DALAM sejarah komunisme di Cina lebih dari 30 tahun terakhir ini
ada dua tokoh yang paling berpengaruh dan banyak menentukan.
Keduanya punya sifat yang sangat berlainan, tapi dalam kelainan
itulah justru keduanya bisa saling mengisi. Kedua figur itu
adalah Mao Tse-tung dan Chou Enlai. Kini, keduanya telah tiada.
Namun, bekas-bekas tangan Mao dan Chou nampaknya tak akan mudah
terhapus dan pengaruhnya akan tetap terasa di RRC untuk masa
depan yang cukup panjang.
Mao sejak kecil adalah seorang pemberontak. Ia selalu muncul
dengan gagasan-gagasan yang radikal. Lihat saja: Lompatan Jauh
ke Muka, Revolusi Kebudayaan dan gerakan-gerakan lain yang
semacam. Sebaliknya Chou. Ia selalu melihat keadaan yang
sebenarnya. Berdasarkan keadaan yang dilihatnya itu ia membuat
berbagai kebijaksanaan. Ia adalah teknokrat. Hasil-hasil
pemikirannya bisa disaksikan sampai sekarang, misalnya
pendekatan dengan Amerika, dan yang terakhir malah menjadi
program yang telah disyahkan oleh Kongres Rakyat Nasional yang
baru dua minggu lalu selesai bersidang yaitu, modernisasi.
Intinya adalah membangun RRC menjadi suatu negara modern
menjelang abad ke-21 .
Model Manusia
Jadi kalau Mao bisa dianggap sebagai tokoh bapak revolusi Cina
dan "nakhoda agung pembimbing massa rakyat," maka Chou adalah
seorang paman yang murah hati dan mengadakan pendekatan kepada
rakyat Cina dengan cara yang penuh kemanusiaan. Semasa hidupnya
Mao memperoleh pengkultusan, sedangkan Chou sangat dicintai
rakyat.
Akan tetapi akhir-akhir ini mendiang Chou En-lai juga sedang
menjadi obyek pengkultusan. Ini terjadi menjeiang eringatan
kematiannya yang kedua bulan April mendatang, dan memperingati
kelahirannya yang ke-80. Nampaknya para penguasa di Peking
sekarang sedang membentuk suatu gambaran bahwa Chou merupakan
seorang model manusia pragmatis yang selalu memikirkan peri
kehidupan rakyat.
Sejalan dengan itu, sejak dua minggu sebelum KRN mulai
bersidang, suatu gerakan untuk mengkultuskan Chou mulai
dilancarkan. KRN telah berakhir, tapi tak ada tanda-tanda bahwa
pemujaan terhadap almarhum Chou akan terhenti. Nampaknya, di
samping Mao, Chou pun akan jadi mitos.
Baru-baru ini di Musium Sejarah Rakyat Cina yang terletak dekat
Lapangan Tien An Men telah dibuka suatu pameran foto-foto
kehidupan Chou En-lai.Akhir-akhir ini pun karirnya menjadi obyek
beberapa film dokumenter yang dipertunjukkan di seluruh negeri.
Dan koran-koran resmi muncul dengan tulisan-tulisan yang
memuji-muji tokoh ini. Bahkan banyak sekali segi-segi kehidupan
Chou menjadi bahan untuk penyusunan cerita-cerita sandiwara,
buku-buku, sendratari dan puisi-puisi pujaan.
Yang paling populer dari semua bentuk pujian itu ternyata suatu
sandiwara kanak-kanak yang diberi judul "Tukang Koran". Ini
berdasarkan kepada masa ketika Chou En-lai berada di kota
Chungking. Pemerintah nasionalis, menurut cerita tersebut,
menguasai kota itu pada tahun 1941 dan melakukan
tindakan-tindakan keganasan. Namun, sang tokoh secara berani
menolong PKC mengedarkan koran-koran yang diterbitkan oleh kaum
komunis.
Chou En-lai berasal dari keturunan petani kaya dan terpelajar,
serta dididik secara tradisionil. Ini membawa orang untuk
teringat kepada suatu perjalanan di akhir tahun 50-an ke Moskow.
Ketika tiba di lapangan terbang Moskow ia dijemput oleh Nikita
Krushchev dengan kata-kata sebagai berikut: "Perbedaan yang
paling utama di antara kita adalah kenyataan bahwa kawan Chou
adalah seorang aristokrat sedangkan saya cuma seorang petani."
Ternyata pembicaraan antara kedua pemimpin ltu tak menghasilkan
apa-apa, malahan memperbesar jarak antara Cina dengan Moskow.
Akhirnya ketika Chou akan terbang kembali ke Peking, di lapangan
terbang ia menyindir Krushchev dengan mengatakan: "Persamaan
utama di antara kita adalah kenyataan bahwa kita adalah
pengkhianat dari masing-masing kelas dari mana kita berasal."
Maksudnya Chou mengkhianati kelas aristokratnya, sedangkan
Krushchev -- menurut penilaian Chou--adalah pengkhianat kaum
tani.
Hegemonisme
Pameran yang diselenggarakan para seniman Peking baru-baru ini
secara gamblang hendak menunjukkan bagaimana Chou En-lai telah
menanggalkan latar belakang "watak kelasnya," dicampur dengan
perasaan nasionalisme dan kemarahan atas kondisi sosial rakyat
Cina yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Ini semua
membawanya ke komunisme.
Makin jelas bahwa "teologi" yang dianut para penguasa Cina
dewasa ini terdiri dari dua komponen: lagu-lagu pujian semuanya
diperuntukkan buat Mao. Akan tetapi "praktek peribadatannya"
berbau Chou En-lai. Setiap perbuatan Chou En-lai semasa hidupnya
yang disajikan berupa tulisan, lisan ataupun dalam karya-karya
seni di RRC semuarlya ditujukan sebagai "peri teladan" moral.
Rakyat diberi petuah bahwa ia adalah seorang "model komunis" dan
politik luar negeri yang diciptakannya merupakan hal yang
"dengan benar mengibarkan panji pikiran-pikiran Mao" yang selalu
berjuang melawan "chauvinisme negara besar dan hegemonisme."
Kultus terhadap Chou En-lai dijadikan senjata untuk melawan
berbagai kepincangan yang sedang dilancarkan oleh pemerintah RRC
sekarang. Misalnya salah urus, radikalisme tak terkendali yang
diakibatkan oleh "komplotan Empat", korupsi, keterbelakangan
teknologi, kekalutan pendidikan dan lain-lain lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini