SIDANG perkara Sawito Kartowibowo masih terus berlangsung dengan
banyak pengunjung, meski tak seriuh hari-hari permulaan
pemeriksaan. Tepuk tangan dan sorak hadirin juga masih ramai
terdengar menyambut tingkah lucu terdakwa atau ucapan pembela
Mr. Yap yang berkenan.
Tapi acara sidang, akhir-akhir ini, agak seret. Untuk ketiga
kalinya, Senin 27 Maret, jaksa Mappigau SH tak berhasil juga
menghadapkan saksi penting, Mayor Jenderal Ishak Djuarsa, ke
muka majelis hakim pimpinan M. Soemadiono SH. Saksi, perwira
tinggi yang pernah menjabat Panglima Daerah Militer di Aceh, dan
Dubes RI di Yugoslavia sebentar, harusnya berdiri di muka hakim
pada 13 Pebruari. Lalu,karena jaksa belum dapat membawanya,
sidang diundurkan sampai 27 Pebruari. Pun, meski jaksa telah
memanggilnya lewat POM ABRI, dengan surat panggilan yang
terakhir 15 Maret, Ishak Djuarsa masih belum juga muncul pada
sidang akhir bulan lalu.
Jaksa tak membukakan kesulitannya membawa saksi yang satu ini.
Majelis hakim pun, tampaknya, tak begitu mendesak. Tinggal Yap
Thiam Hien yang penasaran. "Apakah saksi sudah mati? Atau dalam
keadaan sakit hingga tak dapat berjalan ke mari?" desak Yap.
"Pihak yang secara fisik menguasai saksi (saksi ditahan oleh POM
ABRI--Red.) harus dipanggil dan dimintai keterangannya oleh
majelis." Sebab, menghalang-halangi hadirnya saksi, menurut Yap,
"bukan saja melanggar hak-hak terdakwa, tapi juga merupakan
penghinaan bagi pengadilan dan kehormatan hakim."
Namun, apa boleh buat, majelis hakim sendiri tak merasa terhina
sedikit pun. Majelis setuju dengan sikap jaksa,yang menyatakan
"kita tak perlu tergopoh-gopoh menilai sebagai penghinaan."
Setelah sidang dihentikan 10 menit, Soemadiono menolak tuduhan
pembela dengan alasan "surat panggilan yang dikirim jaksa 15
Maret belum dijawab yang bersangkutan." Maka majelis perlu
memberi kesempatan seminggu bagi jaksa untuk berusaha
menghadapkan saksi Ishak Djuarsa.
Yap usul, agar dalam surat panggilan berikutnya, jaksa
menegaskan sanksisanksi jika panggilannya tak ditaati tanpa
alasan hukum yang sah. Soemadiono meneruskan usul Yap dan Jaksa
Mappigau mengangguk.
Untung urusan tak jadi berlarut-larut. Hari Senin berikutnya, 3
April, Muhammad Ishak Djuarsa (55 tahun) dapat menghadap
pengadilan. Dia memberikan kesaksian sekitar pertemuan dan
diskusinya dengan Bung Hatta, Mr. Iskaq, Mr. Soedjono dan
Sawito. Pembicaraan tak lain menilai situasi dan kondisi negara.
Negara, katanya, dalam keadaan yang mengkhawatirkan.
"Perkembangan keadaan yang menjurus pada penyimpangan Pancasila
dan UUD '45." Seperti: korupsi merajalela, tindakan alat-alat
negara yang memeras dan menindas rakyat, pos-pos liar,
sogokan-sogokan, mendapatkan jabatan dan pangkat dengan uang
semir. Juga apa yang disebut "mengalirnya pengusaha asing yang
akan menyisihkan pengusaha nasional" dan "hubungan erat antara
pejabat dengan Cina. "
Pembicaraan -- seluruhnya tak kurang dalam empat
pertemuan--menghasilkan kesimpulan: Bung Hatta akan mencoba
menasehati Presiden Suharto agar mengambil langkah-langkah untuk
perbaikan. Jika Presiden tak mampu? "Terpaksa harus diambil
jalan lain," kata saksi. Menurut "penilaian bersama,"Bung
Hattalah calon tepat sebagai pimpinan nasional. "Punya
kepribadian dan integritas." Mula-mula, begitu kata saksi, Bung
Hatta memang menolak. Alasannya sudah sepuh. "Tapi menurut
pendapat saya, " kata Djuarsa, "seorang kepala negara itu tidak
tergantung tua atau muda, yang penting waras dan berwatak."
Sawito Tanya
Bung Hatta, begitu kesimpulan diskusi yang disampaikan Djuarsa,
akhirnya bersedia menggantikan Presiden Suharto. Dengan syarat,
"penggantian secara demokratis dan dikehendaki oleh rakyat,
banyak." Juga, berhubung umur dan kekuatannya, Bung Hatta minta
pendamping aktif. Belum ada nama seseorang yang dipastikan.
Hanya, menurut penilaian mereka, Jenderal Suronolah yang tepat
sebagai pendamping Hatta. Surono sendiri, sampai 'gerakan
Sawito' terbongkar, memang belum pernah dihubungi. Ishak Djuarsa
sendiri tak bersedia menghubunginya.
Sawito telah menyiapkan sederet pertanyaan bagi saksi Ishak
Djuarsa. Yaitu sekitar kisah dan pengalaman saksi yang pernah
diceritakan kepadanya. Misalnya cerita tentang keberhasilan
saksi, ketika menjabat sebagai Pangdam Aceh, dalam membekuk
kegiatan penyelundupan -yang kemudian perkaranya terpaksa
dibekukan atas perintah yang berkuasa. Juga berbagai soal lain,
cerita tentang pembebasan tanah, perkebunan, peternakan,
monopoli cengkeh, yang menurut Sawito bersumber dari Ishak
Djuarsa.
Namun, menurut majelis, pertanyaan Sawito itu tak relevan dengan
pokok perkara. Sawito mencoba bertahan. "Saya dituduh
menyebarluaskan kebohongan. Sekarang ini saya tanyakan kepada
bapak Ishak Djuarsa, apakah semua penyelewengan yang
disebutkannya itu kenyataan atau kebohongan? Saya kira Ishak
Djuarsa tidak bohong. Saya juga tidak bohong."
Ishak Djuarsa merupakan saksi ke-14 dari 30 saksi yang
direncanakan akan mendukung tuduhan subversi terdakwa Sawito.
Saksi penting lain, disebut-sebut, antara lain Kardinal
Darmojuwono, Mas Hugeng (bekas Kapolri), T.B. Simatupang dan
beberapa lagi. Sedangkan para pembela--Yap, Arman, Sunarto dan
Nurbany Jusuf -- mengharapkan Bung Hatta juga tampil sebagai
saksi. Tapi adakah majelis hakim akan mau?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini