Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP malam, tatkala waktu naik cetak mendekat, seorang redaktur harian berbahasa Inggris terbesar di Pakistan selalu kelabakan. Seorang wartawan seniornya kerap menghilang di saat-saat genting itu. Redaktur tersebut kemudian mengetahui anak buahnya ternyata menyempatkan diri pulang ke rumah demi menonton sinetron India yang sedang populer di layar kaca.
"Saya bertanya mengapa dia tak menonton tayangan ulangnya saja keesokan harinya. Dia menjawab, 'Saya juga menonton tayangan ulangnya,'" kata sang redaktur, terbahak.
Kisah yang dilansir The Pakistan Today lima tahun lalu itu masih terjadi hingga kini di Pakistan. Pesta pernikahan kerap ditangguhkan saat jam tayangan utama, sekitar pukul 8 malam, karena bertepatan dengan pemutaran sinetron India. "Perempuan Pakistan sangat terpengaruh oleh pakaian dan perhiasan dalam sinetron India. Mereka kerap menggunakannya saat pesta pernikahan," ujar Gulbadan Javed, aktivis warga dari Hyderabad, Sindh.
Korban sinetron India bagi Javed cukup dekat. Ibu mertua dan anak-anak Javed sudah duduk dengan khidmat di depan televisi, menanti tayangan sinetron India dari stasiun Star Plus, setiap malam.
Kemiripan bahasa Urdu (bahasa nasional Pakistan) dengan bahasa Hindi (bahasa India) serta kesamaan budaya membuat sinetron dan film layar lebar India laris manis di negara tetangga Pakistan. Situs Livemint pada Kamis pekan lalu menyebutkan film PK yang dibintangi aktor Aamir Khan pada 2013 berhasil mencapai penjualan nomor satu di Pakistan, mengalahkan film besutan lokal, Waar.
Meski kedua negara yang masih bersaudara ini telah mengalami tiga kali perang, kecintaan rakyatnya untuk mencintai budaya negeri jiran masing-masing tak kunjung surut.
Sebuah stasiun televisi India sejak 2014 menyajikan saluran yang khusus menyajikan drama dan musik dari Pakistan, Zindagi. Selama dua tahun beroperasi, stasiun televisi ini berhasil memikat puluhan juta penonton setia. Selain itu, sejumlah bintang film Pakistan turut serta dalam berbagai produksi film Bollywood, seperti artis cantik Mahira Khan dan aktor ganteng Fawad Khan.
Namun semua berubah dalam sebulan terakhir, saat Pakistan melarang tayangan film, drama televisi, hingga musikus India. Keputusan ini merupakan balasan atas larangan keterlibatan aktor dan musikus Pakistan dalam produksi film Bollywood sejak akhir September lalu. "Mengapa kita harus ke negara yang terus menghina kita?" tutur Syed Noor, produser film asal Pakistan, dalam debat di televisi pada September lalu.
Ketegangan pelaku seni kedua negara bermula pada 28 September lalu. Saat itu Asosiasi Produser Film Layar Lebar India mengumumkan aturan melarang warga Pakistan bekerja di Bollywood. Langkah ini dipicu oleh kematian 19 tentara India di Kota Uri, Jammu-Kashmir, beberapa hari sebelumnya. India menuding Pakistan melindungi para pelaku yang ingin menuntut kemerdekaan Kashmir.
"Sebagai penduduk India, kami menginginkan hubungan baik dengan tetangga. Tapi, jika tetangga berlaku buruk, kami akan mengingatkan mereka," kata Manoj Chaturvedi, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produser Film Layar Lebar India, kepada The New York Times pada akhir Oktober lalu. Asosiasi ini berperan besar dalam industri perfilman India karena menguasai jaringan bioskop tunggal di negara bagian besar, seperti Gujarat, Maharashtra, Karnataka, dan Goa.
Ketegangan meningkat saat partai ultrakonservatif Maharashtra Navnirman Sena (MNS) mengultimatum semua pekerja seni asal Pakistan untuk keluar dari India dalam kurun 48 jam atau "menghadapi risiko dipukuli". Mereka juga mengancam bahwa bioskop yang menayangkan film dengan pelakon asal Pakistan akan dijarah atau bahkan dibakar.
Salah satu film yang menghadapi ancaman adalah Ae Dil Hai Mushkil besutan sineas kondang Karan Johar. Film yang menghadirkan permainan diva India, Aishwarya Rai Bachan, ini menjadi sasaran kemarahan kaum ultrakonservatif dan nasionalis karena memasang aktor Pakistan, Fawad Khan. Johar, sineas bertangan dingin yang menelurkan film drama laris semacam Kuch Kuch Hota Hai dan Kabhi Khushi Kabhi Gham, harus memohon agar film terbarunya dapat diputar sesuai dengan jadwal menjelang liburan perayaan Diwali.
"Ada 300 kru asal India yang mengucurkan darah dan keringat serta tangis dalam film ini," ujar Johar dalam pernyataan resmi dalam video yang diunggah ke media sosial. "Saya berjanji tidak akan bekerja sama lagi dengan aktor asal Pakistan. Dan saya sangat menghormati tentara India," katanya, menegaskan loyalitasnya kepada India.
Jalan Johar cukup berliku sebelum Ae Dil Hai Mushkil, yang berkisah tentang cinta segitiga, berhasil tayang tepat sesuai dengan jadwal. Setelah bertemu dengan perwakilan MNS, Johar berjanji menyumbangkan uang jutaan dolar untuk Yayasan Kesejahteraan Tentara, yang membiayai keluarga tentara yang tewas. Pihak MNS, yang girang terhadap komitmen Johar, pun menarik tuntutannya. Tapi yayasan itu menolak donasi Johar karena dinilai sebagai "hasil intimidasi".
Insiden terhadap Ae Dil Hai Mushkil memicu perdebatan sengit di Bollywood. Sejumlah aktor, seperti Shahrukh Khan dan Salman Khan, serta pembawa acara televisi Barkha Dutt mengkritik keras larangan itu. "Aktor bukan teroris," ucap Salman Khan. Sedangkan Dutt mencuit, "Saya malu ketika masyarakat merisak (Johar) untuk membuktikan patriotismenya."
Pendukung larangan tak kalah banyaknya. Salah satunya Ajay Devgn, aktor yang sejatinya dekat dengan Johar. Istri Devgn, Kajol, adalah pemain utama Kuch Kuch Hota Hai. Tapi kali ini Devgn, yang juga pendukung Perdana Menteri Narendra Modi, memilih berseberangan dengan karibnya itu.
"Saya tidak akan bekerja sama dengan pemain asal Pakistan. Negara adalah yang utama," tutur Devgn. Ia sendiri membintangi film Shivaay, yang dirilis bersamaan dengan film Johar.
Harsh V. Pant, pengajar hubungan internasional di King's College London, Inggris, menilai larangan ini sebagai ungkapan frustrasi sejumlah warga karena pemerintah India dianggap tak mampu menghentikan milisi pro-Pakistan. Pakistan telah membantah mendukung milisi yang kini berjuang di wilayah Kashmir India.
"Saat ini rakyat India tak yakin hubungan baik yang dibina dengan Pakistan melalui budaya dan kriket akan menguntungkan mereka," kata Pant.
Dari semua perdebatan ini, warga kedua negaralah yang dirugikan. Di Mumbai, sepasang suami-istri paruh baya menyayangkan larangan pemain Pakistan. "Bagi kami, tidak jadi masalah dari mana asal pemain. Kami tak peduli," ujar Ashish Kamotra dan istrinya, Deepali, saat sedang antre tiket bioskop, kepada VOA.
Nun jauh di Karachi, Rubina Jan Muhammad mengeluhkan larangan tayangan sinetron India di televisi. Banyak perempuan di wilayah konservatif Pakistan tidak memiliki hak bepergian ke luar rumah. Dan sinetron India menjadi hiburan yang sangat memuaskan. "Apa lagi yang bisa kami nikmati selain sinetron India?" ucap pembantu rumah tangga berusia 30 tahun itu kepada Reuters. "Kami tidak bisa ke luar rumah karena dilarang kerabat lelaki kami."
Sita Planasari Aquadini (The New York Times, The Pakistan Today, The Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo