Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebuah Prahara tanpa Titik

Tentara Republik Irlandia menarik diri dari perjanjian perlucutan senjata. Genderang perang telah ditabuh.

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tony Blair kehilangan senyum. Hawa sejuk musim dingin kali ini pun tak bisa melunturkan ketegangan di wajahnya. Langkah Perdana Menteri Inggris untuk mengakhiri konflik di Irlandia Utara tiba-tiba mandek. Padahal, sebelumnya, semua berjalan lancar. Blair berhasil mengupayakan gencatan senjata di antara kelompok yang bertikai. Namun, kini, semua upaya yang telah dilakukan kembali mentah.

Suhu di kawasan ini memang kembali memanas. Penyebabnya, 15 Februari silam. Tentara Republik Irlandia (IRA) mendadak menarik diri dari proses perlucutan senjata setelah pembicaraan itu mengalami kemacetan. Mereka juga menarik wakilnya yang ada dalam komisi itu. IRA menuntut Inggris agar mengembalikan proses perdamaian ke jalurnya semula.

IRA menuntut supaya Inggris menaati perjanjian program perlucutan senjata yang dimulai sejak 17 November tahun silam. Ini adalah upaya mereka untuk mewujudkan sebuah keadaan politik seperti yang tercantum dalam Perjanjian Jumat Agung, yakni diselenggarakannya pemerintahan di Irlandia Utara.

IRA menuduh kebuntuan ini sengaja diciptakan karena kepongahan kaum partai yang pro-Inggris. Kemandekan ini juga disebabkan pemerintah Inggris yang kurang serius dalam melaksanakan keputusan Perjanjian Jumat Agung.

Gerakan IRA sebenarnya sudah bisa diduga. Beberapa hari sebelumnya, IRA meledakkan sebuah bom di Hotel Mahon, Fermanagh, Irlandia Utara. Meski tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, ledakan ini mengundang keprihatinan.

Setelah IRA memutuskan mundur dari kesepakatan itu, Tony Blair dan koleganya, Bertie Ahern, Perdana Menteri Irlandia, mencari solusi yang terbaik. Ahern mengatakan, sesungguhnya pihaknya tidak setuju dengan keputusan penundaan penyelenggaraan pemerintahan itu. Tindakan itu bisa membuat suasana di kawasan tersebut kembali mendidih.

Ahern mengatakan bahwa dirinya berkeinginan membangun kembali pemerintahan yang dibentuk berdasarkan koalisi kekuasaan di Irlandia Utara itu. Pembentukan pemerintahan yang melingkupi Katolik dan Protestan ini, yang tertuang dalam Perjanjian Jumat Agung, merupakan kunci utama untuk mengakhiri konflik sektarian di kawasan tersebut. Menurut Ahern, Inggris dan Irlandia kini telah menyatukan pandangan dalam upaya mereka untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan yang ada sekarang ini.

Perlawanan Irlandia Utara adalah sebuah perjalanan panjang. Selama hampir empat abad mereka terus melakukan perlawanan terhadap Inggris. Namun, kelompok ini mulai terorganisasi setelah gerakan politik Sinn Fein berdiri pada 1905. Gerakan ini berubah menjadi sayap politik IRA. Dan selama mereka belum berhasil merebut wilayah yang dianggap miliknya seperti pada abad ke-19—yaitu sebelum tanah airnya diduduki Inggris Raya—agaknya sulit untuk menghentikan perlawanan kelompok ini.

IRA merupakan salah satu klandestin tertua dan tangguh di dunia. Kelompok ini memiliki ratusan anggota, yang berbasis di zona perang tradisional di Irlandia Utara, yakni di daerah yang mayoritas penduduknya masih menginginkan peraturan dari London. Perlawanan yang mereka lakukan selama 80 tahun membuat mereka memiliki struktur dan keahlian yang terlatih. Gerakan ini dipimpin oleh tujuh anggota dewan tentara. Mereka ini yang bertanggung jawab terhadap jenis bom yang mereka pakai untuk menyerang kota-kota di Inggris dan strategi perang di Irlandia Utara sendiri.

Saat ini, mereka disinyalir tengah mengadakan latihan militer. Mereka merekrut anggota dan melatih cara menggunakan senjata mesin dan senjata kayu lainnya di wilayah perbukitan di sepanjang perbatasan. Namun, hal itu dilakukan bukan dalam rangka persiapan perang, melainkan sebagai upaya memberitahukan pada masyarakatnya mengenai keberadaan mereka. “Perlucutan senjata sama saja dengan menyerah,” ujar seorang simpatisan IRA.

Arah angin memang masih belum bisa ditebak. Namun, pertemuan tokoh Sinn Fein, Martin McGuinness, dan tokoh Ulster yang pro-Inggris, David Trimble, serta sejumlah orang penting di Gedung Putih, bolehlah jadi harapan. Hasil pertemuan itu bisa membuat tetabuhan genderang perang makin nyaring atau malah sebaliknya.

Irfan Budiman (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus