemogokan 18.000 murid Sekolah Rendah Jenis Kebangsaan Cina (SRKC) di Negara Bagian Penang -- digerakkan Lee Kim Sai -- dimaksudkan sebagai protes atas pengangkatan 36 kepala sekolah yang tak bisa berbahasa Mandarin. Coba dengar cerita Chou Lu Si, 50 tahun, sopir taksi dan bapak lima anak, yang berpenghasilan Mal$ 800 per bulan. Ia mengaku turut aktif menentang keputusan pemerintah itu. "Kalau tak ditentang, pemerintah bakal sewenang-wenang memaksakan kemauannya. Bagaimanapun juga, Huay (bahasa Cina Mandarin) masih penting buat anak-anak kami. Kami tak mau bahasa itu tak dikenal lagi oleh generasi penerus kami," katanya serius. Pihak orangtua murid curiga, kalau penempatan guru-guru itu tak diprotes, pemerintah akan menempati lebih banyak lagi guru yang tak bisa berbahasa Cina. Buntutnya rawan: bahasa Cina akan dihapus dari kurikulum sekolah dan pelan-pelan akan terlupakan. Buat mereka, bahasa Cina adalah simbol eksistensi, kendati nereka tak menentang bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. "Dalam jangka panjaag, kalau bahasa Mandarin dihapuskan, lama-lama kami tak bisa mengelak lagi dari dominasi bahasa dan bangsa Melayu. Kami tak keberatan belajar bahasa Melayu, tapi janganlah bahasa Mandarin dihilangkan. Kami 'kan tidak lebih rendah dari mereka, dan sebaliknya kami tak menganggap mereka lebih rendah. Di negeri ini Huaren (etnik Cina) dan Melayu sama derajatnya," kata Chou lagi. Situasi di Malaysia kini sedang berkembang ke arah titik ledak, dengan kedua bangsa Melayu dan Cina condong bersikap radikal. Agaknya, milah masa uji coba terberat bagi PM Mahathir, juga bagi kehidupan bernegara di Malaysia. A. Dahana (Jakarta), M. Cholid (Kuala Lumpur, Penang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini