Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boleh jadi, inilah proyek paling bergengsi bagi Erna Witoelar: menyelamatkan Jakarta. Bukan dari ancaman teror, bukan dari percobaan kudeta, tapi dari serbuan banjir. Targetnya, lima tahun lagi Jakarta bebas air bah.
Bisakah ambisi ini dipenuhi? Moga-moga saja. Yang pasti, dengan dana terbatas, Menteri Negara Permukiman dan Pengembangan Wilayah itu tak bisa berbuat banyak. Pembangunan Banjir Kanal Timur yang digagas sejak 30 tahun lalu, misalnya, mustahil dijalankan karena makan ongkos sampai Rp 7 triliun.
Lalu apa akal? Ada ide yang murah tapi bukan tanpa masalah: membangun banjir kanal, bukan di Jakarta, tapi jauh di hulu Ciliwung, yang sering dituding sebagai sumber banjir Ibu Kota. Dari Ciliwung, air disalurkan ke hulu Cisadane, melalui terowongan bawah tanah. Dengan terowongan bergaris tengah delapan meter itu, air berlebih yang bisa mengancam Jakarta dibelokkan. Terowongan pengendali banjir ini akan dimulai dari Katulampa, di selatan Bogor, tempat kedua sungai besar itu berjarak cuma satu kilometer.
Harus diakui, terowongan Katulampa bukanlah ide orisinal Erna. Sejak empat tahun lalu, Departemen Pekerjaan Umum sudah menggodok gagasan gorong-gorong raksasa ini sebagai pengendali banjir di Jakarta. Tapi, baru pada era Erna inilah, kanal bawah tanah itu mulai terlihat sosoknya. Proyek senilai Rp 1 triliun ini akan ditenderkan Mei mendatang. Diharapkan, empat tahun lagi proyek yang dibiayai bantuan Jepang ini bisa diselesaikan.
Persoalannya, apakah dengan terusan underground ini masalah banjir di Jakarta akan selesai. Belum tentu. Ada beberapa persoalan. Berbeda dengan banjir kanal Jakarta yang bisa memobilisasi limpahan air di seluruh Ibu Kota, sodetan Katulampa cuma menghadang serbuan air di daerah hulu. Akibatnya, sisa air yang menderas di sepanjang aliran Sungai Ciliwung, mulai dari terowongan itu ke utarake arah Bogor, Cibinong, sampai Jakartatetap saja meluber. Mereka akan menyerbu ke got, gorong-gorong, dan akhirnya ke kali, yang boleh jadi akan membenamkan Ibu Kota juga.
Selain itu, limpahan air yang terkonsentrasi di Cisadane akan melahirkan masalah baru di daerah hilir. Dari Katulampa, kali besar itu membelok ke barat, menyusuri pinggiran Bogor, Serpong, kemudian membelah Tangerang, sebelum bermuara di Laut Jawa. Gampang diduga, kiriman air dari Ciliwung membuat Cisadane lebih mudah meluap dan, mungkin saja, menenggelamkan Tangerang.
Menghadapi ancaman ini, Dirjen Pembangunan Pedesaan, Sunarno, mengakui belum menyiapkan jurus apa pun. "Soal Tangerang, nanti dululah," katanya. Lo, maksudnya? Sunarno mengingatkan, terowongan Katulampa paling cepat baru beroperasi empat tahun lagi. Proyek penyelamatan Tangerang, kalaupun ada gagasannya, mesti mengantre dulu.
Sementara itu, untuk menjawab ancaman limpahan air di Ibu Kota, Erna telah menyiapkan sejumlah jurus. Yang pertama, melanjutkan proyek lama Departemen Pekerjaan Umum dengan membenahi daya tampung situ-situ (danau penampung air hujan) yang tersebar di Bogor dan Jakarta. Baskom-baskom raksasa ini akan jadi tempat parkir sementara air hujan yang tercurah dari langit.
Selain itu, Erna juga terus mereparasi aliran air dan daya tampung 13 sungai di Jakarta. Sekitar Rp 59 miliar telah disiapkan untuk membersihkan kali-kali dari timbunan sampah. Pemerintah juga menyodet beberapa sungai untuk memecah aliran air jika hujan lebat.
Itu pun tak menjamin Jakarta selamat dari serbuan air bah. "Pelbagai proyek ini," kata Sunarno, "cuma menurunkan ancaman banjir." Nyoto Santoso, penggiat lingkungan dari Yayasan Mangrove, mengatakan bahwa sejak kawasan Puncak, Bogor, berubah fungsi dari daerah resapan air hujan menjadi perumahan, ancaman banjir di Jakarta tak akan pernah susut.
Karena itu, Nyoto menawarkan konsep sumur resapan, yang mampu mengubah seluruh air hujan langsung menjadi air tanah. Selain itu, budaya membuang sampah sembarangan juga mesti dihardik agar tidak dilestarikan. Singkat kata, membebaskan Jakarta dari ancaman banjir bukan cuma membenahi bangunan fisik. Selama kualitas hidup rakyat tetap papa, lebar sungai akan terus menciut, kedalaman kali juga ikut mengerut.
Dan itu artinya, ancaman banjir tetap mengerikan.
DSI, Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo