Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Barak di Pengujung Batas Waktu

Sementara batas waktu perdamaian Timur Tengah semakin dekat, konflik Israel dengan negara-negara Arab semakin buruk. Bisakah batas waktu kesepakatan damai terpenuhi?

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Ehud Barak, tahun 2000 adalah masanya menunaikan janji. Seluruh kawasan Timur Tengah telah memiliki kesepa katan berbagai penyelesaian sepanjang tahun ini. Tapi Perdana Menteri Israel itu, yang sejak menjabat Mei tahun silam sudah menyatakan berniat menyelesaikan konflik Israel-Palestina—yang menjadi jantung konflik Israel dengan negara-negara Arab—akhirnya menjadi ragu. Konflik senjata meletus lagi.

Pertikaian bersenjata di kawasan Lebanon Selatan dan Israel Utara dua pekan silam tidak saja memperburuk hubungan Israel dengan Lebanon (TEMPO Edisi 14-20 Februari 2000), tapi juga mengancam kesepakatan damai antara Israel dan negara-negara Arab. Padahal, pihak-pihak yang bersengketa dalam persoalan Lebanon Selatan baru saja menggantung senjata dan kembali berunding Desember lalu, setelah empat tahun vakum.

Tak urung, Menteri Luar Negeri Suriah, Rarouk al-Sharaa, mengirimkan surat protes ke Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. Surat itu menyatakan bahwa Israel sengaja melanggar kesepakatan damai yang ada.

Suriah, yang pernah menduduki Lebanon, memang masih sangat peduli dengan persoalan Lebanon-Israel, sehingga apa pun yang terjadi dengan Lebanon akan langsung berdampak pada Suriah. Protes Suriah ini juga berkaitan dengan gagalnya Perundingan Shepherdstown antara Israel dan Suriah, yang membahas penarikan mundur pasukan Israel dari Golan. Pengeboman wilayah Lebanon Selatan yang dilakukan Israel semakin memanaskan situasi di kawasan itu. Sebaliknya, pemerintah Israel menuduh pasukan Hizbullah—yang anti-Zionis dan menjadi musuh bebuyutan Yahudi—lebih dulu menyerang tentara Israel.

Saling tuding antara Israel dan negara-negara Arab di kawasan itu memang bukan suatu hal yang baru. Henry Cattan, penulis buku The Palestine Question, mengulas bahwa frekuensi tuduh-menuduh dan balas-membalas kekerasan ini sudah begitu sering sehingga sulit menunjuk siapa yang menjadi korban dan siapa agresor dalam konflik Israel dengan negara-negara Arab. Apalagi apa yang terjadi dengan satu negara di kawasan itu biasanya langsung berdampak ke negara-negara tetangganya.

Pertikaian Israel-Lebanon yang meledak lagi akan berdampak negatif terhadap proses perdamaian di kawasan itu karena Israel menandatangani perjanjian tidak hanya dengan Lebanon, tapi juga dengan Suriah, Yordania, dan Palestina. Semua perjanjian tersebut mempunyai batas waktu hingga tahun 2000.

Barak sudah gagal memenuhi batas waktu sebuah tahap perundingan Israel dengan otoritas Palestina, yang dipatok tanggal 13 Februari 2000. Sementara itu, batas akhir penarikan semua tentara Israel dari Lebanon Selatan adalah Agustus 2000. Dan batas penyelesaian masalah Israel dengan Palestina adalah September 2000, bersamaan dengan tahun baru Yahudi 5761.

Untuk membangun kepercayaan, Barak menawarkan pembicaraan ulang dengan Suriah pada April nanti, tapi banyak pihak sudah meragukan keberhasilan perundingan damai tersebut. Sejarah mengajarkan kepada bangsa Arab untuk skeptis terhadap janji-janji yang ditawarkan Israel. Lima kali perang antara bangsa Arab dan Israel serta keberadaan kelompok-kelompok yang bertentangan, seperti Hizbullah dan Hamas, dengan kelompok garis keras Israel merupakan faktor yang cenderung menjadi penghambat perundingan damai.

Berbagai pihak saling tak percaya dan sulit membayangkan bahwa konflik Israel-Palestina bisa tuntas hingga terbentuk negara Palestina.

Deklarasi Balfour (1917), yang memungkinkan bangsa Yahudi—yang tercerai-berai—kembali ke Palestina, misalnya, diputuskan oleh pemerintah Inggris sebagai pemegang mandat wilayah Arab pasca-Perang Dunia I. Keputusan ini dibuat tanpa memperhitungkan nasib bangsa Palestina yang sudah hidup di kawasan tersebut. Dan inilah yang dipercaya sebagai muara persoalan Palestina yang di kemudian hari melahirkan serangkaian perang dan sederetan perundingan yang tak kunjung usai.

Cattan mencatat, ketidakpastian nasib bangsa Palestina disebabkan oleh teror bangsa Yahudi, penyingkiran-penyingkiran bangsa Palestina dari tanahnya, dan tidak adanya otoritas yang efektif untuk mengatur wilayah Palestina. Akibatnya, sekitar empat juta bangsa Palestina terserak sebagai pengungsi di Lebanon, Yordania, Suriah, dan Mesir.

Perdamaian di kawasan ini agaknya terjawab pada tahun 2000 ini. Jika semua batas waktu itu dianggap angin lalu, seluruh perangkat kepercayaan yang dibangun dalam serangkaian perundingan itu akan runtuh. Dan peperangan pun akan berkobar lagi….

Bina Bektiati (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus