ADA yang aneh pada Presiden Afganistan Hamid Karzai beberapa bulan terakhir. Tak seperti layaknya kepala negara, ke mana-mana ia tak lagi dikawal tentara nasional Afganistan. Ke kantor, ke rumah, atau turne ke kampung-kampung, ia dikawal pasukan Amerika Serikat. Pasukan pengamanan presiden yang selama ini menjaganya ia minta kembali ke barak.
Sudah lama sebetulnya Karzai merasa tak aman. Menjadi presiden, ia merasa seperti duduk di atas bara. Konflik di dalam pemerintahannya tak kunjung berakhir. Musuh yang mengintai itu datang dari dalam selimut sendiri. Dialah Menteri Pertahanan Jenderal Muhammad Fahim, bos para tentara—termasuk pasukan yang semula mengawal Karzai.
Perselisihan itu dua pekan lalu memuncak. Dalam sebuah rapat, Karzai menghardik Fahim. Karzai meminta agar Fahim menghindari nepotisme dengan mengurangi personel Tajik—etnis asal Fahim—dalam tubuh militer. "Anda memang Menteri Pertahanan. Tapi, sebagai presiden, saya adalah panglima tertinggi angkatan bersenjata," kata Karzai seperti dikutip seorang menteri. Fahim kabarnya tak menjawab, tapi pipinya yang tembam memerah tanda ia menahan marah.
Perseteruan Karzai dengan Fahim memang bukan pertengkaran kemarin sore. Fahim adalah pemimpin Aliansi Utara, yang punya peran besar dalam membebaskan Afganistan dari cengkeraman Taliban.
Fahim adalah pemimpin militer dari Lembah Panjshir dan menjadi penerus Ahmad Shah Massoud, tokoh Tajik legendaris yang mati terbunuh beberapa hari menjelang peristiwa 11 September. Fahim punya banyak pengikut. Ia juga anggota Jamiat-e-Islami, partai politik terbesar di Afganistan.
Adapun Karzai beretnis Pashtun, etnis mayoritas di Afganistan. Ia adalah pengikut Raja Zahir Shah yang setia. Ia memang menghabiskan banyak waktunya di luar negeri. Tapi Karzai beruntung: ia didukung AS sehingga bisa duduk di kursi presiden.
Di sinilah duduk persoalannya: hubungan Karzai dengan Fahim diwarnai prasangka etnis dan kecemburuan antar-pemegang kekuasaan. "Fahim adalah bekas preman perang, dan kita tak bisa mencapai perdamaian dengan orang seperti itu," kata seorang deputi menteri yang dekat dengan Karzai.
Melawan Karzai, Fahim membangun dinasti Tajik dalam departemennya. Hampir semua tentara Afganistan adalah orang Tajik, khususnya bekas pejuang Mujahiddin dari Lembah Panjshir.
Karzai tahu, Fahim tak mudah ditaklukkan. Karena itu, belum lama ini Karzai membentuk Dewan Keamanan Nasional, sebuah lembaga yang menaungi Departemen Pertahanan. Tujuannya agar ia lebih bisa memegang tentara.
Karzai juga berusaha menggoyang posisi Fahim sebagai Menteri Pertahanan. Caranya dengan menawari Fahim posisi wakil presiden bersama dua wakil presiden yang lain. Lagi-lagi tujuannya adalah melucuti kekuatan sang Jenderal. Dengan menjadi wapres, Fahim akan menjadi orang nomor dua, sementara tentara dikuasai orang lain.
Rencana ini ditolak Fahim. "Saya ingin menjadi wakil presiden dan Menteri Pertahanan sekaligus," katanya. Karzai menyergah, "Kalau begitu, Abdul Qadir juga akan menjadi wapres sekaligus Menteri Perumahan." Qadir adalah menteri beretnis Pashtun yang tewas terbunuh Juli lalu. Fahim marah. Malamnya, enam roket meledak tak jauh dari istana kepresidenan. "Mereka ingin mengatakan bahwa, jika mau, mereka bisa melukai Karzai," kata orang dekat Presiden.
Sejauh ini Karzai sulit bertindak tegas terhadap Fahim, apalagi sampai memecat sang Jenderal. Bukan hanya karena langkah itu bisa memancing perang saudara, tapi juga karena, dalam kasus ini, AS memainkan politik dua kaki.
Di satu sisi, AS membenci Fahim. Di sisi lain, negara itu "membutuhkan Fahim untuk memerangi terorisme dan sisa-sisa Taliban", demikian kata sumber harian The Washington Post di Pentagon.
Ini memang dilematis. Belum lama ini, misalnya, Deputi Menteri Pertahanan AS, Paul D. Wolfowitz, meminta Karzai mengganti Muhammad Fahim. Tapi di saat yang sama pemerintah AS menawarkan latihan militer kepada Aliansi Utara.
Sampai kapankah ketegangan ini akan berlangsung? Tak ada yang bisa memastikan. Fahim sendiri tahu betul bahwa ia kini jadi sorotan. Belakangan, di depan publik ia berusaha tampil kalem. Ia melepas seragam militernya dan menggantinya dengan jas sipil. Ia tahu persis: dengan atau tanpa seragam tentara, ia tetap bisa mempengaruhi politik Afganistan.
Arif Zulkifli (Washington Post, BBC, Afghan-info.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini